Part 11. Syarat

14.5K 73 7
                                    

Sekuat tenaga Inaya menahan rasa nikmat yang mendera. Pucuk nipplenya mengeras karena mendapatkan rangsangan yang hebat dari tangan lelaki tua itu.

"Mmhhh...mmhhh..." Dadanya semakin membusung kala jempol dan jari telunjuk pak Rahmat bekerja sama memutar-mutar nipple Inaya seperti sedang mencari frekuensi radio.

Pak Rahmat kemudian merebahkan Inaya. Kedua tangannya kembali meremas gunung kembar Inaya. Kali ini dari arah depan.

Inaya menatap pak Rahmat dengan mata setengah tertutup. Pak Rahmat membungkuk. Mengecup bibir Inaya dengan sangat pelan. Bahkan Inaya sedikit mengangkat kepalanya untuk menyongsong bibir pak Rahmat.

Entah apa yang dipikirkan Inaya saat ini, yang jelas dirinya ingin disentuh lebih dalam lagi. Pak Rahmat memegang tengkuk Inaya dengan tangan kiri dan memperdalam ciuman mereka, sedangkan tangan kanannya meremasi payudara wanita itu.

"Mmm...ssscccppp....sssppp..." Bunyi beradunya dua pasang bibir mereka. Inaya lalu mengalungkan kedua tangannya di belakang leher pak Rahmat.

Hal itu membuat pak Rahmat bergeser menjadi setengah menindih Inaya. Hanya ditumpu oleh siku tangan kiri pak Rahmat.

Tangannya kanan pak Rahmat kembali bergerilya turun menelusuri kulit perut Inaya yang sangat-sangat halus bag kulit bayi. Meremas pinggul Inaya yang membuat wanita itu menggelinjang kegelian.

Telapak tangan itu semakin ke bawah, menelusup ke bagian celah hotpants Inaya yang terbuat dari kain.

"Ehhh...!!!" Inaya tersentak merasakan jari pak Rahmat menyentuh bulu pubiknya, tepat di atas belahan inti tubuhnya.

Mendadak kesadaran Inaya kembali lalu secepat mungkin memeluk lengan pak Rahmat guna menahan agar tidak terus turun ke bawah yang membuat pak Rahmat mampu mencapai titik paling intim di tubuhnya.

"Pak, stoppp...!!!" pinta Inaya. Pak Rahmat menurut. Dia menghentikan gerakannya dan memandang sorot mata Inaya yang putus asa.

"Nay..."

"Pak, kita gak boleh sampe sejauh ini," potong Inaya seraya menggelengkan kepalanya.

Nafsu yang sudah di ubun-ubun perlahan mereda melihat raut wajah memelas Inaya. Apalagi matanya sudah berkaca-kaca dan hampir saja air matanya tumpah.

"Kenapa, Nay? Kalo dari awal kamu gak menginginkannya, kenapa kamu ajak bapak ke dalam situasi kayak gini?" ungkap pak Rahmat kecewa.

Bagaimana tidak? Sejak Inaya tiba-tiba saja datang ke rumahnya, wanita itu sudah memberikan isyarat demi isyarat untuk sampai di situasi ini, lalu tiba-tiba dia menghentikannya dan bilang mereka tidak boleh sampai sejauh ini?

"Maaf, pak. Aku cuma takut."

"Takut?" tekan pak Rahmat. Inaya mengangguk lalu menatap wajah pak Rahmat yang tepat berada di atasnya.

"Pak. Waktu itu bapak pernah bilang kalo bapak jatuh cinta sama aku. Apa bapak yakin?" tanya Inaya.

Pak Rahmat tersenyum sekilas. Lelaki itu menarik tangannya dari dalam hotpants yang dipakai Inaya lalu terduduk di pinggiran kasur.

"Apa itu penting bagi kamu?" ujar pak Rahmat.

Inaya melongo mendengar ucapan pak Rahmat. "Asal bapak tau, sejak bapak ungkapin perasaan bapak ke aku, aku tu kepikiran terus. Aku takut, pak. Aku takut kalo bapak itu sama kayak laki-laki lain. Gak bisa dipegang omongannya."

Pak Rahmat menoleh ke arah Inaya. Dia lihat Inaya masih dalam keadaan yang sama hanya saja tangan kirinya menutupi area dadanya. Meski begitu tangan itu hanya mampu menutupi kedua puting payudaranya.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang