Pak Rahmat tidak pernah membayangkan first date nya dengan Inaya berlangsung sedingin ini. Di rumah, ia sudah membayangkan bagaimana Inaya dengan mesra dan manja menggelayut di lengannya.
Namun kini mereka sedang duduk bersebelahan di ruangan yang gelap. Posisi Inaya miring ke arah pak Rahmat namun tidak sampai bersentuhan dengannya.
"Kamu suka filmnya, Nay?" tanya pak Rahmat saat layar bioskop masih menampilkan adegan-adegan romantis.
"Suka," jawab Inaya singkat.
Pak Rahmat sampai garuk-garuk kepala melihat sikap dingin Inaya. Ingin menyentuh tangannya tapi takut jika Inaya akan marah. Soalnya wanita itu sedang dalam mode ngambek.
Hanya bermodalkan pantulan cahaya dari layar bioskop, pak Rahmat dapat melihat samar-samar wajah Inaya yang tampak serius menonton film tersebut.
Rasanya benar-benar tidak nyaman. Padahal ini kencan pertama mereka, masa tidak ada kesan istimewa sama sekali?
Pak Rahmat menghela nafas dalam. Dirinya sudah pasrah jika acara ngedate mereka akan berlangsung tanpa suara.
Diam-diam Inaya melirik ke samping. Bibir membentuk bulan sabit. Dalam hati dia merasa kasihan juga sama pak Rahmat yang dari tadi berusaha meminta maaf, membujuk serta mencairkan suasana, namun Inaya tetap tidak bergeming.
Lalu Inaya menjatuhkan kepalanya di bahu pak Rahmat. Menyelipkan seluruh jari tangannya di sela-sela jari tangan pak Rahmat. Pak Rahmat sedikit terkejut melihat perubahan Inaya. Meskipun hal itu terjadi juga tanpa suara dari bibir Inaya, tapi pak Rahmat dapat sedikit bernafas lega. Sepertinya Inaya sudah sedikit luluh.
Setelah nonton bioskop, mereka jalan-jalan saja keliling mall. Memilih-milih baju yang dimana Inaya selalu menolak rekomendasi dari pak Rahmat.
Pak Rahmat dengan sabar menghadapi sikap Inaya yang seperti anak kecil. Wajahnya sudah kusut. Inaya hanya menimpali ucapan pak Rahmat sesekali dan seperlunya saja.
"Nay, kita cari pakaian buat ibu dulu, ya. Daster aja biar bapak gampang kalo mau gantiin ibu pakaian."
Inaya menatap pak Rahmat. Di saat mereka sedang ngedate berdua, pak Rahmat masih ingat dengan istrinya di rumah. Jika biasanya wanita lain akan cemburu, namun tidak bagi Inaya.
Dia justru terkesan dengan pak Rahmat. Lelaki itu benar-benar merealisasikan ucapannya yang akan selalu mencintai Bu Aminah apapun yang terjadi.
"Iya, pak," jawab Inaya sambil tersenyum. Senyum itu mengandung arti. Arti jika dirinya sudah tidak marah lagi.
"Menurutmu yang bagus yang mana?" tanya pak Rahmat sambil memilih-milih daster yang akan mereka beli.
"Yang ini bagus, pak." Kini Inaya mulai merespon dengan cukup antusias.
"Kalo bisa yang bahannya halus. Soalnya bagian pinggul ibu suka iritasi kalo gesekan sama bahan yang kasar."
Inaya kembali memilih yang lain. Sepertinya daster yang tadi dia pilih bahannya kurang halus. "Oh, ya. Nanti pulangnya ingetin bapak ya, buat beli obat antiseptik sama resep dokter."
"Emangnya ibu kenapa lagi, pak?"
"Miss v-nya iritasi. Beberapa hari belakangan suka ngeluh perih, pas bapak cek kulitnya udah agak membusuk, bau, terus ada belatungnya. Bapak juga udah periksa ke dokter katanya gara-gara pipis gak langsung dibersihin. Itu tetangga bapak yang bantuin jaga ibu juga gak pernah bilang. Kata dokter itu udah lama tapi bapak baru tau. Kadang bapak merasa jadi suami yang gak berguna."
"Pak, jangan ngomong gitu. Bapak suami yang paling baik sedunia. Gak semua laki-laki bakalan tahan hidup ngurus istri yang udah gak bisa apa-apa. Aku salut sama bapak. Bapak jangan nyalahin diri sendiri," ujar Inaya sembari mengusap-usap bahu pak Rahmat agar lelaki itu tegar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Lendir Di Sekolah
RomanceHalo para suhu semuanya. Berhubung MSJ sudah tamat, saya selaku author malinksss hadir dengan cerita baru. Kalo ditanya apa ada hubungan antara MSJ dan cerita KLDS. Jawabannya, semua cerita yang saya buat masih berada di satu universe. Tinggal bagai...