Part 7. Sebuah Pelepasan

29.8K 101 12
                                    

"Aaccchhh...ssshhh...iyaahhh...terus..."

Plokkk...plokkk...plokkk...plokkk...

Dua anak manusia saling tindih, saling gesek, saling memberikan kenikmatan satu sama lain. Si pria menghujamkan senjatanya ke dalam inti tubuh si wanita dengan sangat menggebu-gebu.

"Aaccchhh...yanggg...aku mau nyampeeee...!!!"

Bukannya mendorong agar tautan kelamin mereka terpisah, si wanita justru semakin memeluknya erat dan...

Crottt...crottt...crottt...crottt...

Sperma yang sudah terkumpul di ujung kejantanan pria itu muncrat ke dalam rahim si perempuan. Mereka terkulai dengan nafas yang memburu.

"Uhhh...nikmat sayanggg..." desah wanita itu saat merasakan rahimnya basah di siram oleh lelaki yang menggagahinya barusan.

Setelah puas, lelaki itu melepaskan penyatuan di antara mereka berdua. Dia dengan acuh mengabaikan pasangan yang baru saja ia senggamai.

"Mau kemana, sayang?" tanya wanita itu sambil menggeliat di atas ranjang. Tidak ada jawabannya, dia kembali bertanya. "Bar, mau kemana?"

"Mau pulang, nemuin istri gue," jawabnya singkat. Wanita itu pun protes. "Bar, lu anggap gue apaan? Cuma buat pelampiasan lu?"

"Ras. Dari awal kita ngelakuin ini tanpa ada komitmen. Kita udah setuju itu, kan?"

"Iya, tapi gak kayak gini juga. Ini sama aja kayak lu anggap gue ini perek lu!"

Bara, iya. Dia orangnya. Pria itu tersenyum sinis ke arah wanita pemuasnya. "Bukannya emang bener, ya? Bedanya, lu yang minta dan ngemis-ngemis ke gue."

Mata wanita itu membulat. Dirinya merasa tersinggung dengan ucapan Bara. Setelah Bara pergi dari kamar hotel yang mereka booking, dia pulang ke rumah.

Bayang-bayang kejadian dia berbuat kekerasan terhadap Inaya masih saja menghantui dirinya. Bukan menampar, bahkan dia sampai memukul wajah istrinya itu sampai memar. Bara sungguh sangat menyesal. Dia ingin memperbaiki semua yang telah dia lakukan.

•••

Tokkk...tokkk...tokkk...

Pintu kamar rumah sakit itu terbuka. Hal itu membuat aktivitas terlarang yang ada di dalam sontak berhenti.

Perawat yang datang dengan meja dorong membawa makanan itu berhenti sejenak. Pak Rahmat langsung berdiri. Dengan tubuh gempalnya, dia menutupi keadaan Inaya yang berantakan.

Hal itu dimanfaatkan Inaya untuk mengancingkan bajunya kembali. "Ada apa, sus?" tanya pak Rahmat. "Maaf, saya membawakan makan siang untuk nyonya Aminah, sekalian mau cek trombositnya."

Pak Rahmat mengangguk. "Baik, silahkan." Lelaki itu mempersilahkan suster tersebut melaksanakan tugasnya.

Bu Aminah terbangun karena akan diperiksa. Inaya berdiri di belakang pak Rahmat sambil memakaikan kembali maskernya. Debaran jantungnya masih kuat karena apa yang terjadi antara dia dan pak Rahmat.

Setelah check up terakhir pada hari itu, Bu Aminah akhirnya diperbolehkan untuk pulang karena kondisinya sudah stabil.

Pukul empat sore Bu Aminah, pak Rahmat, dan Inaya pulang ke rumah. Ketika mendengar cerita Inaya yang diperlakukan kasar oleh suaminya, orang pertama yang menggaungkan kata cerai adalah Bu Aminah.

Dia merasa tidak terima wanita yang sudah ia anggap seperti anaknya itu diperlakukan dengan cara yang kejam.

"Inaya, percaya deh sama ibu. Suami kamu bukan suami yang baik. Kalo udah ngelakuin kekerasan, lebih baik kamu minta cerai aja langsung. Yang namanya sifat manusia, mau minta maaf berkali-kali pun dia gak akan berubah," ujar Bu Aminah di kamarnya.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang