Part 14. Ruang Kepala Sekolah

24.5K 78 20
                                    

"Huekkk..." Inaya langsung menutup mulutnya saat makanan yang ia makan mendesak kembali dari tenggorokannya.

Matanya sudah berair. Dari semalam rasa mualnya tidak kunjung membaik. Meskipun sudah berkumur puluhan kali, tetapi rasa sperma yang menempel di dinding-dinding mulutnya seperti belum hilang.

Lebih parahnya lagi dia merasa lubang pernafasannya yang terhubung dengan hidungnya terasa masih basah. Entah itu karena sperma pak Rahmat, ingus, atau hanya perasaan Inaya saja. Yang jelas rasanya betulan bikin mual.

Bara yang pagi itu menemani Inaya sarapan langsung menyodorkan air minum begitu istrinya hampir mengeluarkan makanan yang baru saja ia telan.

"Kamu sakit, sayang?" tanya Bara. Inaya hanya menggelengkan kepalanya sambil meminum air yang diberikan Bara.

"Apa kamu lagi hamil?"

"Brrruuussshhhh..." Inaya sontak menyemburkan air tersebut saat mendengar ucapan Bara.

"Pelan-pelan, sayang minumnya." Bara mengusap-usap punggung Inaya agar istrinya itu lebih lega.

Inaya melirik dengan tatapan yang tajam ke arah suaminya. "Hamil dari Hongkong?! Terakhir kita hubungan aja gak tau kapan," batinnya.

"Bener, kan?" Bara menatap Inaya dengan wajah yang penuh harap. Iya, Bara berharap istrinya itu hamil dan hubungan mereka akan semakin erat.

Inaya lalu menggeleng. "Enggak kok, mas. Aku kayaknya salam makan semalem."

"Salah minum maksudnya. Minum protein shaker!"

"Emang semalem kamu makan apa?" tanya Bara lagi. Kali ini Inaya langsung berdiri sambil memegang piringnya begitu selesai makan.

"Bukan apa-apa, kok," jawab Inaya malas meladeni pertanyaan-pertanyaan Bara. Dia langsung pergi ke wastafel untuk mencuci piring bekas makannya.

"Coba cek dulu. Siapa tau beneran hamil." Ternyata Bara tidak menyerah. Entah kenapa dia punya firasat Inaya memang betulan hamil.

Siapa tau juga hubungan seks terakhir yang mereka lakukan membuahkan sesuatu di rahim Inaya dan wanita itu baru mengalami gejalanya sekarang.

Tapi Inaya tetap tidak bergeming. Kalau saja semalam dia tidak menelan sperma pak Rahmat dan setelah itu dia mengalami mual-mual seperti sekarang, dia akan dengan senang hati mengecek apakah benar dia hamil atau tidak.

Karena tidak ingin dipojokkan terus menerus, Inaya lantas mengambil tas kerjanya. "Mas, mau anterin aku kerja apa enggak? Kalo enggak aku mau pesen ojek online."

Hanya dengan kalimat itu Bara secepat kilat bangkit dan meraih kunci mobilnya. Bahkan sarapannya yang belum selesai ia tinggalkan begitu saja. "Iya, Nay. Mas anter ke sekolah."

Inaya tidak menyahut lagi. Dia kemudian keluar rumah dan menunggu di samping mobil mereka. Di perjalanan Bara kembali mengungkit soal kemungkinan Inaya hamil tapi wanita itu tampak tidak semangat sama sekali.

Bukan dia tidak ingin hamil dan punya anak, tetapi Inaya tidak ingin suaminya berharap dengan sesuatu yang tak pasti. Apalagi hubungan mereka sedang tidak terlalu baik karena kesalahan Bara berturut-turut.

Inaya lebih banyak bungkam. Bara mendesah pasrah. Ternyata membujuk istrinya tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata hal itu jauh lebih sulit daripada meyakinkan wanita itu untuk menikah dengannya dulu.

Sesampainya di sekolah, Inaya mencium punggung tangan suaminya. Bara mencium kening dan bibir Inaya sekilas. Terasa dingin dan tanpa kesan sama sekali. Berbeda saat awal-awal mereka menikah. Bara tidak berkata apapun. Dia akan sabar menunggu Inaya luluh. Setelah urusannya dengan Laras usai karena perempuan selingkuhannya itu keguguran tadi malam, saat itu juga Bara berjanji Inaya adalah wanita satu-satunya di hidupnya kini dan selamanya.

Kisah Lendir Di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang