Inaya sedang berada di kantor guru. Jadwal pelajaran pertama dia mengajar di kelas 2 IPA 5. Kelas yang dikenal paling bandel. Inaya menarik nafas lalu menghembusnya pelan. "Semoga moodku yang lagi jelek ini gak tambah jelek karena ulah murid-muridku. Bismillah."
Dia bersiap pergi ke kelas yang akan dia ampu sebelum dicegat oleh seseorang. "Eh, mba Naya. Udah mau ke kelas?" tanya Bu Murniati.
"Iya nih, Bu. Kebagian kelas IPA 5," jawab Inaya. Bu Murniati tertawa sembari menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Pasalnya semua guru sudah tahu bagaimana kelakuan kelas tersebut. Bahkan banyak guru yang hanya memberikan tugas lalu pergi karena tidak tahan dengan kelakuan mereka.
"Yang sabar ya, mba." Bu Murniati menepuk-nepuk bahu Inaya.
"Eh, tapi saya ke sini bukan mau nanyain mba kebagian kelas berapa. Di sini saya mau tanya. Mba tadi berangkat sama pak kepsek, ya?" tanya Bu Murniati penasaran.
Inaya terkejut, tapi berusaha sebiasa mungkin. "Iya, Bu. Soalnya kemarin saya ke rumah pak Rahmat ketemu sama istrinya. Beliau dulu yang ngasuh saya waktu kecil. Tapi pas mau pulang hujan dan saya gak bawa mantel. Jadinya saya dianter sama pak Rahmat."
"Ohhh..." Inaya panik sendiri menunggu reaksi dari Bu Murniati. Apakah dia melihat apa yang terjadi di dalam mobil?
"Ya udah kalo gitu. Saya cuma penasaran tadi, soalnya pas mobilnya berhenti, kalian lama banget gak turun-turun. Ya, kan saya jadi curiga."
Inaya semangat dibuat gelisah dan salah tingkah. "Enggak kok, Bu. Tadi saya cek hp dulu. Soalnya ada wa dari suami nanyain udah sampe apa belum," jawab Inaya berbohong.
"Iya, deh. Saya percaya. Mana mungkin kan mba Naya mau sama pak Rahmat." Bu Murniati kemudian mendekati telinga Inaya dengan telapak tangan yang berada di samping bibirnya. "Jangankan mba Naya, saya aja gak mau, xixixi..." bisik Bu Murniati seraya tertawa lirih takut yang dibicarakan dengar.
Inaya pun menghela nafas sambil geleng-geleng kepala mendengar penuturan Bu Murniati. "Yee, emang pak Rahmat mau sama situ," batin Inaya. "Eh, kok aku yang gak terima?"
Tidak mau ambil pusing, Inaya melanjutkan aktivitasnya. Meskipun terkenal berada di kelas yang nakal, Inaya tetap mengajar seperti biasa.
Di sini juga ada seorang siswa yang menyukai dirinya. Pernah suatu ketika murid tersebut menembak Inaya di depan kelas. Tentu saja Inaya menolak mentah-mentah.
Seharian dirinya dibuat dongkol. Dia mendapatkan kelas yang berisik, moodnya jelek, terus ditambah lagi kejadian pagi hari yang terus terbayang di kepala Inaya.
Jam satu siang sekolah sudah selesai. Inaya tengah bersiap-siap untuk pulang. Ponselnya bergetar tanda ada notifikasi masuk.
Pak Rahmat
"Bapak tunggu di mobil."Inaya
"Iya, pak. Bentar lagi saya ke situ."Inaya pun beranjak dari meja kerjanya menuju mobil pak Rahmat. Saat berjalan di koridor, tiba-tiba saja ada yang memanggil.
"Nay!" Inaya memutar tubuhnya dengan malas. Dari suaranya dia tahu siapa yang memanggil. "Ada apa, pak Ibnu?" tanya Inaya mencoba seformal mungkin.
"Udah mau, pulang?" kata Ibnu basa-basi.
"Sepertinya gitu, pak."
"Oh, ya. Dari pagi aku perhatiin kamu kayak gak semangat gitu? Kenapa? Ada masalah sama suami?" terka Ibnu.
"Kok bisa bapak seharian perhatiin istri orang? Saya rasa bapak punya lebih dari cukup pekerjaan daripada hanya untuk melakukan hal semacam itu."
"Nay. Bisa gak jangan ngomong formal kayak gitu. Kita ngomong biasa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Lendir Di Sekolah
Roman d'amourHalo para suhu semuanya. Berhubung MSJ sudah tamat, saya selaku author malinksss hadir dengan cerita baru. Kalo ditanya apa ada hubungan antara MSJ dan cerita KLDS. Jawabannya, semua cerita yang saya buat masih berada di satu universe. Tinggal bagai...