10. Kisah Haura

70 12 1
                                    

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

"Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah." (HR. Muslim, no. 1467)


🗡️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🗡️

Saya termenung sambil melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul dua belas siang. Mobil Ning Nara telah pergi satu jam lalu, saya tersenyum tipis. Ya Allah takdirkanlah dia untuk hamba, terkadang apa yang kita inginkan tidak sesuai dengan takdir yang telah Allah gariskan. Saya mengambil mushaf kecil lalu mulai membacanya, tiba-tiba hati saya terasa sesak, saya menutup kedua mata saya perlahan.

Ya Rabb buatlah hati ini terus tenang dalam ketaatanmu.

Suara tangisan santriwati terdengar, dengan wajah panik, saya keluar kamar lalu mulai menghampiri orang-orang yang bergerumun di depan dhalem majlis keluarga.

Saya tatap kedua mata Hadar yang mulai basah karena air mata.

"Hadar ada apa? kenapa kalian semua menangis?" tanya saya bingung, Hadar menunduk, mulutnya terasa keluh untuk menjawab semua pertanyaan dari saya. Demi Allah saya seperti orang bodoh yang sedang kebingungan sendiri.

"Iky, Afan," panggil saya lagi kearah dua santri yang biasanya banyak bicara itu sekarang malah terdiam dengan beribu jatuhnya air mata.

"Kalian kenapa? kenapa pertanyaan saya tidak di jawab?" tanya saya dengan nada bicara yang mulai meninggi, Iky mendongak lalu mulai berkata.

"Ustadz, Ning Nara_" saya mengerutkan kening sempurnah.

"Ada apa dengan Ning Nara?" tanya saya tidak sabar.

"Ustadz, Ning Nara mengalami kecelakaan," jawab Afan, tubuh saya seketika terasa lemas, Air mata saya tiba-tiba terjatuh dengan seiringnya harapan yang saya bangun berubah hancur. Tinggal tiga hari lagi akad itu terucap, lantas bagaimana cobaan ini menghampiri saya begitu saja? Ya rabb, hamba tahu inilah takdir hamba namun mengapa harus cobaan seberat ini?.

"Ustadz yang sabar ngghi," seru Hadar sambil menghapus air matanya kasar.

Saya beralih melihat podium dan hiasan di sekeliling al-wafa, saya pergi menuju masjid yang telah di dekorasi se indah mungkin untuk acara Akad nikah saya dengan Ning Nara lusa, namun saya rasa impian bahagia itu tengah di ragukan, saya takut, semua ini hanya akan menjadi mimpi semu yang tak akan berujung.

"Ustadz, dhawuh pak kyai jenengan di pakon ke rumah sakit," ucap ustadz Adnan dengan wajah panik dan nafas yang masih memburu. Saya mengangguk lalu mulai mengikuti langkah Ustadz Adnan menuju mobil majlis. Pikiran saya sudah tak karuan, saya terus melafalkan dzikir dan tasbih berharap Allah mengasihani saya dan mengangkat semua penyakit Ning Nara.

ZulfikarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang