11. Titik redup

124 9 2
                                    

       Luka? Bukan hanya luka fisik yang saya rasakan melainkan luka batin.

Saya sedang berada di musholah rumah sakit, bedoa dan mengharap belas kasih Allah pada saya agar apa yang saya lihat dan dengar barusan adalah sebuah kebohongan semata. Saya tertunduk, bahu saya bergetar hebat. Rasa kehilangan itu kembali mendera saya.
    
         Sebenarnya saya rapuh saat mengetahui kalau Ning Nara telah kembali ke sisinya, semua ingatan tentangnya sudah berputar seperti kaset rusak di ingatan ini.

         "Mas, Salam rindu saya untuk jenengan," satu ucapan yang berhasil membuat dinding pertahanan saya runtuh. Titik kesabaran yang telah saya bangun Kini malah roboh dengan ungkapan itu. Mungkin ini adalah takdir terbaik dari Allah untuk tahap mendewasakan dan memberikan hikmah pada saya.

Saya menghapus air mata saya kasar lalu mulai berdiri dan keluar dari rumah sakit.

      Jenazah Ning Nara sudah di mandikan di sini jadi ke ponpes biar bisa langsung di kebumikan. Kita di ciptakan dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Tangisan saya kembali pecah ketika berhasil melihat wajah pucat Ning Nara. Ya Rabb.... Hati saya sesak, tolong ikhlaskanlah hati ini dalam menerima semua takdir darimu.
 
       Jika laki-laki menangis itu tandanya dia serius, dia setia dan dia tidak ingin kehilangan kekasihnya.

       "Nak Ghazi, Abah mau ngomong serius sama kamu," saya beralih menatap kearah pak kyai lalu mengangguk ta'dim.

        "Ngghe pak kyai Monggo," jawab saya dengan suara serak.

        "Nara sudah pergi menghadap Allah, apakah yakin nak Ghazi tidak mau mencari gantinya?" ucap pak kyai sambil menghapus air matanya.

        "Abah tanya kamu begini karena Nara sempat bilang sama Abah agar nanti kalau dia sudah kembali ke sisinya. Kamu di suruh cari pengganti, ingat nak, dunia tidak akan mulus terus. Setiap kehidupan sudah mempunyai garis cobaannya masing-masing, hati manusia itu gampang berubah karena Allah maha membolak-balikkan hati. Abah tahu perasaanmu tapi lambat laun insya Allah dengan izin Allah Kamu akan bisa melupakan putri Abah, setelah selesai pemakaman. Abah harap kamu ke dhalem ya nak," tutur beliau, hati saya sakit namun saya tahan, benar kata beliau. Allah maha membolak-balikkan hati, saya takut jika saya bersikeras teguh dalam kesendirian ini mungkin Ning Nara tidak akan senang juga melihat saya di sana.

           Menikah adalah jalan  untuk menyempurnakan separuh agama, maka dari itu entahlah siapa nama yang telah Allah gariskan di lauhul Mahfudz saya, saya juga tidak tahu. Semoga saja Allah menggantikan posisi Ning Nara kepada seorang wanita yang lebih Sholehah untuk pendamping saya kelak.

🗡️

Setelah selesai pemakaman saya langsung bergegas menuju dhalem.

Ya Rabb..... Sesungguhnya engkaulah maha pencemburu. Maafkan hambamu ini karena telah berlebihan mencintai makhlukmu.

"Nak Ghazi, masuklah!" seru pak kyai, saya mengangguk sambil mengikuti langkah beliau menuju ruang keluarga.

"Undangan sudah tersebar, pelaminan, podium, masjid juga sudah selesai di hias," ucap kecil beliau sambil mengeluarkan nafasnya pasrah.

"Carilah mempelai wanita pengganti nak," saya terlonjak kanget, spontan kedua mata saya melebar sempurnah.

"Bonten pak kyai," jawab saya dengan suara bergetar, buliran air mata kini sudah menggenang.

Sedangkan di sisi lain pak kyai hanya tersenyum, saya tahu senyum itu adalah senyuman palsu. Siapa yang tidak sedih jika putri tunggalnya, putri kesayanganyya dan putri penerus tahtanya kini telah meninggalkan dunia begitu saja?

ZulfikarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang