33. Coplevit

54 6 7
                                    

Auriga bukanlah seseorang yang mudah panik. Baginya kepanikan hanya akan membuat masalah menjadi lebih rumit. Seberat apapun masalah pada dasarnya pasti akan berlalu. Entah itu selesai atau di biarkan, agar bisa dilupakan. Pada dasarnya sebuah masalah hanya memiliki 3% beban, 97% sisanya adalah rasa khawatir. Auriga selalu menanamkan prinsip stoikisme dimana, hal-hal yang di luar kuasa diri kita bukan lah suatu hal yang perlu kita khawatirkan. Salah satu contohnya adalah perasaan orang lain dan pendapat orang lain pada diri kita. Sayang nya prinsip tersebut tidak bisa ia gunakan kepada setiap orang. seperti saat ini, dimana Auriga sedang duduk dengan tegang dihadapan seorang wanita yang menatapnya penuh curiga. Ia hanya bisa menunduk dengan tangan terkepal. Tanpa ia sadari tubuhnya mulai keringat dingin. Entah kenapa ia merasa berkali-kali lebih gugup menghadapi Karina dibandingkan memaparkan Tesis S2 nya di hadapan para profesor di Universitasnya di Amerika.

"sekarang lu jujur aja deh, lu nguntit gue sampe ke Bali kan?" ujar Karina dengan nada mengintimidasi.
"sumpah rin, gue ke sini buat nemuin Yudha sama Ryuga, gue aja ga tau lu ada di Bali" sangkal sang adam.
"tapi kenapa lu bisa ada di club itu juga?" cecar sang puan masih dengan nada curiga.
Auriga hanya bisa menghela nafas, seberapa banyak ia bicara Karina tidak akan mungkin bisa percaya padanya.
"kalo lu ga percaya juga gue punya saksi ko, di sana ada Ryuga sama Yudha, ada satpam club, bahkan lu bisa cek CCTV kalo gue cuma nolongin lu pas lu pingsan, karena gue gatau lu nginep di hotel mana jadi gue inisiatif bawa lu ke sini, dan gue berani sumpah kalo gue ga ngapa-ngapain lu sama sekali"
Karina masih menatap Auriga dengan curiga namun ia sebenarnya tahu, Auriga bukanlah tipe orang yang seperti itu. Setelah beberapa lama diam, akhirnya Karina memutuskan untuk melepaskan masalah ini. Tidak ada gunanya juga menuduh orang tanpa bukti. Lagi pula dirinya pun tidak kenapa-kenapa.
"yaudah, makasih udah nolongin gue, kalo gitu gue pulang."
Karina pun beranjak dari kursi nya dan melangkah menuju pintu kamar.
"rin, biarin gue anter lu ya" ujar Auriga sambil menyusul Karina kedepan pintu.
"ga usah gue bisa sendiri" ujar Karina.
"please gue mohon, at least gue tau lu sampe ke hotel lu dengan selamat" ujar Auriga dengan nada yang memelas.
Karina tahu Auriga adalah pria dengan harga diri yang tinggi, melihatnya memelas seperti ini membuatnya sedikit iba. Akhirnya karena tidak tega Karina pun meng iyakan ajakan Auriga.
Tidak menyangka ajakan nya akan di iyakan, tanpa sadar Auriga tersenyum sangat lebar sampai membuat pipinya sakit.
"yaudah ga usah kebanyakan nyengir, cepet anter gue" ujar Karina ketus.
Tanpa basa basi lagi, Auriga langsung menyambar handphone dan kunci mobil sewaannya.

Perjalanan menuju Ubud memang terbilang panjang, Karina lupa kalau tempat ia menginap ada di dataran tinggi Bali. Sudah sekitar 15 menit dirinya dan Auriga hanya terdiam. Auriga pun sepertinya tidak berniat untuk mengajak Karina berbicara. Sepanjag perjalanan Karina hanya fokus pada jalanan yang mereka lewati. Pikiran Karina melayang ke semua memory saat ia kuliah dulu. Dimana segala masalahnya hanya sebatas tugas kuliah dan perintilan Astronomi nya. Adulting is suck, pikir Karina. Kini dirinya seakan dibebani banyak tanggung jawab, dulu ia tidak pernah berfikir akan masa depan, selama ada orang-orang terkasih jadi apapun Karina tidak akan pernah berkomentar. Namun kenyataan berkata lain, dalam sekejap semua kebahagiaan itu hilang. Kini Karina masih harus tertatih menyusun kembali keping-keping kehidupannya. Beberapa kenangan bahagianya bersama Auriga pun kini melintas kembali di benaknya. Bagaimana dulu ia sangat mencintai pria ini, atau mungkin masih? Tapi Karina tahu dirinya bukan dalam keadaan yang tepat untuk mencintai orang lain.

Dalam diam Auriga sebenarnya selalu curi-curi pandangan untuk melihat Karina di kursi sebelahnya. Wajah Karina tidak pernah berubah, tetap cantik atau mungkin semakin cantik. Mengingat dirinya sekarang adalah seorang model. Namun dibalik wajah cantiknya, sorot mata Karina yang telah berubah. Dimana dulu sorot mata tersebut selalu membuat silau Auriga. Kecerahan tatapan matanya menyimpan banyak harapan dan hal positiv di dalamnya. Namun sekarang hal tersebut seolah redup dan menyisakan tatap hampa dan kesedihan. Auriga tahu betul bahwa salah satu penyebab hal itu terjadi adalah dirinya. Auriga berfikir, kalau meminta maaf pun sepertinya tidak cukup. Seberapa pun usahanya memperbaiki keadaan, sesuatu yang telah rusak pasti akan tetap meninggalkan bekas, dan itu akan terparti selamanya di sana.

Destiny ConstellationWhere stories live. Discover now