bab 1

306 17 2
                                    


Pernikahan?

Menurut kalian apa yang tergambar saat kalimat itu terucap.
Bahagia?
Keluarga yang harmonis dengan di kelilingi cinta?
Atau anak-anak yang manis?

Bagaimana jika Kim jisoo mengatakan bahwa itu tak ada dalam pernikahannya.
Sunyi dan hampa yang saat ini justru ia rasakan. Dimana hari-harinya hasa diisi dengan kesunyian.

Tak mudah memang untuk menjadi dirinya, dimana ia harus berkelahi dengan bayangan orang yang sudah lama tiada, bukan lagi tentang jarak dan waktu tapi tentang tak lagi dalam dimensi yang sama.

Jisoo tertawa miris, rasanya lebih baik ia bersaing dengan orang yang masih hidup sekalipun orang itu adalah wanita tercantik di dunia. Jelas ia bisa menjambak wanita itu saat kesal atau marah dengan semua caci maki.

Tapi apa sekarang, yang menjadi pesaingnya hanya seonggok tanah kuburan di depannya.

"Kau itu sebenarnya sudah mati belum sih?"
Ucapnya pada gundukan tanah yang bahkan tak bisa menjawab pertanyaan.

"Kalau mati, tidak bisakah kau pergi dengan tenang. Dan bawa semua kenangan mu itu."

Ah sepertinya Jisoo sudah gila sekarang, bagaimana tidak?
Dua tahun pernikahannya bersama lelaki bernama Kim Seokjin tapi tak menemukan dimana letak kebahagiaannya.

Ia layaknya menikah dengan seonggok tubuh tanpa jiwa. Hidupnya terlalu monoton tanpa warna.
Sarapan bersama tanpa obrolan, bekerja, makan malam dalam kesunyian kemudian tertidur dalam ranjang yang sama tanpa kehangatan.

Obrolan mereka hanya sebatas iya, apa, dan terserah. Hanya itu.
Bukan jisoo tak berusaha untuk meruntuhkan sebuah tembok yang seokjin bangun, hanya saja tembok itu terlalu kokoh untuk ia terjang yang ada hanya membuatnya terluka.

Lelah, tentu saja ia lelah dengan semua ini. Tapi ia tak punya pilihan, sukur-sukur seokjin mau menampung dirinya yang hanya seorang anak yatim piatu yang tak sengaja bersanding menggantikan wanita yang kini terbujur kaku tertimbun tanah.
Jisoo menghela nafasnya panjang, ia kemudian meletakan satu buket bunga yang sengaja ia bawa.

"Ini dari Seokjin, dia memintaku datang ke sini karena dia masih di luar negri. Aku iri padamu, meskipun kau sudah pergi tapi kau masih menjadi yang utama untuknya. Bisakah kakak bangun, biar aku gantikan. Rasanya aku lebih baik berada di sana." Kalimat itu jisoo ucapkan dengan diakhiri kekehan ringan.
Sepertinya wanita itu besok harus menemui psikiater untuk memeriksa kejiwaannya.

"Aku pulang ya, jika kau bertemu dengan orangtuaku katakan segera jemput anaknya ." Kemudian ia beranjak pergi meninggalkan area pemakan.

Kakinya melangkah pelan menelusuri setiap jengkal trotoar, ia sengaja mengulur waktu untuk sampai ke rumah. Ia benci suasana itu, dimana hanya ada sunyi dan sepi yang akan ia temukan di sana.

Jisoo menghela nafasnya panjang sebelum membuka pintu kediamannya, hingga presensi Seokjin membuat sebuah kernyitan  tercetak pada wajahnya.

"Kapan pulang?" Tanya wanita itu heran, pasalnya jika tak salah seokjin mengatakan bahwa ia akan pulang sekitar dua hari lagi.

"Dari mana?" Bukannya menjawab Seokjin justru melontarkan kalimat pertanyaan pada Jisoo.

"Dari pemakaman, maaf aku baru bisa mengunjungi Hana hari ini. Kemarin aku tak sempat." Ucap Jisoo merasa bersalah.

"Tak apa." Ucap seokjin sembari beranjak menuju kamar.

Jisoo melemparkan tubuhnya pada sofa, sungguh Jisoo amat benci dengan keadaan ini.
Hanya karena menikah dengan Seokjin, hidupnya jadi ikut tidak berwarna seperti ini.

                 _di antara bayangan _

Jisoo masih berkutat di depan kompor, sesekali sang wanita menyeka keringat yang membasahi dahi menggunakan tangannya.

Epiphany (Terbelenggu Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang