bab 16

94 13 3
                                    

Perasaan seorang wanita memang lembut, mudah terharu dengan hal-hal sederhana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perasaan seorang wanita memang lembut, mudah terharu dengan hal-hal sederhana.
Hampir saja air mata yang menggenang dipelupuk mata itu menetes hanya karena menyaksikan bagaimana indahnya ketika langit berhiaskan arunika.
Saat sang Surya hanya tinggal menyisakan bias jingganya.
Jisoo masih betah mengamati keindahan yang tercipta, terlalu sayang jika ia lewatkan begitu saja.

Sementara sosok pria di sampingnya memilih diam tak menunjukkan reaksi apapun, keindahan yang tersaji harus kalah dengan riuh berisik dalam benaknya.
Bukan tanpa alasan ia mengajak Jisoo untuk singgah sejenak di tempat ini. Area sungai Han yang sering kali dijadikan orang-orang sebagai tempat singgah untuk sekedar melepas penat setelah lelah bergelut dengan pekerjaan selama seharian penuh.

Tapi tak sedikit pula orang-orang yang sengaja datang membawa pasangan masing-masing untuk menikmati keindahan yang disajikan dengan menghabiskan waktu bahkan hingga malam.
Maka tak heran jika semakin malam, area ini akan semakin ramai.

"Ji." Sejenak Jisoo menyudahi kekagumannya, atensinya sekarang ia alihkan pada Seokjin yang sejak tadi membisu di sampingnya.

"Hana menyukai senja," lanjutnya.

Hingga Jisoo mengangguk, meski ada bagian sakit saat Seokjin harus membahas itu saat bersamanya.

"Aku tahu, kita selalu menikmati indahnya senja bersama saat sama-sama memiliki waktu." Ada getir dalam nada bicaranya, tapi sebisa mungkin Jisoo tetap terlihat baik-baik saja.

"Dua tahun dia pergi Ji." Pecah, tangis Seokjin pada akhirnya pecah. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan Hana selalu sukses membuatnya terbawa suasana.
Sementara Jisoo memilih bungkam, ia tak tahu harus berreaksi seperti apa.
Lelaki yang tengah menangis di sampingnya adalah suaminya sendiri, yang tengah meratapi kepergian wanita lain.
Hingga ia menghela nafasnya pelan, setelah beberapa saat membiarkan Seokjin menangis dalam keheningan.

"Ya dua tahun kak Hana pergi," ucap Jisoo.
"Kak, kakak masih mencintainya?" Sejujurnya kalimat itu terasa berat untuk Jisoo lontarkan, ia teramat takut dengan jawaban yang akan ia dengar.
Lama pertanyaannya tergantung dalam keheningan hingga sebuah anggukan dari Seokjin ia dapatkan.

Sejenak ia meraup oksigen secara perlahan, seolah mengisi semua paru-parunya yang mendadak terasa sesak.

"Kita bisa akhiri ini jika kakak mau?" Pada akhirnya kalimat itu harus ia lontarkan, tak mungkin selamanya mereka berada dalam keadaan seperti ini.

"Jangan khawatir tentang ayah dan ibu, aku yang akan menjelaskan pada mereka."  Jisoo berbicara dengan penuh ketegaran, sesuatu yang selama ini ia pertanahan akan ia lepas secara perlahan.
Mereka sama-sama tersiksa karena egoisnya rasa, maka Jisoo yang akan memulai memutus rantainya.

"Ji, aku tak tahu ini terlalu terlambat atau tidak. Tapi bisakah kita mencoba satu kali lagi, aku tahu ini tak akan mudah untuk kita. Tapi aku mohon, beri aku waktu sebentar lagi untuk terbiasa." Seokjin meraih lengan Jisoo yang terbebas di udara, satu hal yang selama ini belum pernah ia lakukan, namun seperti apa yang ia katakan bahwa ia harus mulai terbiasa.

Suara Jisoo seolah tertahan di ujung lidah, kalimat yang telah ia rangkai sedemikian rupa seolah lenyap begitu saja. Mata keduanya bertemu, saling menyelami manik masing-masing.
Tapi Jisoo tak dapat menggapai Seokjin, bagaimana pun ia berusaha Seokjin tetaplah Seokjin yang tak akan semudah itu untuk dimengerti.

"Aku tahu, selama ini kau tersiksa bersamaku. Tapi aku tak ingin kehilangan lagi Ji, jadi aku mohon tetap bersamaku dan biarkan aku terbiasa. Kita bisa mulai untuk memperbaiki semuanya secara perlahan. Tak perlu terlalu terburu-buru." Seokjin mengucapkan dengan penuh kepastian, berusaha meyakinkan Jisoo agar tak semudah itu untuk menyerah.

"Kak-"
"Aku mohon ji, aku mohon." Tanpa meminta persetujuan Seokjin menarik tubuh mungil Jisoo pada dekapannya, seolah meyakinkan bahwa semuanya tak akan berakhir pada kekecewaan.
Hingga perlahan Jisoo mengangguk, mencoba sekali lagi mungkin tak ada salahnya.
.
.
sudah sejak satu jam lalu ia hanya berdiri mematung di depan jendela tanpa melakukan apapun, matanya menyorot sendu pada jejeran bunga yang tertanam rapi di bawah redupnya rembulan.

Ingatkan berkelana pada kejadian beberapa jam silam saat ia meminta Jisoo untuk tetap bertahan.
Seokjin tahu, jika apa yang ia lakukan hari ini akan menorehkan luka yang besar untuk Jisoo di kemudian hari.
Karena sampai saat inipun hatinya belum bisa berdamai dengan keadaan.

Tak lama, ingatannya tertarik pada masa beberapa tahun silam. Pada seseorang yang sejak dulu selalu jadi yang pertama.
Di balik remangnya cahaya, tubuh Seokjin terduduk dengan memeluk lututnya sendiri.  Wajahnya berlinang air mata dengan tangis yang berusaha ia redam.

"Kak di dalam?" Hingga suara ketukan pada pintu disusul panggilan dari Jisoo membuat ia bangkit sembari menghapus jejak air matanya.
Langkahnya berjalan cepat menuju seseorang yang berada di balik pintu.

"Kenapa Ji?" Dapat ia lihat wajah sayu wanita mungil di depannya.

"Ada masalah kak?" Bukan tanpa alasan Jisoo bertanya, pasalnya ia tak menemukan Seokjin di tempat tidur.

"Tidak, tadi hanya ada sedikit pekerjaan yang lupa aku selesaikan. Jadi aku selesaikan terlebih dahulu agar besok tidak kerepotan." Alibi Seokjin sembari menutup pintu ruang kerjanya. Satu tempat yang selama ini belum pernah Jisoo jamah. Tempat itu bagai satu tempat paling privasi bagi Seokjin. Sekaligus sebagai alarm pengingat bahwa sejauh apapun Jisoo berusaha ia tak akan sanggup untuk menjamah Seokjin secara sempurna.

"Ayo kita kembali tidur." Kalimat awal yang menjadi langkah Seokjin agar Jisoo tetap bersamanya.

Keduanya sama-sama merebahkan diri di atas ranjang dengan keadaan terlentang.

"Ji, terimakasih." Jisoo yang hendak memejamkan matanya berbalik pada Seokjin yang kini posisinya sudah menyamping menghadap padanya.
Hingga Jisoo hanya mengangguk, sebagai jawaban.

Seokjin meraih satu guling yang biasa menjadi pembatas diantara mereka untuk kemudian ia singkirkan.
Tubuhnya ia tarik perlahan untuk lebih mendekat pada wanita mungil yang selama ini selalu berbagi ranjang bersamanya.

Jantung  Jisoo berdetak hebat saat tubuh mungilnya mendapat rangkulan dari Seokjin. Sebuah rangkulan yang terkesan kaku, namun mampu membuat perasaan Jisoo tak karuan.
Terlebih saat Seokjin meletakkan kepalanya pada lengan kekar milik lelaki itu sebagai pengganti bantal yang  Jisoo gunakan.

Wajah Jisoo menengadah untuk menatap binar sang pria seolah meminta penjelasan atas tindakannya yang tiba-tiba.

"Kita sudah sepakat untuk memperbaiki hubungan ini Ji, jadi biarkan aku mulai dari hal-hal kecil." Lirih Seokjin sebelum menyandarkan kepalanya pada pucuk kepala Jisoo.

Meski awalnya ragu, perlahan Jisoo mencari kenyamanan dan kehangatan pada dada bidang milik Seokjin.
Harum tubuh Seokjin akan selalu Jisoo ingat sampai kapanpun. Menjadikannya kenangan jika suatu hari mereka tak pernah berhasil untuk bertahan.




 Menjadikannya kenangan jika suatu hari mereka tak pernah berhasil untuk bertahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Giamana nih sama part ini.
Seneng ya ada perkembangan sama hubungan mereka, meskipun sikap Seokjin masih abu-abu.

Epiphany (Terbelenggu Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang