bab 9

103 9 3
                                    

Dua tahun sebelumnya....

Hari ini begitu kelabu, langit yang biasanya terlihat cerah di musim panas terlihat menyendu. Dibeberapa bagian justru awan hitam terlihat menggantung seolah siap menumpahkan tetes demi tetes muatannya untuk membasahi bumi.

Sementara itu, Taehyung terus berjalan diantara hilir mudik orang-orang yang berpakaian sama dengannya.
Beberapa karangan bunga berisi ucapan belasungkawa terlihat berjejer menghiasi jalanan menuju rumah duka.

Langkahnya kian terasa berat, tapi tubuhnya terlalu tak sabaran untuk merangkul tubuh sang wanita yang terdiam dengan tatapan kosong di sisi salah satu peti mati. Sementara disisi lainnya terdapat seorang lelaki yang masih menangis tersedu-sedu menghadap bingkai cantik wanita yang ia cinta.

"Ji..." Dengan penuh kelembutan Taehyung membalikan tubuh yang hanya bergeming sedikit saat ia merengkuhnya.
Sebanyak mungkin Taehyung berusaha menyalurkan kekuatan yang ia punya untuk wanita dalam dekapannya.

"Tae, aku sendiri lagi." Suara yang keluar dari bibir pucat Jisoo terdengar lirih dengan penggambaran rasa sakit dan takut akan kesendirian melebur menjadi satu.

Sang pria merenggangkan dekapannya, ia tatap manik kelam yang banyak menyimpan duka itu penuh ketulusan. Sebelum ia hapus jejak air mata yang entah sudah sebanyak apa mengalir membasahi pipi yang biasanya terlihat cantik dengan semu kemerahan.

"Ada aku Ji, aku disini." Ucap Taehyung penuh ketulusan.
Namun tatapan Jisoo justru beralih pada sosok yang kini memeluk bingkai Foto wanita yang sudah tertidur dengan damai. Jelas terlihat bahwa Seokjin amat terpukul, bahkan orang-orang disekitarnya tak ia pedulikan sama sekali. Seolah ia menikmati lukanya sendiri.

"Ji..." Suara Taehyung kembali membawa ia pada kesadaran menjauh dari lamunan. Maniknya ia alihkan pada lelaki yang dengan sabar mendampinginya hingga tangis itu kembali pecah dalam dekapan Taehyung.
.
.
.
"Eomma mohon sayang, menikahlah dengan Jisoo." Bagai tersambar petir di siang bolong, semua mata kini terfokus pada sosok wanita yang tengah bersimpuh di depan putra semata wayangnya.
Merasa tak menyangka, dua bulan masih dalam suasana berkabung, tiada angin tiada hujan tiba-tiba saja nyonya Kim memohon pada Seokjin agar tetap  melanjutkan pernikahan dengan Jisoo yang menjadi pengantin penggantinya.

"Apa eomma gila?" Kontan saja mata milik Seokjin terlihat nyalang, apa yang dikatakan ibunya seperti sebuah lelucon saat ini.  Bagaimana mungkin dalam keadaan yang masih berkabung ia dipaksa tetap melanjutkan pernikahan yang tinggal menghitung hari meski dengan calon yang berbeda. Hingga tanpa sadar ia mengeluarkan umpatan yang sebelumnya tak pernah berani ia keluarkan pada sang ibu.

"Eomma mohon sayang, undangan sudah terlanjur tersebar. Lagi pula tak ada salahnya, Jisoo sekarang hanya hidup sendiri nak."
Nyonya Kim kembali bersimpuh dihadapan sang putra hingga menampilkan tatapan iba dari orang disekitarnya.

Sementara Seokjin mengalihkan tatapannya pada wanita yang sejak tadi hanya tertunduk dengan kedua tangan yang bertaut tak berani bersuara. Bahkan beberapa waktu lalu nyonya Kim juga melakukan hal yang sama pada wanita itu.

"Jin, eomma dan appa tak pernah meminta apapun padamu sebelumnya nak. Kami tak pernah menuntut mu untuk melakukan apapun, dan sekarang kami mohon nak, tetap langsungkan pernikahan ini dengan Jisoo sebagai mempelai perempuan." Sekarang giliran tuan Kim yang bersuara, bahkan ia rela melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan sang istri.

Seokjin mengusap wajahnya frustasi, luka dalam hatinya jauh dari kata sembuh dan sekarang orangtuanya bagai menabur garam dalam luka yang menganga.

"Apa kalian tak mengerti dengan perasaan ku?" Tanya Seokjin lirih, air matanya kembali berlinang mengingat satu nama yang telah menjadi kenangan.

Epiphany (Terbelenggu Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang