bab 13

116 16 6
                                    


Seokjin pernah terjatuh dari motor saat sebuah mobil tak sengaja menabraknya dari arah belakang hingga membuat kakinya patah dan harus melalui masa pemulihan selama satu bulan. Tapi saat itu ia biasa saja, tidak merasa bahwa hidupnya akan berakhir hari itu juga.
Tapi hanya karena demam yang ia rasa sejak semalam, hidupnya terasa tak akan lama lagi.
Sekujur tubuhnya terasa sakit, belum lagi kepalanya yang amat pusing serasa terus berputar. Suhu tubuhnya begitu terasa dingin tapi keringat justru bercucuran dari dahinya. Bahkan Seokjin bingung bagaimana ia harus menjelaskan kondisi tubuhnya sekarang.

Pria itu berusaha membuka matanya saat sinar matahari menerobos masuk menembus kaca jendela yang tirainya baru saja di buka seseorang.

"Ji, bisa kau tutup lagi tirainya." Lirih Seokjin terdengar serak sebab tenggorokannya terasa sakit.
Kening Jisoo mengernyit, tidak biasanya jam kantor seperti ini Seokjin masih bergelung dalam selimutnya.

"Kak tidak berangkat ke kantor?" Tanya Jisoo setelah kembali menutup tirai sesuai permintaan Seokjin.
Suasana kembali hening, saat Jisoo tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
Hingga perlahan ia berjalan mendekat dan mendudukkan dirinya di sisi ranjang yang berlawanan dengan Seokjin.
Jisoo mengamati tubuh Seokjin yang terbalut sempurna oleh selimut. Sesekali terdengar ringisan dari birai lelaki itu.
Dengan memberanikan diri, Jisoo mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Seokjin hingga ia cukup tersentak saat merasakan suhu tubuh lelaki itu yang cukup tinggi.

"Kak, kau demam." Panik Jisoo, pasalnya selama mereka menikah baru pertama kalinya ia melihat Seokjin sakit.
"Aku akan telpon dokter." Baru saja hendak beranjak, sebuah tangan yang terasa panas menahan pergerakan tubuhnya.
"Tidak Ji, bisakah kau saja yang merawat ku." Sebuah permintaan yang tak dapat Jisoo bantah.
Hingga wanita itu perlahan mengangguk meski tak terlihat oleh lelaki yang kini sudah kembali memejamkan matanya.

Jisoo kemudian beranjak kearah dapur untuk membawa sebaskom air hangat untuk mengompres dahi Seokjin sebagai bentuk pertolongan pertama  yang akan ia lakukan.
Mungkin ini saatnya Jisoo mempraktekkan ilmu yang ia dapatkan semasa bergabung menjadi anggota PMR saat SMA.

Hari hampir menjelang siang, sementara Seokjin baru saja menyelesaikan sarapan pagi berupa bubur yang sengaja di buat Jisoo khusus untuknya.
Tidak ada adegan disuapi, karena tentu saja kalian tahu jawaban mengapa adegan itu tak terjadi, tentu saja karena Seokjin gengsi. Sekalipun tangannya begitu lemas tak bertenaga tapi ia tak ingin mengemis untuk kedua kalinya sekalipun Jisoo adalah istrinya. Cukup tadi ia meruntuhkan harga dirinya saat meminta Jisoo yang merawatnya.

Tak lama Jisoo kembali membawa sebuah nampan berisi air putih dan juga obat-obatan yang harus Seokjin konsumsi.

"Obatnya di minum dulu." Jisoo menyerahkan dua butir obat yang sebelumnya telah ia buka beserta air minum untuk memperlancar jalannya obat.
"Obat apa?" Suara Seokjin masih terdengar lemah.
"Antibiotik dan obat penurun panas."
Seokjin kemudian lekas meraih obat yang Jisoo serahkan kemudian meminumnya sekaligus. Setelahnya ia kembali merebahkan tubuhnya untuk kembali beristirahat. Begitupun dengan Jisoo yang kembali dengan aktivitasnya.
.
.
.
"Owaahh Hyung."
"Hajima... Hajima..."

Seokjin menggeliat saat suara ribut dari arah luar mengusik tidurnya, perlahan ia bangkit kemudian mengambil posisi duduk dengan menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang.

"Ayolah Hyung."
"Hajima... Jangan itu."

Suara di luar kamarnya masih terdengar berisik hingga ia mendengus untuk mengutuk orang-orang yang telah mengusik tidurnya. Tapi setidaknya keadaan tubuhnya lebih baik dari pagi tadi.
Omong-omong Seokjin tak tahu jam berapa sekarang, hingga ia perlahan meraih ponsel miliknya yang berada di atas nakas.

Epiphany (Terbelenggu Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang