20. Mengenal Mamamu

1.7K 108 4
                                    


Damian sudah membolehkan Alana memanggilnya dengan sebutan "Papa". Tapi dengan satu syarat tidak di depan banyak orang, terutama di dalam lingkungan kantor. Damian ingin ini menjadi rahasia saja, dia sendiri mengaku belum siap menerima kenyataan ini, juga belum siap membuktikannya, ataupun menjelaskan kepada keluarga besarnya.

Alana mengerti dan menerima kenyataan pahit itu. Tidak mudah bagi seseorang untuk menerima kabar yang sangat mengejutkan, termasuk Damian. Alana akhirnya berpikir lebih baik begini saja daripada dirinya diperkenalkan ke keluarga besar Rubiantara, yang mungkin saja akan berakhir buruk, dan dia yang akan lebih sulit berdekatan atau berduaan dengan Damian.

Mobil mewah perusahaan Rubiantara yang ditumpangi Alana sudah tiba di depan lobi hotel. Alana didampingi sopir berjalan menuju restoran, dan sudah ada Damian yang duduk sendiri di ruang VIP restoran. Lagi-lagi Alana dengan sopan berucap terima kasih ke sopir yang telah menemaninya.

Damian tersenyum tipis ke arah Alana yang duduk di depannya.

"Lama menungguku, Pa?" tanya Alana setelah menyibak rambutnya.

"Ya, lima menit."

"Ha? Lima menit? Itu nggak lama, Pa."

"Bagi saya itu lama, Alana."

"Ah, iya, aku baru sadar kalo Papa adalah pengusaha besar yang sangat menghargai waktu. Maafkan aku, Pa."

"Nggak masalah. Bagaimana tadi di kantor?"

"Ya, baik. Laporan yang Papa inginkan sudah aku selesaikan dan sudah pula aku serahkan ke Bu Putri."

Damian tersenyum lebar, senang dengan jawaban Alana. "Difa? Masih ganggu kamu?"

Alana menggeleng. "Nggak, Pa. Dia tetap bertugas seperti biasa. Dia pekerja keras, hanya saja orangnya suka ikut campur urusan orang lain. Aku suka dia, tapi nggak bisa terima sifatnya yang cuek dan sok pinter."

"Tapi dia memang pintar, pandai mengajari anak-anak saya."

"Pa. Jangan jadikan dia guru privat adik-adikku. Bisa bahaya jika mereka ikut sifat Difa."

"Dia nggak lagi mengajar, karena guru privat utama sudah kembali mengajar."

"Ah, syukurlah." Alana menghela napas lega.

Damian tampak memperhatikan layar ponselnya, lalu berdecak kecil, namun terlihat sangat kesal.

"Ada apa, Pa?" tanya Alana khawatir.

"Nggak apa-apa. Istri saya sedang berada di Pekalongan, tapi saya sulit menghubunginya, dia juga sepertinya tidak mau menerima panggilan saya."

Alana terdiam, wajahnya murung, dan Damian menyadarinya.

"Kamu mau pesan apa untuk makan siang ini?" tanya Damian yang hampir saja lupa memesan untuk Alana.

"Ah, aku sedang mau makan nasi dan sup udang saja siang ini."

Damian lalu mengangkat tangannya ke arah pramusaji, memesan apa yang Alana inginkan ketika pramusaji menanyakannya.

"Papa nggak pesan?"

"Saya sudah makan sebelum kamu datang."

"Oh." Wajah Alana berubah kecewa, dia akan makan sendirian.

Tidak memakan waktu lama, makanan yang diinginkan Alana tiba dan Alana dengan berat hati menikmatinya sendirian.

Alana mulai mengerti sikap Damian setelah beberapa waktu cukup dekat. Dia mau tidak mau harus mengikuti keinginan Damian dan tidak bisa membantah. Jika tidak, Damian akan bersikap acuh tak acuh bahkan bisa saja tidak peduli. Alana mengerti bahwasanya dia harus mendekati "papanya" ini pelan-pelan, dan belum sepenuhnya bisa menguasainya. Alana sudah berusaha memanggil Papa ke Damian, tapi Damian sepertinya enggan dan belum mampu memosisikan dirinya sebagai seorang papa di depannya, pria itu masih terlihat dingin.

Tidak masalah bagi Alana, yang terpenting baginya bisa berdekatan dengan Damian.

Alana ternyata sangat lapar, dalam waktu yang tidak lama dia bisa menghabiskan makan siangnya. Damian tersenyum kecil dan menggeleng, tapi dalam hatinya dia senang karena Alana menghabiskan makanan yang dipesan.

"Enak?"

"Iya, Pa. Enak dan aku kenyang."

Damian mengangguk dan menatap Alana dengan tatapan hangatnya. "Saya ingin tahu siapa mama kamu."

Alana sedikit tersentak, "Maksudnya? Papa ingin menghubunginya? Bukannya aku dilarang memberi tahu soal ini kepada mamaku?"

"Saya hanya ingin lihat fotonya."

"Oh."

Alana mendadak gugup, khawatir jika Damian tidak mengenal mamanya, dan dia dituduh mengada-ada. Baru kali ini Damian memintanya untuk memperlihatkan foto mamanya, dan dia merasa sangat gugup.

"Jangan gugup begitu, Alana. Saya hanya ingin tahu. Saya banyak berhubungan dengan banyak perempuan di masa lalu. Mudah-mudahkan saya masih bisa mengingatnya."

Alana lumayan merasa tenang, perlahan dia serahkan ponselnya ke hadapan Damian setelah dia membuka salah satu foto mamanya yang paling jelas.

Napas Damian seperti tertahan ketika melihat sebuah foto wanita yang usianya hampir sama dengannya. Pikirannya tertuju ke lebih dari dua puluh tahun silam. Lumayan lama Damian tepekur mengamati wajah wanita yang bernama Tsamara Iyyah, mama Alana.

"Dia di sini?" tanya Damian.

Alana dengan cepat menggeleng. "Mama sedang berada di Samarinda dan berencana berada di sana dua bulan. Makanya aku bisa nekat mencari papa, karena dia selalu menghalangiku."

"Dia masih dengan mebelnya?" tanya Damian lagi.

"Jadi ... Papa mengenal mamaku?"

Damian mengangguk kecil.

Alana menghela napas panjang. Dia tidak tahu perasaannya sekarang, kadang berharap Damian bukan papanya, kadang pula berharap pria gagah dan kaya raya ini adalah papanya. Dia berusaha menenangkan diri, mengusir perasaan kacaunya.

"Ada apa, Alana?" tanya Damian yang bingung dengan sikap Alana yang semakin gugup.

"Nggak ada apa-apa, Pa. Aku hanya kaget saja, karena Papa mengenal mamaku. Tapi aku sedih, Papa sepertinya masih enggan mengakuiku."

"Bukan enggan, Alana. Saya ingin mencari waktu yang tepat untuk menceritakan kamu ke keluarga. Saya sendiri sebenarnya juga nggak siap dengan ini."

Damian sebenarnya sangat terkejut ketika melihat wajah Tsamara. Tapi dia menyembunyikan keterkejutannya. Tsamara adalah perempuan psk pertama yang dia "sewa" dan pakai di klub malam, dan dia masih mengingatnya. Dia ingat pula Alvaro yang mengurus menyelesaikan masalahnya dengan Tsamara dengan memberikan Tsamara modal yang besar untuk usaha mebel milik keluarganya. Tsamara sempat mengancam karena pada awalnya uang yang diberikan tidak sebesar yang dia inginkan.

Damian menghela napas panjang, seingatnya Tsamara telah menandatangani perjanjian untuk tidak mengganggu kehidupan Damian di kemudian hari, dan Tsamara memenuhi perjanjian itu, setelahnya dia sama sekali tidak mengganggu kehidupan Damian. Tapi sekarang, Damian malah dihadapkan kenyataan yang sama sekali tidak dia duga, bahwa Tsamara memiliki anak perempuan dan menyebut dirinya sebagai papanya.

Damian mengamati wajah cantik Alana, muncul keraguan dalam dirinya bahwa gadis ini bukan anak kandungnya, tapi muncul juga keyakinan. Hingga pada akhirnya dia tidak berdaya, membayangkan kekecewaan istrinya, juga keluarga besarnya.

"Maafkan aku, Pa. Aku akan tetap menjaga rahasia ini. Aku tahu aku nggak berhak apapun, yang aku inginkan hanya bertemu saja. Aku juga nggak perlu pengakuan," ujar Alana pasrah.

Damian tidak sanggup membalas kata-kata Alana, karena pikirannya yang berkecamuk. Dia juga belum sanggup menghubungi Alvaro untuk membuktikan, karena pasti akan melibatkan banyak pihak.

Bersambung

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang