Bab 179. Tentang Alaric

873 103 4
                                    


Sementara Natta sibuk mengikuti konferensi di sebuah hotel, Wenny tentu saja menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah. Nirmala merasa sangat bahagia dengan kedatangan Wenny dan keluarga kecilnya, khususnya cucu tersayang.

"Aw, aw, aw. Perut siapa yang nduuut," goda Nirmala gemas. Kirana adalah bayi perempuan yang gampang diajak bercanda, dia selalu menunjukkan wajah cerianya kepada orang yang mengajaknya bercanda.

"Perutnya Kirana ini," goda Nirmala lagi. "Cucu Oma yang cantik, yang pintar, dan lucuuu." Nirmala mencium gemas perut Kirana.

"Mi, aku boleh bolos sekolah nggak?" tanya Amanda yang sudah rapi dengan pakaian seragam sekolah.

"Bolos? Ini sudah rapi dan cantik. Kok bolos?"

"Aku mau main sama Kirana, Mi. Satu hari aja, besok Kirana nginap di rumah tante Nita, dan aku nggak bisa main lagi sama Kirana, keburu pulang ke Pekalongan Kirananya." Amanda menunjukkan wajah cemberutnya.

Wenny mendekati adiknya, berbisik pelan, "Kak Amanda ikut aja malam nanti ke rumah tante Nita. Gimana?" ujarnya membujuk, dia tidak ingin Amanda sampai bolos sekolah hanya karena ingin bermain dengan Kirana.

Nirmala tersenyum hangat, Wenny memang pandai membujuk adik kecilnya, sehingga membuat Amanda mengangguk senang.

Amanda lalu bersiap-siap pergi ke sekolah, meraih tangan Wenny dan menciumnya penuh hormat.

"Eits, kok nggak salam Mami?" tegur Nirmala cepat, Amanda hampir saja melewatinya.

"Oh iya, maaf, Mami. Aku lupa," ucap Amanda malu-malu.

Nirmala mengusap kepalanya penuh rasa sayang.

Tiba-tiba Alaric menuruni tangga rumah dengan sangat cepat, dia buru-buru berlari ke pintu depan, tanpa menoleh sedikitpun ke mami dan kakaknya, juga keponakannya.

"Alaric!" seru Nirmala, heran melihat sikap Alaric yang tergesa-gesa.

"Sori, aku nanti telat!" teriak Alaric dan langsung memburu mobil yang sudah disiapkan untuk mengantarnya pergi ke sekolah.

Nirmala menghela napas panjang dan raut wajahnya menunjukkan kecemasan.

"Kenapa Alaric di SMP Negeri?" tanya Wenny heran. Dia memang sudah mendengar desas desus Alaric yang dipersiapkan papinya untuk meneruskan mengurus perusahaan di masa depan, tapi dengan memasukkannya ke sekolah negeri, tentu membuat Wenny merasa aneh dengan jalan pikiran papinya. Sedangkan dirinya, Jeanny, Nevan dan Amanda di sekolahkan di sekolah swasta terbaik.

"Mama juga sebenarnya nggak setuju, tapi papi kamu bersikeras."

"Trus Alaric sendiri?"

Nirmala mengangkat kedua bahunya. "Mama pernah tanya, dia bilang dia ikut aturan papi ... begitu."

Wenny berdecak kecil, apa daya dia juga tidak berhak ikut campur dalam keputusan yang dibuat papinya untuk adik-adiknya. Menurutnya, Alaric mungkin merasa tidak kuasa membatah. Dia bisa melihat dari sorot mata Alaric dan sikapnya yang pendiam sejak masuk SMP negeri, meskipun terbaik seJaksel.

"Begitulah, nanti kamu akan mengalami masalah dalam rumah tangga, soal anak misalnya. Sebetulnya perlu ada kesepakatan berdua. Tapi ... papi memang sudah bilang sebelumnya bahwa Alaric adalah sepenuhnya urusannya."

Wenny mengangguk kecil, seolah menyadari sesuatu, tampaknya dia mulai menyetujui keputusan yang diambil Damian. "Mungkin papi punya pandangan khusus tentang Alaric."

"Ya. Kamu benar, Wenny. Tapi sekarang yang mama khawatirkan adalah Alaric yang mungkin saja menentang suatu hari. Alaric berbeda dari Nevan yang bisa diajak bicara dari hati ke hati. Alaric? Mama kadang sulit menebak apa yang sedang dia rasakan dan pikirkan tentang dia."

"Bagaimana kabar Nevan, Ma?" Melihat wajah murung mamanya saat membicarakan Alaric, Wenny cepat-cepat mengalihkan pembicaraannya, dia juga ingin tahu kabar Nevan.

"Dia sangat membanggakan. Kamu tahu sendiri adikmu yang satu itu, sejak kecil sudah berpikir dewasa."

"Wow." Wenny ikut senang mendengar jawaban mamanya tentang Nevan yang kini sekolah di SMA swasta di Utah.

"Dia mendapat nilai terbaik di kelas, bidang matematika dan sains. Om Davemu bilang Nevan pasti lulus di kedokteran."

"Akhirnya dia memilih jadi dokter."

"Ya, sesuai cita-cita kecilnya. Dia konsisten dengan cita-citanya. Ah, Mama jadi ingat dia salah mengambil termometer, ternyata dia mengambil test pack Mama."

"Maksudnya?"

Nirmala menghapus air matanya karena tawanya mengenang masa kecil Nevan. "Mama sebenarnya menyimpan test pack itu, buat kejutan papimu. Tapi Nevan pura-pura jadi dokter dan ingin memeriksa papi, dan papi menyuruhnya mengambil termometer, dia malah mengambil test pack, dan booom."

"Hahaha." Wenny tertawa membayangkan serunya masa kecil Nevan.

"Akhirnya papi tahu Mama sedang hamil Alaric."

"Semoga dia jadi dokter yang baik."

"Ya. Dia akan menjadi dokter terbaik."

Kirana senyum-senyum mendengar mama dan omanya bercerita. Dia sampai menoleh ke arah omanya dan memandangnya serius.

"Ya ampun, emang bayi ngerti kita ngomongin siapa? Ayo, siapa, Sayang? Hm? Mas Nevan? Iya, nanti ketemu Mas Nevan yang pinter banget. Iyaaa." Nirmala semangat menggoda cucunya.

Wenny mengamati mamanya, dia menyadari sesuatu hal yang menurutnya kurang baik bagi Alaric. Mamanya ceria jika disinggung tentang Nevan, dan murung jika disinggung tentang Alaric, seolah menunjukkan adanya ketidakadilan. Tapi lagi-lagi Wenny tidak berdaya dengan keadaan keluarga mama dan papinya, merekalah yang tahu apa yang terbaik untuk masa depan adik-adiknya.

***

Ternyata apa yang dikhawatirkan Wenny tidak sepenuhnya terbukti, malamnya dia melihat papinya berdiskusi serius dengan Alaric di ruang tamu, dan mereka berdua tampak akrab. Sesekali Alaric tertawa dan dia menceritakan tentang sekolahnya, mengatakan bahwa dia bisa memilih teman yang baik di sekolahnya serta bisa mengatasi masalah perundungan yang dialaminya setidaknya dalam beberapa hari ini.

Wenny merasa bangga dengan Alaric yang sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan sejak kecil serta kehati-hatian dalam bersikap. Wenny juga sudah bisa membayangkan bahwa Alaric lebih tepat berpasangan dengan perempuan rumahan yang penurut dan lemah lembut.

***

Keseruan juga terjadi di rumah keduaorangtua Natta. Si kecil Kirana disambut dengan suka cita. Semua memuji keramahan Kirana, juga memuji cantiknya di Amanda, si tante kecil yang belum siap dipanggil tante.

Ternyata hari itu ada uwak Linda, kakak kandung papa Natta, yang sedang berkunjung ke rumah orang tua Natta. Mendengar kedatangan Natta dan keluarga kecilnya, membuat Linda ingin melihat keadaan keluarga keponakannya.

"Apa kabar, Uwak," sapa Erlangga setelah memeluk hangat uwak Linda yang terlihat masih berduka.

"Baik, Natta. Uwak kangen sama kamu," ucap Linda dengan mata berkaca-kaca.

"Aku juga, Wak. Aku ... kangen Sabrina," ucap Natta sedikit merasa sesak di dadanya. Sabrina adalah sepupu terdekatnya dan sudah meninggal dua tahun tahun yang lalu.

"Panji menikah lagi."

"Aku tau, Mama sudah cerita. Dia menikah tiga bulan setelah Sabrina pergi."

Uwak Linda mengangguk sambil menahan sedih.

Bersambung 

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang