Bab 183. Bertemu Grace

664 88 2
                                    

Nevan lebih dulu bangun pagi ini, dan dia mendengar suara perempuan memanggil nama Bagas lewat interkom. Dia melirik Bagas yang tengah tidur pulas. Mulanya dia ingin ke luar pintu apartemen dan turun menuju pintu lobi di lantai bawah, untuk membukakan pintu buat Grace. Tapi dia urung, dan berpikir lebih baik membangun Bagas.

"Kamu saja, Nevan. Aku masih ngantuk."

Nevan berpikir sejenak, mengatur deru napasnya yang sedikit memburu. Dia akan bertemu Grace, perempuan yang dia idam-idamkan sejak lama. Nevan yakin dirinya pasti akan gugup, tapi sebisa mungkin mengatur emosinya.

Nevan ke luar apartemen dan setengah berlari menuju lift ke arah pintu utama gedung apartemen.

Nevan lalu membuka pintu utama apartemen, dan dia melihat perempuan cantik berambut panjang bergelombang berwarna cokelat dengan topi berbahan wool di kepalanya. Sepasang mata kebiru-biruan dan berbulu lentik tertuju ke wajahnya.

"Oh, Thanks God. Someone's just openen the door for me. Thank you."

Sikap perempuan itu manis sekali dan senyumnya benar-benar tulus di mata Nevan, dan Nevan terkejut, dia dengan cepat mundur mempersilakan perempuan itu masuk ke dalam gedung apartemen dan masuk ke dalam lift.

Nevan ikut masuk ke dalam lift seolah mengikuti Grace. Tentu saja Grace bingung, tapi dia tetap berusaha bersikap ramah.

"Jadi ... kamu Grace."

Grace mendelik. "Ah, kamu?"

"Aku Nevan, aku menginap di kamar Bagas. Dia masih tidur dan aku mendengar suara kamu di interkom."

"Oh. Oke." Grace tersenyum lagi, sedikit kikuk, lalu memperbaiki rambut gelombangnya.

"Hm ... kamu tadi-"

"Nevan."

"Nevan," beo Grace dan tersenyum malu. Oh, aku baru ingat, kamu sahabat Bagas."

"Dia cerita?"

"Dia pernah bilang punya teman dari Jakarta dan sekelas dengannya di sekolah. Hm ... sepertinya dia pernah menyebut Nevan, tapi ah, mungkin aku lupa."

Pintu lift terbuka, dan Nevan masih mengajak Grace bicara.

"Kamu kuliah?"

"Ya, di Universitas swasta. Tahun pertama aku memilih bisnis, tapi aku bosan dan sekarang aku pilih arsitektur."

"Oh."

Nevan merasa Grace tidak nyaman dia bertanya-tanya, memutuskan untuk tidak mengajaknya berbincang. Lagi pula mereka berdua sudah di depan pintu apartemen Bagas, dan Nevan membuka pintu.

Ternyata Bagas sudah bangun dan cuci muka, tubuhnya sudah memakai baju santai dan bukan piyama tidur lagi. Dia sedang menyiapkan makanan di dapur, dan meja makan sudah dipenuhi beragam macam makanan.

"Hai, Grace!" sapa Bagas dari dapur.

"Hai," balas Grace. Dia tampak seolah ingin mengejar Bagas dan memeluknya. Tapi dia melirik Nevan dan merasa tidak enak.

Grace masuk ke dalam apartemen, dan duduk di kursi makan, sedangkan Nevan duduk di sofa, meraih ponsel dan memainkannya.

Grace mengamati wajah Bagas yang tersenyum kecil ke arahnya, lagi-lagi dia melirik ke Nevan.

Nevan yang menyadari sikap diam keduanya, bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke kamar tanpa kata-kata. Sepertinya Bagas dan Grace ingin berbincang berdua saja.

"Aku ingin mengundang kamu ke Boston." Grace menunjukkan sebuah tiket pameran lukisan ke hadapan Bagas.

"Hm ... besok?"

"Pameranku lusa. Jadi kita berangkat besok pagi."

Bagas menghela napas panjang, memikirkan sesuatu.

"Biasanya kamu langsung bilang iya kalo aku ajak, kenapa?" keluh Grace.

"Jadi kamu ke sini hanya ingin mengundang aku? Kamu bisa tetap di Boston dan beri aku undangan ini."

"Aku sudah dua malam di sini, Bagas. Aku menginap di rumah temanku, Carie. Kakaknya melahirkan anak pertama."

Bagas mendelik, lalu mendengus tersenyum, "Kenapa kamu nggak hubungi aku saja?"

"Kan kita putus."

Bagas berdecak kecil, menggeleng dan wajahnya berubah bingung.

Grace menghela napas pendek, wajahnya juga ikut berubah. Baru kali ini Bagas terlihat sama sekali tidak tertarik berbicara dengannya. Sebelumnya, meski putus, Bagas tetap menunjukkan antusiasnya jika diajak berbincang.

"Oke. Aku akan menginap di rumah Carie malam ini, maaf mengganggu."

Bagas memegang lengan Grace, dan berkata, "Aku ingin Nevan ikut. Apa boleh?"

Grace berpikir sejenak. Lalu mengangguk.

"Kamu ... nginap aja di sini," ajak Bagas akhirnya.

"Aku nggak mau ganggu kamu dan dia-"

"Dia akan pulang."

Grace mengangguk. "Oke," ucapnya.

Grace dan Bagas lalu duduk-duduk berdua di sofa depan televisi, membicarakan banyak hal. Grace tampak lebih semangat menceritakan tentang lukisan-lukisan karyanya yang akan dipamerkan besok di sebuah pameran.

"Jadi ada lima pelukis?"

"Ya, dan aku satu-satunya cewek."

Bagas tersenyum bangga melihat Grace. "Hebatnya."

"Iya, dong."

"Trus yang lain cowok semua?"

"Silly. Kalo aku bilang satu-satunya cewek ya berarti yang lain cowok dong."

Bagas terkekeh menyadari kekonyolannya.

Di sela-sela kegiatannya sebagai mahasiswi di sebuah universitas swasta di Boston, Grace juga aktif di dunia lukisan. Sejak SMP, Grace sering mengikuti ajang kompetisi hingga tingkat internasional. Tidak heran dia mendapat banyak penghargaan. Sayangnya, Grace yang ingin kuliah di bidang seni, tidak disetujui njid atau kakeknya, karena dianggap tidak menjamin masa depan. Grace "dipaksa" memilih jurusan bisnis dan ekonomi saat mendaftar kuliah, bukan bidang yang dia sukai. Semester pertama kuliah, dia bisa mengikuti kuliah dengan baik, tapi di akhir tahun, Grace mulai ogah-ogahan. Sekarang dia mencoba memilih arsitektur, keluarga berharap dia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik dan tidak terganggu dengan kegiatan luar kuliah.

"Bagaimana kamu dengan Jiao?" tanya Grace tanpa mengurangi rasa cemburunya.

"Yah, begitulah. Dia katanya sedang dijodohkan dengan saudara sepupunya."

"Haha." Grace yang mulai tenang, menaikkan kedua kakinya di atas sofa, tepat di atas pangkuan Bagas, dan Bagas memijatnya pelan.

"Dan kamu trus mengharapkannya?"

"Nggak juga. Aku bilang aku nggak apa-apa, karena kita cuma pacaran, bukan untuk menikah."

"Kamu bilang dulu dengan Jiao nggak pacaran, cuma iseng."

"Lagian dia yang mau, ya ... aku iya in aja. Lumayan, ada teman ngobrol kalo berantem sama kamu."

"Ih." Grace menendang lengan Bagas, tapi tendangannya dibalas Bagas dengan usapan di kakinya yang masih terbungkus kaus kaki.

Tiba-tiba Nevan ke luar dari kamar Bagas dan dia sudah membawa tas ransel di punggungnya.

Nevan cukup terkejut melihat "kemesraan" antara Bagas dan Grace di ruang tamu. Tapi dia dengan cepat bersikap biasa.

Bersambung

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang