19. Undangan Damian

1.3K 98 2
                                    

"Iya, Ma. Aku harap Mama mengizinkanku agar aku ikut papa lusa ini ke Jakarta. Mama harus bersikap tenang, menghadapi papa Agung itu kita yang harus tenang dan nggak bisa terlampau keras kepadanya. Karena yang muncul adalah dendam yang tidak berkesudahan."

Nirmala menatap Wenny dengan perasaan kagumnya. Sama sekali tidak menyangka Wenny yang teguh pendirian. Padahal semasa kecil, gadis ini kerap mengeluh dan beradu argumen dengannya.

Nirmala mendekap erat bahu Wenny, dan bertanya, "Jadi ini alasan kamu ingin pergi bersama papamu ke Jakarta?"

Wenny mengangguk, "Iya, Ma."

"Lalu bagaimana kamu akan mencari tahu tentang hal ini?"

"Aku selamanya akan berpihak ke Mama dan keluarga Mama. Bagaimanapun aku tahu dan masih mengingat betapa kejam perlakuan papa Agung terhadap Mama dan keluarga Mama," ujar Wenny meyakinkan mamanya. "Asal Mama tahu, sekarang aku berpura-pura dekat dengan papa Agung, supaya aku bisa mendapat informasi tentang anak yang dimaksud itu." Suara Wenny melemah dan pelan, melanjutkan, "Papa Agung sudah berhadapan langsung dengan orang yang mengaku memiliki anak dari papi Demi, dan dia berniat akan bertemu dengannya. Papa Agung masih berusaha merebut hak asuhku dan Jeanny."

"Kepar*t!" umpat Nirmala.

Wenny dengan cepat menenangkan mamanya yang mengepal tangannya kuat-kuat.

"Iya. Papa Agung akan menggunakan rumor ini untuk merebut aku dan Jeanny. Apalagi aku tinggal terpisah dari Mama dan papi. Tapi tenang, Ma. Aku nggak akan pernah mau. Aku nggak mau terjerumus ke dalam masalah yang sama. Tapi aku harus cepat mengatasi masalah ini dan membuktikan kebenaran isu itu. Aku yang akan berhadapan dengan papi Demi."

"Wenny. Mama belum sanggup bertemu dengan siapapun."

Nirmala barangkali sangat trauma dengan masa lalunya, terutama terkait Agung, sang mantan suami yang sebelumnya sudah berhasil memecah belah keluarganya. Sekarang, dia merasa jantungnya sangat lemah, merasa tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa Damian yang ternyata memiliki anak di masa lalu. Untungnya, Wenny sudah dewasa sekarang dan mengerti cara menenangkan mamanya.

"Wenny ... apa kamu—"

"Mama, percayalah kepadaku. Aku memang dulu sempat membenci Mama bahkan menjauhi Mama, karena dulu aku tidak mengerti keadaan kita, juga tidak tahu kebenaran di balik kejadian itu. Sekarang aku sudah besar, Ma. Aku bisa melihat mana yang terbaik untukku."

Nirmala mengecup dahi Wenny penuh rasa sayang.

Wenny meraih kedua tangan mamanya dan menangkupnya. "Aku tahu Mama sekarang pasti kesal dengan papi Demi. Yang penting Mama jangan gegabah dan marah-marah dengan papi Demi. Itu nggak akan pernah menyelesaikan masalah. Biar aku yang mengatasi masalah ini, Ma."

Nirmala tersenyum, sempat terpikir olehnya untuk melapor ke kedua orangtuanya, lalu ke Damian dan keluarga besarnya. Tapi, melihat kesungguhan Wenny dan menimbang apa yang Wenny katakan, rasanya percuma jika melibatkan banyak orang.

"Aku bisa, Ma. Beri aku kesempatan agar bisa melakukan ini dengan tenang. Aku tahu cara menghadapi papa Agung, cara melumpuhkan niatnya."

"Wenny. Malam ini kamu tidur sama Mama, ya?"

"Mama, nanti Jeanny cemburu."

"Ajak dia sekalian."

Wenny mengangguk, dan bergegas ke luar dari kamar mamanya, menuju ke kamar Jeanny dan memanggilnya untuk menginap di kamar mamanya malam ini.

Melihat sikap kedua anaknya yang berpihak kepadanya, Nirmala benar-benar tenang. Jeanny dan Wenny adalah dua kakak beradik yang sangat kompak, saling mendukung dan jarang sekali bertengkar. Nirmala teringat akan kejadian beberapa tahun lalu, di mana pada akhirnya Wenny memutuskan untuk tinggal bersama kakek dan neneknya di Pekalongan, dan tidak tergiur tinggal di kota besar Jakarta dengan segala fasilitas mewah. Wenny mengatakan bahwa dirinya memiliki tanggung jawab terhadap kakek dan neneknya, dan dia ingin mamanya bahagia dengan keluarga barunya, juga memberi kesempatan kepada adik-adiknya agar selalu bahagia dan tidak kekurangan kasih sayang.

"Mama doakan kamu akan berjodoh dengan pria yang bertanggung jawab dan memiliki hati yang baik," ucap Nirmala ke Wenny, saat Jeanny sudah nyenyak tidur.

Wenny tertawa kecil, "Aku bahkan tidak mau memikirkan pernikahan. Bagiku pernikahan itu hal yang rumit. Kata Bibi Laras, nikah itu hanya senang di malam pertama ... setelah itu penuh dengan masalah-masalah yang rumit."

"Astaga, Laras."

"Iya, Ma."

"Nggak sepenuhnya begitu—"

"Iya, aku tahu. Bibi Laras punya alasan mengatakan itu, karena dia mengalaminya," gumam Wenny. Bibinya itu telah mengalami pernikahan yang sulit, bercerai setelah menikah tiga bulan, karena mantan suaminya yang tidak bertanggung jawab dan senang berjudi.

***

Alana semakin hari semakin semangat menjalani hari-harinya. Akhirnya dia berkesempatan untuk berdekatan dengan Damian. Bagaimanapun, dia harus puas ketika Damian memintanya untuk tidak menyebarkan isu tentang dirinya yang merupakan anak kandung Damian. Entah bagaimana, Damian merasa bahwa Alana adalah anaknya, karena sikap manis dan manja Alana, serta Alana yang mau mengalah serta menuruti kata-katanya. Sedikit membandingkan dengan putri kecilnya, Amanda, yang keras kepala dan sulit dibujuk. Alana jauh lebih baik dan juga pintar, serta kerap membantunya mengerjakan pekerjaan di kantor.

"Siang ini aku diajak Pak Damian makan siang di restoran. Sepertinya aku agak lama bersamanya. Jadi ... kalo kamu butuh seseorang untuk membantu pekerjaan kamu, panggil yang lain saja," ujar Alana ke Difa saat beberapa menit menjelang jam makan siang.

"Oke," jawab Difa acuh tak acuh.

Sudah beberapa hari ini Alana kerap dipanggil ke kantor Damian dan menghabiskan waktu yang agak lama di sana. Difa tidak tahu persis yang dilakukan keduanya, tapi yang dia dengar bahwa perusahaan sedang terlibat dalam proyek pemerintahan yang berskala besar, sehingga banyak orang yang terlibat di dalamnya, termasuk beberapa peserta magang, juga Alana. Difa tahu kenapa dirinya tidak masuk dalam kegiatan proyek besar tersebut, karena campur tangan Alana, yang tidak menginginkannya. Difa tidak masalah dengan itu, karena dia lebih suka bekerja sendirian di kantornya.

Alana menutup pintu kantor dan berjalan tegap menuju lift di ujung koridor.

Setiba di depan gedung, Alana tersenyum lebar melihat mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan gedung. Seorang sopir turun dan membukakan pintu untuknya.

"Terima kasih, Pak," ucap Alana sopan. Dia duduk di bagian belakang sopir.

Alana : Iya, Pa. Aku sudah di dalam mobil

Damian : Iya, saya sudah di restoran.

Alana : Nggak apa-apa Papa menunggu?

Damian : It's allright.

Alana menghela napas panjang, dan senyumnya mengembang lebar. Baru diajak makan siang di sebuah restoran mewah oleh "papanya" sudah membuatnya seperti orang yang paling bahagia di atas bumi ini.

Bersambung

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang