Bab 182. Cerita Sahabat Nevan

883 106 6
                                    

Nevan sudah kembali ke Utah setelah liburan semester yang menyenangkan di Jakarta dan Pekalongan. Dia bertekad akan lebih serius belajar karena tak lama lagi dia akan memasuki tahun terakhir masa SMAnya. Sore setelah kegiatan sekolah selesai, Nevan diajak Bagas ke apartemennya dan menginap di sana.

Apartemen Bagas tidak begitu jauh dari rumah om Dave, dan berada di tengah kota dan lokasi yang sangat strategis. Nevan sudah beberapa kali menginap di apartemen Bagas, dia senang karena apartemen Bagas yang rapi, dan Bagas yang suka memasak untuknya.

"Mungkin karena kamu pandai memasak, Grace jadi susah melupakan kamu," ujar Nevan saat menikmati masakan Bagas berupa rawon dan perkedel kentang. Bagas menggunakan bumbu khas yang dibuat omanya secara khusus. Omanya Bagas sangat menyayangi Bagas, karena Bagas adalah cucu yang membanggakan keluarga. Rawon buatan Bagas malam ini sangat lezat di mulut Nevan, Nevan sampai menambah porsi makan.

"Aku sebenarnya juga susah melupakan Grace, Van," aku Bagas pelan, sambil mengaduk kuah rawon yang sedang dia nikmati. "Dia ... perempuan yang sangat sempurna," ujar Bagas lagi. "Meskipun orang-orang melihatnya sebagai perempuan yang sok cantik, atau apalah—" lanjut Bagas dengan nada berat.

Nevan membenarkan kata-kata Bagas dalam hati. Dia saja yang menyukai Grace sejak SMP sukar melupakan Grace dan senyumnya. Baru satu kali Grace tersenyum ke arahnya, Nevan tidak bisa melupakannya.

"Lalu apa yang membuat kamu yang terkadang putus nyambung?"

Bagas menghela napas panjang, tidak serta merta menjawab pertanyaan Nevan. Dia masih mengaduk rawon dan menikmatinya hingga habis. Nevan pun akhirnya memutuskan untuk tidak bertanya, dan ikut menikmati rawon sampai habis seperti yang Bagas lakukan.

Setelah makan malam dan membersihkan meja makan dan dapur, keduanya duduk di atas sofa depan televisi. Mereka tidak lagi membahas Grace, dan memilih membicarakan tentang persiapan ujian kelulusan tahun depan.

Di tengah perbincangan, Bagas menerima panggilan dari Grace, dan Nevan pun terdiam. Wajah Bagas tampak murung tapi sekilas melirik Nevan sambil memikirkan sesuatu.

"Grace mau datang ke sini besok pagi," gumam Bagas dan tidak tahu kenapa dia tampak sangat galau.

"Oke, aku bisa pulang."

"Nggak, kamu di sini saja."

Nevan berpikir sejenak, lalu kemudian mengangguk.

Nevan memaklumi jika Bagas dan Grace berpacaran dan kerap menginap berduaan, kadang Bagas menginap di apartemen mewah Grace di Boston, atau Grace yang menginap di apartemennya. Nevan tidak bertanya apa saja yang mereka lakukan saat berduaan, tapi dia yakin tidak sejauh itu, karena Bagas pernah bilang tidak akan berhubungan badan sebelum menikah. Grace, meski menganut agama Islam, tapi kakek Grace yang tinggal di Bantul adalah jemaat yang sangat aktif di gereja Katolik, dan sangat disegani. Ditambah kakek Grace dari pihak mamanya yang merupakan keturunan Arab dan latar belakang keluarga muslim yang taat. Nevan yakin, Grace juga memiliki prinsip seperti Bagas. Lagi pula, mereka memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

"Kenapa kamu ... sedih? Khawatir Jiao—" Nevan hati-hati bertanya.

"Bukan masalah Jiao. Aku sedang mempertimbangkan Grace. Aku dan dia saling sayang, aku ... adalah cinta pertamanya," aku Bagas dengan mata mengerjap.

"Lalu cinta pertama kamu?" tanya Nevan, dia merasa ini waktunya Bagas mengungkapkan kisah asmaranya.

Bagas mendengus tersenyum. "Aku jatuh cinta sejak kecil dengan anak tetangga—"

"What?"

"Namanya Shania Maureen, dia cantik, mirip Jiao. Tapi aku nggak bisa bersamanya."

"Karena?"

"Dia saudara sepersusuanku. Aku dulu sempat diberi asi mamanya ketika mamaku sakit keras."

"Oh." Nevan memperbaiki posisi duduknya, tertarik akan kisah Bagas. Melihat sikap Nevan, Bagas juga merasa nyaman bercerita.

"Grace memiliki saudara kembar, Gloria ... dia sekolah di Melbourne. Keduanya menyukai aku dan berebut ingin jadi pacarku."

Nevan tertawa renyah, lucu membayangkan saudara kembar memperebutkan seorang Bagas. Tapi dia akui Bagas tampan dan pintar, dengan tubuh tinggi atletis dan wajah yang tidak membosankan, serta pandai memasak. Terlebih, Bagas juga pandai merayu perempuan, dan memperlakukan mereka dengan sangat baik.

"Aku pilih Grace karena dia yang usahanya jauh lebih keras dibanding Gloria."

"Haha, pasti kembarannya marah."

"Ya, cemburu pasti. Mereka tidak saling tegur ... sampai masing-masing berpisah, Grace ke Boston dan Gloria di Ausi."

Nevan mengangguk mengerti, Grace dan Gloria tidak pernah terlihat bersama saat SMP dulu, atau mungkin dia yang jarang melihat mereka bersamaan. Tapi isu kembar memang pernah Nevan dengar.

"Kami memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat, njidnya atau kakeknya menikah dengan eyangku dari pihak mama."

"Jadi itu yang membuat hubungan kamu dan Grace jadi maju mundur?"

Bagas menghempaskan napasnya, dengan mata menerawang ke jendela kamar yang tertutup tirai hijau tosca.

"Semua setuju, bahkan kedua orang tuaku, eyang dan Njid juga setuju. Apalagi mama Grace yang sudah menyebut mamaku sebagai calon besan masa depan. Hanya satu orang yang tidak setuju, Eyang Hanin, dia adalah mama dari papaku."

"Wow, jadi eyang Hanin sangat berpengaruh."

"Tidak juga, Nevan. Tapi alasan ketidaksetujuannya yang bikin aku maju mundur."

Bagas memperbaiki posisi duduknya, agak menghadap lurus ke Nevan, melanjutkan ceritanya dengan nada berat, "Eyang Hanin bilang dia nggak akan rela aku sebagai cucunya berpasangan dengan perempuan yang lahir dari seorang ibu hasil luar nikah—"

"Maksudnya?"

Bagas terdiam sejenak, ini terlalu pribadi, tapi dia harus menjelaskan agar Nevan mengerti tentang rumitnya hubungan Grace dan dirinya. Lagi pula Nevan adalah seorang sahabat yang bisa dipercaya. "Mama Grace, Sabine, adalah anak luar nikah. Papa kandungnya dulu berhubungan se* dengan perempuan yang baru dia kenal di klub malam sampai hamil."

"Sebentar, tadi kamu bilang kakek Grace menikah dengan eyangmu. Jadi kakek yang telah berhubungan sek* di luar nikah ini yang kamu maksud?"

Bagas mengangguk.

"Oh." Wajah Nevan berubah, dan dia mulai berpikir kekerabatan Bagas yang cukup rumit.

"Aku sebenarnya tidak mempersoalkan jati diri Grace. Aku nggak peduli dia anak luar nikah atau tidak, karena aku sangat menyayanginya. Tapi eyang Hanin sampai menangis memohon, dan aku ... bingung."

Nevan mengangguk pelan, mencoba mengerti posisi Bagas.

"Kamu tau? Grace tidak tahu soal ini dan tetap aku rahasiakan, untuk menjaga perasaannya. Tapi aku memang kerap membuatnya kesal."

Nevan menghela napas panjang, akhirnya dia mengerti masalah yang dihadapi Bagas tentang kehidupan asmaranya.

"Haha, kita masih anak sekolahan, Nevan. Nggak seharusnya membicarakan soal ini. Aku saja bingung kenapa eyang Hanin bisa berpikir sejauh itu dan mengatakannya kepadaku." Bagas menggeleng, menyadari bahwa usianya dan usia Nevan terlalu dini untuk membicarakan hubungan asmara sampai soal pernikahan.

Bersambung 

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang