Bab 178. Kirana Erlangga

1.1K 104 0
                                    

Meskipun musim panas, cuaca kota Florence tetap terasa sejuk bahkan dingin, Nirmala dan Damian bercumbu dengan semangat di atas ranjang dengan pintu jendela terbuka, menghadap hamparan rumput dan kebun bunga yang indah di luar. Damian memang sengaja memilih kamar yang agak jauh di pojok lorong, karena jarangnya orang atau pekerja lalu lalang di sana, sehingga dia dan Nirmala bebas mengerang dan mendesah nikmat ketika bercinta, seperti di alam bebas.

Damian sangat menyukai posisi Nirmala di atas tubuhnya saat berhubungan badan. Istrinya itu sangat cantik di matanya dan tidak berubah sejak mengenalinya. Meskipun dia pernah hampir berjodoh dengan calon profesor perempuan di kampus ternama Australia Selatan, namun ketika dia tahu kabar Nirmala yang memiliki anak yang merupakan benih cintanya, Damian berubah haluan dengan cepat, mengingat malam panasnya dengan Nirmala yang tak terlupakan.

Tubuh Nirmala meliuk-liuk naik turun dan menukik, membuat Damian lemah tak berdaya atas kendalinya.

"Panas, Sayang. Kamu panas sekali, oooh." Damian melenguh dan dia tidak kuat bertahan, dan melepaskan segala perasaan sayangnya. Dia memeluk tubuh keringat istrinya yang terhempas di atas tubuhnya.

"Akh, nikmat sekali. Kamu?"

"Tentu saja, Demi."

"Tapi kamu belum puas."

"Nggak apa-apa. Aku, 'kan sudah sebelumnya."

"Tapi kamu biasanya meminta dua kali."

"Haha, aku letih, Sayang. Kamu juga pasti letih." Nirmala mengecup lembut pundak besar Damian yang kokoh berkeringat, dan memberikan jilatan nakal di lehernya.

"Aku tau ... ini pasti gara-gara kita akan pulang besok, 'kan?"

"Nggak, Damian. Haha."

"Aku bisa menambah hari."

"Nggak usah aku sudah rindu Amanda, tak sabar Wenny yang akan melahirkan."

Damian memeluk penuh tubuh Nirmala di atas tubuhnya erat-erat.

***

Wenny akhirnya pasrah, dokter menyatakan bahwa dia harus menjalani operasi sesar untuk melahirkan, karena posisi bayinya yang sungsang. Meskipun Wenny masih yakin dirinya bisa melahirkan secara normal dan mengaku masih kuat, tapi Natta melarangnya dan mengikuti saran dokter yang lebih tahu keadaan kesehatannya. Hari kelahiran semakin dekat, dan posisi bayi masih sungsang.

Keluarga dari Jakarta datang ke Pekalongan, mama dan papi Wenny dan adik-adiknya, juga kedua orangtua Natta.

Alana dan keluarganya juga datang, namun, di saat menjenguk Wenny di dalam kamar inap di rumah sakit, hanya Alana yang datang karena anak-anak dilarang mendekat dan David yang memilih menunggu di luar. Alana memberi semangat ke Wenny, karena dia juga sebelumnya menjalani operasi sesar saat melahirkan anak kembar pertamanya.

Sebelum operasi, Alana sempat menemui Wenny dan duduk di sampingnya.

"Makasih, Lana. Kamu sedang hamil tapi tetap jenguk aku. Kamu nggak apa-apa?" tanya Wenny yang mengkhawatirkan kehamilan Alana yang menginjak lima bulan.

"Nggak apa-apa, Lana. Hamilku yang kedua ini malah bikin aku selalu ingin gerak ke mana-mana, akunya rewel sampe David bingung, dia khawatir juga."

"Iya ih. Jadi kamu belum ke Yogya?"

Alana menggeleng, dia sengaja langsung datang ke Pekalongan khusus menjenguk Wenny, setelahnya, baru melanjutkan perjalanannya menuju Yogya. "Lusa nanti baru ke Yogya," ujarnya.

Wenny menggeleng, kagum dengan Alana yang meskipun hamil, tetap kuat bergerak.

"Mungkin karena anakku laki-laki sih. Kata mertuaku, dia dulu hamil dan tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Lalu aku tanya mamaku, dia bilang dia emang lemah saat hamil aku. Dan aku merasakan perbedaannya, waktu hamil kembar, tujuh bulan aku sudah nggak bisa jalan dan harus pake kursi roda. Sekarang, kamu lihat saja sendiri."

Wenny jadi semangat melihat wajah binar Alana. Alana yang dulu adalah musuhnya, justru kini menjadi sahabat dekat dan menjenguknya jauh-jauh dari Samarinda.

"Nggak semengerikan yang kamu bayangkan, yang penting relaks. Jangan kecewa karena kamu tidak bisa melahirkan secara normal. Menurutku semua ingin lahir normal, tapi kalo keadaan tidak memungkinkan, ya kita harus terima dengan ikhlas."

Tak lama kemudian, datang Natta dan dia tersenyum senang melihat Alana duduk di dekat istrinya yang rebah di atas tempat tidur, memegang tangannya memberi semangat. Natta tidak lupa mengungkapkan rasa terimakasihnya ke Alana yang jauh-jauh datang dari Samarinda untuk menjenguk istrinya yang akan melahirkan malam ini.

***

Kirana Natta Erlangga sudah lahir dengan selamat. Wenny menangis terisak saat bayi cantiknya menyusu di dadanya saat baru saja lahir. Bayi itu memegang dadanya dan matanya seolah melihat mamanya. Ini adalah momen terindah dalam hidup Wenny yang akhirnya menjadi ibu, yang sudah dia dambakan setelah bertahun-tahun.

"Cantik kayak kamu, Sayang."

"Dia pintar seperti kamu, Natta."

Wenny dan Natta berbincang pelan ketika Kirana selesai menyusu dan tidur di dada Wenny.

***

Beberapa bulan kemudian.

Hadirnya Kirana di tengah-tengah keluarga Poernama menambah suasana kediamannya lebih hangat dan ramai. Bayi itu sekarang sudah berusia tujuh bulan dan sudah bisa makan bubur. Bibi Laras yang hampir setiap hari merawatnya jika Wenny sibuk bekerja di kantor. Selesai enam bulan asi eksklusif, Wenny memang memutuskan kembali bekerja, dan "menitipkan" Kirana di rumah. Sebenarnya Natta tidak memaksa Wenny untuk bekerja, karena dia bisa menangani urusan di perusahaan. Tapi Wennylah yang bersikeras, merasa lebih suka bekerja di kantor. Lagi pula, bibi Laras senang merawat Kirana yang semok dan memiliki senyum manis, juga nenek Rahmah yang tidak bosan menghabiskan waktu dengan Kirana.

"Papi menyuruhku berangkat ke Jakarta minggu depan, ada konferensi internasional di Jakarta, dan dia sangat berharap aku bisa ikut," ujar Natta setelah cukup lama berciuman hebat dengan istrinya di kantor. "Kamu mau ikut? Atau tetap bekerja di kantor?"

"Aku ikut."

Natta tertawa kecil sembari menatap lembut wajah istrinya. "Aku akan suruh Jeanny melihat keadaan kantor."

"Dia bisa diandalkan."

"Kirana?"

"Kita ajak saja."

"Pasti bibi Laras ngamuk, dia sudah mengklaim bayi itu."

"Haha." Wenny sudah bisa membayangkan wajah bibi Laras jika dia pergi membawa Kirana. Wenny pernah membawa Kirana jalan-jalan ke mall, wajah bibi Laras sedih saat melepasnya pergi, walaupun hanya beberapa jam.

"Ya, sekali-sekali. Aku rasa bibi pasti akan mengerti," ucap Natta, lalu kembali melumat bibir Wenny. "Mama Nita kebetulan sudah kangen berat sama Kirana."

"Aku tahu," ujar Wenny dan tangannya sudah mulai nakal, melepas sabuk pinggang Natta dan membuka celana Natta, lalu menyelipkannya.

Setelahnya, ruang kantor menjadi panas membara, Natta dan Wenny bercumbu di ruang khusus, masih dengan pakaian lengkap kerja mereka.

***

Benar apa yang dipikirkan Wenny, bibi Laras adalah orang yang paling sedih ketika dia mengatakan akan pergi ke Jakarta beberapa hari dan membawa Kirana. Tapi sedihnya tidak lama karena Rahmah memberinya pengertian bahwa orang tua Natta dan orang tua Wenny sangat merindukan cucu mereka.

Wenny dan Natta juga berencana akan berkunjung ke rumah orang tua mereka, juga membagi malam-malam menginap, dua malam di rumah orangtua Wenny dan tiga malam di rumah orang tua Natta. Setelah berumah tangga, harus pandai membagi waktu dengan orang tua, begitu nasihat nenek Rahmah. Akhirnya, bibi Laras mau melepas kepergian Kirana ke Jakarta. Lucunya, Kirana sempat mencarinya dan menangis saat pergi.

Bersambung

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang