Bab 180. Liburan Nevan

782 105 1
                                    

Kehangatan dalam keluarga kecil Natta dan sikap keduaorangtuanya membuat perasaan Linda ikut bahagia. Apalagi ketika dia menggendong Kirana dan memangkunya. Linda memiliki tiga orang anak (termasuk mendiang Sabrina), semuanya sudah menikah dan hidup dengan keluarga masing-masing. Dia mengungkapkan bahwa dia ikut bahagia dengan nasib keluarga adiknya, Erlangga, memiliki satu anak yang sangat patuh, hingga memiliki keluarga yang juga bahagia berkat kesabaran. Kini, Linda melihat kebahagiaan Natta yang sangat lengkap dengan hadirnya sang buah hati yang gendut sehat dan menggemaskan.

"Uwak jadi curiga dengan Panji, jangan-jangan dianya yang lemah, buktinya sampai sekarang belum juga punya anak. Mau maksain istrinya untuk cepat punya momongan, eh istrinya yang sekarang adalah anak bosnya di kantor."

"Belum saja, Teh, kan baru setahunan menikah. Natta saja lebih dari empat tahun menikah, baru punya anak," ujar Nita menengahi pembicaraan Linda dan Natta tentang kehidupan Panji sekarang. Nita tidak ingin Linda terus-terusan memikirkan Panji yang sudah bahagia dengan istri barunya, sekaligus mengusir pikiran negatif Linda.

"Ah, emang ya, Nita. Kamu tuh selalu berpikir positif, beda dengan aku. Padahal aku sudah berusaha berpikir baik-baik, tapi tetep nggak bisa."

"Aku mengerti, Teh. Itu karena Teteh mengalami kehilangan Sabrina. Jadi wajar Teteh punya pikiran buruk dan sukar menerima. Tapi jangan diteruskan. Yang sudah ya sudah, kita doakan saja Sabrina tenang di sana."

Linda mengusap-usap kepala Kirana dengan lembut, sambil mengucapkan doa-doa. "Kamu benar, Nita. Aku minta maaf bahwa aku salah omongan. Mungkin karena kesal Sabrina nggak jadi sama si Natta. Aku pernah ikut-ikutan bilang kalo kamu sulit punya anak, tapi ternyata anakku yang kena, sampai meninggal."

"Sudah, jangan salahkan diri Teteh sendiri. Sudah begitu jalannya. Yang penting kita semua sehat dan pikiran juga sehat. Teteh juga jangan mikirin masa lalu yang jelek-jelek."

Linda tersenyum hangat, "Pada akhirnya, kita juga menghabiskan waktu dengan pasangan. Yah, meskipun anak-anakku sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta, tapi tetap jarang ke rumah. Kalo ke rumah, duh, pasti bawa persoalan rumah tangga. Nggak kayak si Natta, datang ke Jakarta, ikut konferensi, bawa berita yang menyejukkan, istri juga pinter. Pikiran kamu dan Erlangga nggak terganggu—"

Nita tertawa kecil, tetap saja Linda mengeluh dan berpikir bahwa kehidupan orang lain selalu lebih baik.

"Duh, tuh 'kan, aku selalu begitu," ujar Linda yang tersadar ketika melihat Nita yang tersenyum ke arahnya. "Baiklah, aku akan mengatur bagaimana caranya agar emosiku selalu stabil dalam menghadapi persoalan," ujar Linda akhirnya.

***

Kini Nevan sudah memasuki tahun kedua sekolah SMAnya, dan nilai akademiknya selalu bersaing dengan Bagas, bahkan kejar-kejaran. Meski bersaing, tidak ada kata iri atau cemburu di antara mereka berdua. Bahkan keduanya sepakat akan meneruskan kuliah di kampus yang sama, di bidang kedokteran. Tahun kedua ini mereka kompak pulang ke Jakarta, dan Nevan akhirnya diperkenalkan dengan mama dan papa Bagas yang kebetulan menjemput ke bandara dan tiba lebih dulu. Selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel, dan Bagas yang tidak lupa memperkenalkan Nevan kepada keduaorangtuanya.

Setelah beberapa saat berbincang basa basi, mereka hampir terpisah saat menuju gerbang depan bandara. Nevan tersenyum senang karena maminya ternyata sudah datang menjemputnya, dan datang bersama adiknya, Amanda.

"Mami, ini mamanya Bagas." Dengan cepat Nevan memperkenalkan maminya ke mama Bagas, yang datang ke bandara lebih awal.

"Oh, mamanya Bagas? Saya Nirmala, maminya Nevan. Oh iya, kenalkan ini Manda, anak bungsu saya," ucap Nirmala sopan sambil menundukkan tubuhnya. Tampaknya dia tergesa-gesa saat tiba di bandara, sehingga wajah putihnya kemerahan.

"Saya Nayra, Mami," ucap mama Bagas tak kalah sopan.

Nirmala dan Manda juga menyalami papa Bagas yang juga ikut menjemput. Tapi papa Bagas langsung menghindar seraya meminta maaf karena tiba-tiba dia menerima panggilan.

"Waduh ... akhirnya kita ketemu juga ya, Ma? Nevan suka cerita-cerita tentang Bagas dan keluarga Bagas lho," ujar Nirmala yang napasnya masih tersengal-sengal.

"Wah. Sama, Mami. Bagas juga cerita tentang Nevan dan keluarganya. Aduh, senangnya."

Perkenalan yang sangat menyenangkan siang itu. Nirmala yang sudah bernapas normal tidak bosan-bosan bercerita tentang Bagas yang ternyata sering menghubunginya lewat video call selama ini. Setiap Nevan menghubunginya, Nevan tidak lupa menunjukkan wajah Bagas agar maminya mempercayai apa yang dia ceritakan selama sekolah di Utah. Nirmala juga tidak segan menitipkan Nevan kepada Bagas. Menurutnya, meski usia Bagas sedikit lebih muda beberapa bulan dari usia Nevan, tapi sikapnya sangat dewasa.

"Iya, saya seneng banget Nevan bersahabat dengan Bagas, Ma. Soalnya Bagas pinter."

"Aduh, Nevan juga pintar, Mami."

"Ah, syukurlah. Saya jadi merasa nyaman selama Nevan di Utah."

"Oiya, maaf kalo Bagas merepotkan di rumah omnya Nevan."

"Haha, nggak apa-apa. Justru saya yang suruh Nevan ajak Bagas ke rumah Dave dan menginap di sana."

"Iya, Bagas bilang kalo tante Georgina pandai masak masakan Indonesia terutama sambal terong. Duh, bisa makan tiga porsi, Mami."

Nirmala tidak kuasa menahan tawa mendengar cerita mama Bagas tentang keakraban Bagas dan Nevan. Dia sempat melirik ke Bagas yang tubuhnya proporsional, lalu melirik ke Amanda yang tampak malu-malu.

"Mari, Mami. Kita mohon diri," ucap mama Bagas akhirnya.

"Eh. Iya, Ma. Hm ... boleh tukeran nomor kontak?" Nirmala mengeluarkan ponselnya dari tas kecilnya.

"Oh. Bentar ya, Mi—"

"Hm ... kapan-kapan kita meet up ya, Ma. Sudah lama saya tuh kepingin kenalan dengan orang tua Bagas. Cuma saya segan memulai, 'kan bapaknya Bagas Professor," ucap Mami Nevan malu-malu, menoleh ke pria berambut putih yang masih sibuk menerima panggilan.

"Haha. Bisa aja, Mami. Iya, nanti kita atur. Waktu saya cukup banyak, Mi. Saya lebih banyak di rumah," ujar mama Bagas ramah.

Nirmala pun puas akan sikap hangat yang ditunjukkan mama Bagas. Setelahnya, mereka bersalaman lagi, lalu masing-masing pamit pulang.

***

Nevan senang kembali berkumpul dengan keluarganya. Alaric dan Amanda senang mendengar cerita kakak mereka tentang kesehariannya di Utah, terutama saat bersekolah. Alaric hanya tersenyum tipis, karena dia sudah mengikuti keputusan papinya bahwa dia akan bersekolah di dalam negeri dan tidak di luar negeri seperti kakak atau adiknya yang bebas memilih bersekolah di mana.

"Sama saja, Alaric. Menurutku sekolah di sini juga tidak kalah bagus," ujar Nevan yang tidak ingin Alaric rendah diri di depannya.

Bagaimana Alaric tidak rendah diri, dia melihat Amanda yang terus-terusan memuji Nevan yang akan menjadi dokter di kemudian hari. "Itu profesi yang dimimpikan banyak orang dan orang-orang spesial seperti Mas Nevan yang bisa. Oooh, aku pasti bangga sekali punya kakak seorang dokter."

"Jadi kamu nggak bangga jadi adikku, Manda?" sindir Alaric.

Nevan lalu menenangkan Alaric, karena Amanda tidak bisa menjawab.

Bersambung

Nirmala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang