Chapter 43

351 30 0
                                    

Arlette tidak sadarkan diri, terletak di dalam ruangan yang menakjubkan dan megah, layaknya sebuah bangunan kuil Yunani kuno. Kuil ini menjulang megah di tepi laut yang tenang, menciptakan atmosfer spiritual dan damai. Temboknya berwarna putih memancarkan keanggunan, dihiasi dengan ukiran emas yang menghiasi setiap inci. Pilar-pilar tinggi menjulang ke langit, memberikan kesan kuat dan megah pada bangunan tersebut.

Kamar tempat Arlette beristirahat adalah kamar termegah yang terletak di pusat kuil. Keseluruhan ruangan didominasi oleh warna putih dan emas yang elegan. Ranjangnya yang sangat mewah dihias dengan kain tipis dan lembut, menciptakan suasana kenyamanan dan keindahan di sekitarnya. Cahaya lembut masuk melalui jendela tinggi, menciptakan kilauan emas yang memainkan bayang-bayang indah di sepanjang dinding kamar.

Arlette, tak sadarkan diri, tampak seperti seorang ratu yang sedang beristirahat di istananya. Keheningan kuil hanya dipecah oleh suara lembut ombak yang menciptakan melodi yang menenangkan, memberikan nuansa ketenangan pada ruang tersebut. Semuanya terasa begitu damai, seolah waktu berhenti untuk memberikan tempat istirahat yang layak bagi Arlette yang tak sadarkan diri di dunia megah ini.

Perlahan tangan Arlette bergerak, akan tetapi ia tidak dapat membuka kedua matanya. Matanya ditutup kain sutra berwarna putih, sat Arlette dengan paksa membuka kain di matanya, tidaka da yang dapat ia lihat meski telah membuka kedua matanya.

Semua gelap dan beberapa terlihat kilatan cahaya yang menari-nari di hadapannya. Arlette terdiam dalam kehampaan yang melingkupinya, kesunyian yang kini menjadi teman setianya. Matanya, yang dulu menjadi jendela dunia, kini terhimpit dalam kegelapan tak berujung. Ia meraba-raba di kegelapan, mencoba menemukan sesuatu yang hilang, tetapi tidak ada yang teraba kecuali hampa.

'Mengapa ... aku tidak bisa melihat sesuatu,' batin Arlette, suaranya bergema di dalam kehampaan yang mengelilinginya. 

Ketidakmampuannya untuk melihat memunculkan rasa takut yang membelenggunya. Ia tidak lagi bisa menikmati warna-warna cerah, mengamati keindahan dunia di sekelilingnya, atau melihat senyum yang selalu menghangatkan hatinya.

Kehilangan ingatan menambah beban yang amat berat di pundaknya. Setiap kali mencoba mencari memori yang hilang, ia hanya menemukan kekosongan yang menyedihkan. Identitasnya, pengalaman hidupnya, dan semua yang dulu ia kenal, lenyap begitu saja, meninggalkan dia dalam kebingungan yang tak tertahankan.

"Siapa aku?" bisiknya dengan gemetar, suaranya hampir terhanyut dalam keheningan. 

Tidak ada jawaban yang muncul, kecuali gemuruh keraguan yang semakin memperdalam jurang kekosongan di dalam dirinya.

"Ahh, Anda sudah bangun rupanya," ujar seseorang.

Arlette menoleh ke sumber suara, suara seorang pria yang begitu lembut di telinganya. Itu terasa asing dan tidak familiar, tak seorang pun yang dikenalnya. Langkah kaki lembut terdengar mendekati Arlette, menambah kebingungannya.

"Siapa?" tanya Arlette, mencoba mengenali suara dan memahami situasi yang membingungkan ini.

Arlette sama sekali tidak merasakan ancaman dari pria itu, jadi ia merasa akan baik-baik saja untuk sementara.

"Hamba adalah pelayan Anda, nama hamba adalah Noah el Noir. Anda bisa memanggil saya sesuka hati," jawab pria itu dengan lembut, seolah menjelaskan kedudukannya dengan tulus kepada Arlette.

Arlette merasa hatinya berdebar hebat saat mendengar nama pria itu. Noah el Noir. Namun, tidak ada memori yang muncul tentang siapa dia atau bagaimana dia bisa berada di sana. Pria itu seperti penjaga yang hadir untuknya, meskipun Arlette masih merasa terombang-ambing dalam kegelapan pikiran dan ingatannya yang hancur.

Seven Brother's and a Young LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang