MC - 04

4.4K 301 12
                                    

Bab 4 : Di balik pintu pt.2

Jarum jam terus berdetik, haripun kian larut sedangkan angin semakin terasa dingin menusuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jarum jam terus berdetik, haripun kian larut sedangkan angin semakin terasa dingin menusuk. Abidzar beberapa kali mengusap lengan atasnya kedinginan, tidurnya sungguh jauh dari kata nyenyak. Lehernya pun terasa keram dan punggunya teras pegal-pegal.

Ketika jam menunjukan pukul tiga pagi, seseorang keluar dari tempat persembunyiannya kala mengistirahatkan tubuh dan di susul yang lainnya. "Nyenyak nggak, Ning. Tidurnya?" Tanya Nila.

"Nyenyak sih, cuma di sini udaranya kerasa banget, ya? Nggak kaya di Surabaya," Nila terkekeh kecil, "Ya memang begini udaranya, Ning. Lagian kan ada suami yang bisa peluk, lumayan lah buat mengurangi dinginnya malam," kedua sahabat lama itu tertawa kompak, padahal hari masih gelap tapi keduanya sudah asik sendiri.

"Hihihi... Penasaran sama pengantin baru, ngintip dikit boleh kali yah?" Cicit Zara mengide. Sedangkan besan sekaligus temannya hanya melotot horor, "Astaghfirullah, niingg?"

Zara sedikit terkejut dengan kalimat sentakan itu, tidak biasanya otak mereka terbalik begini. Padahal biasanya juga sinkron. "Apaa?" Nila menyengir kuda, "Ikut lahh, apa lagi?" Zara mengelus dadanya berusaha sabar, hampir saja mereka unpren.

Lantas kedua wanita itu berjalan mengendap-endap menuju tangga lantai atas dengan di pimpin oleh Nila, selaju tuan rumah. "Huftt, jadi deg-deg jantung ini," cicit Zara pelan.

"Ya kalau nggak deg-degan kamu gak bakal ada di atas tanah, tapi di bawahnya," jawab Nila bercanda, "Plis deh, kamu tau maksud aku, kan?" Kesal Zara tuh.

"Ya— ASTAGHFIRULLAH!!!"

"APA APA??"

Bola mata Zara dan Nila membulat sempurna. Teriakan keduanya yang membahana tentu sangat cukup untuk membangunkan seisi rumah, terutama Abidzar yang tidurnya di luar kamar.

Matanya mengerjap pelan, kedua lengan lelaki itu sudah merah-merah serta wajahnya yang pucat kedinginan. "Abi, Abi,..." Suara wanita yang biasa Abidzar dengar itu berhasil membawa semua nyawanya kembali dalam tubuh.

"Hah? Apa sih, aku di mana?"

Zara menepuk keningnya pelan, matanya melirik sang besan yang tiba-tiba heboh berbalik arah menuruni tangga. Kadang Zara lupa kalau temannya mana bisa kalem meskipun sudah menyandangi status sosial yang lumayan. "Kamu kenapa tidur di luar sih, nggak dingin emangnya?" Ketusan wanita beranak dua itu kesal.

Jelas, siapa sih yang bakal mengira kalau dimalam pertama anaknya malah tidur di depan pintu, posisinya kurang enak pula. Entah apa yang ada dalam pikiran Abidzar Zara hanya mampu menggelengkan kepala. "Tangan kamu dingin gini, kenapa nggak masuk dan tidur di kamar aja sih? Terus ini dari kapan kamu tidur di sini?"

"Stt,, bentar Ma. Abi ngumpulin suara dulu," jawab lelaki muda itu ngaco, namun apa yang di rasanya memang benar. Tenggorokan Abidzar teras kering dan sangat sulit mengeluarkan suara.

Muhasabah Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang