Kalau tidak salah, itu tepat satu tahun yang lalu. Di saat Dega membuka tenda aku dengar dia sedikit bersenandung ibarat ibu menimang putra nya. Dia juga menepuk bahu ku, menggoyangkan sedikit tapi aku belum juga bangun.
"Mas Al. Gek bangun to. Katane mau liat sunrise? Itu lho di luar bagus banget pemandangan nya."
Lalu aku mengerjap beberapa kali. Dan hal yang aku liat pertama kali itu apa?
Iya. Senyum nya.
Dia maaaaaaaaaanis banget.
Hingga aku rasakan satu kecupan mendarat di pipi kanan ku. Aku tersenyum pun pula pagi itu aku memeluk nya untuk kesekian kali.
Dega menunjukkan perubahan nya sekarang. Dia sudah tak setakut dulu, dia juga sudah tak kesepian dan dia juga sudah punya alasan untuk siapa senyum nya tertuju.
Itu aku.
Ya. Aku merasa menjadi manusia yang paling beruntung dan paling di sayang sedunia ini.
Hanya dengan ucapan "selamat pagi, sayang ku" itu sudah cukup menjadi alasan aku kuat menjalani hari-hari ku.
Dega bukan lah seorang yang lemah terhadap sikap. Dia kuat, dan dia begitu telaten nya mengerti tentang aku.
"Makasih nggih sayang."
"Nggih mas."
Lalu dia merapatkan peluk.
Sunrise gunung Sumbing menyorot indah pagi itu. Siluet dedaunan seakan melambai dan menyambut kala itu.
Meski begitu, tentu bukan cuma aku dan Dega yang menikmati nya. Tapi juga berpuluh pasang pendaki yang berada di sana menyuarakan isi hati.
Indah sekali.
Itu dulu.
Kenapa begitu?
Karena sekarang aku berpangku lengan menahan tangis kala Dega harus berjuang melawan penyakitnya. Berjam-jam aku hanya ingin mendengar kalau Dega baik-baik saja.
Aku tau dia kuat. Bahkan dulu sebelum bersama ku pun aku tau dia juga kuat.
Lantas kenapa Tuhan menguji sebegitu keras nya?
"Sing sabar ya le."
Ibuk mengusap bahu ku. Bahu yang biasanya sering di buat Dega bersandar kini hampa meminta sosok nya. Aku rindu canda tawa nya begitu juga cerita yang terucap dari bibir kecil merah muda nya.
Dan karena aku tak tau lagi harus ke siapa untuk berpasrah, aku pun menangkup kedua tangan. Duduk di atas sajadah, aku hanya bisa berserah diri.
"Tuhan...."
"Kuat kan anak itu. Jika pun tak bersama ku lagi, kumohon dia punya alasan untuk tetap tersenyum di setiap hari nya."
Maka hari itu menjadi hari yang paling menyentuh hati sepanjang hidup ku.
Dega mengulas senyum nya.
Dengan masih di dalam pelukan ku, Dega berucap lirih,
"Maafin Dega ya mas. Dega selalu bikin mas Al susah. Dan makasih mas Al masih tetap disini sama Dega."
Rasanya seperti di sayat. Pas di ulu hati.
Kenapa dia bilang seperti itu?
Bahkan jika aku tarik ulur pun aku tentu nya yang harus sadar diri. Dia itu terlalu baik untuk seorang anak adam yang beruntung di pertemukan dengan ku.
Aku terkadang terlalu sibuk dengan dunia ku sampai terkadang aku melupakan nya. Jika pun di ulang, aku mungkin tak akan pernah memaafkan diri sendiri.
Tapi itu semua kita perbaiki bersama.
Haha... Cinta serumit itu, ya?
Intinya, kalo gak mau rumit, jangan jatuh cinta.
"Emang Dega mau apa?"
"Hehe aku tuh minta nya yang simpel aja maaaaas..."
"Iya apaaaa??"
"Eeee... Rumah!"
"Ah itu mah rumit!"
"Loh? Itu simpel. Realistis aja lho.. setiap pasangan pasti juga pengen rumah kan??"
"Haha.. Iyaa. Tapi temenin mas berproses ya. Nanti kita buat rumah."
"Iyaa... Lagian juga percaya aja mas. Pokoknya kita harus percaya kalo rezeki itu bakalan datang dengan cara yang tak terduga. Siapa tau aja kan besok kita bangun pagi tau-tau di depan kita ada segepok duit! Bisa aaaaja."
Aku menengok senyum nya dari spion. Dia masih lucu dengan impian gila nya. Tapi sial nya aku suka dengan pemikiran dia yang selalu membuat ku kepikiran setiap hari.
"Huff... Sehat terus ya orang-aring."
Dia tertawa. Setelahnya aku melajukan lagi motor ku untuk berburu soto pagi itu.
Sederhana, tapi gak semua orang bisa.
(.................)
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEGA ✔️
Ficção AdolescenteSuara lembut nya yang selalu sukses bikin senyum gue merekah sepanjang hari. Dega, cowok tercantik yang mengubah cara pandang gue mencintai manusia. Seperti ucap nya kala itu, "mas Al jangan bunuh diri ya. Dega disini sayang mas Al." Sejak saat itu...