Lian bangun dari tidurnya, menyambut hari dengan rasa bahagia. Watunya tiba, ia akan melakukan perjalanan untuk bertemu istri dan anaknya. Setelah Senin sampai Jumat kemarin harus bergelut dengan naskah pledoi yang harus ia dan timnya buat, akhirnya Sabtu ini ia bisa pergi tanpa beban lagi. Jadwal mendampingi klien dalam persidangan masih Selasa depan. Lian punya waktu empat hari untuk menghabiskan waktunya bersama Salsa dan Sekala. Pukul tujuh, ia bangkit dari tidurnya dan menuju dapur.
Jauh dengan Salsa juga membuatnya harus menyiapkan makan sendiri. Ia mengambil stok telur di kulkas, mengambil wajan dan diisi sedikit minyak lalu memencet tombol untuk memanaskannya. Lian sangat hafal dengan langkah memasak telur ceplok, sarapannya selalu nasi, telur ceplok dan kecap. Kalau bosan baru membeli makanan di dekat kantornya.
Setelah matang, Lian menyendok nasi yang sudah ia masak semalam. Lalu menuju meja makan dan siap untuk menyantap makanannya. Semua terasa nikmat karena dalam keadaan lapar. Kalau diingat, setelah selesai berbincang dengan Salsa ia langsung mandi dan beristirahat tanpa mengisi perutnya lebih dulu. Selain karena lelah, nasi yang ia masak juga memang belum matang.
Saat sudah habis, ia membuka ponselnya. Banyak pesan, sudah pasti dari klien, rekan kerja dan juga Salsa-nya.
Lima panggilan tak terjawab.
Mungkin panggilan Salsa masuk saat ia memasak. Ponselnya sengaja ia hening kan agar tidak menggangu tidurnya. Mengingat, sering kali ia di telfon tengah malam oleh kliennya.
Lian segera menelfon balik Salsa. Berbicara begitu sudah terangkat telfonnya,
"Hallo sayang, kenapa? Maaf tadi habis masak jadi nggak ke angkat." Ucap Lian. Satu tangannya berusaha mengambil batang rokok.
"Tadi Sekala mau telfon."
"Mana anaknya?"
"Lagi nonton tv, kayaknya udah lupa."
Lian mengangguk. Respon yang sangat bodoh karena pasti Salsa tidak melihatnya. Tangannya bergerak mengambil pemantik lalu menyalakan rokoknya. Menghisap perlahan lalu membuang asapnya.
"Lian?" Panggil Salsa.
"Hmm?" Segera Lian lepas rokok itu dari mulutnya.
"Kenapa yang?" Lanjutnya. Jeda sejenak baru ada suara lagi dari istrinya.
"Nggak jadi. Kamu udah sarapan?"
"Udah, ini lagi nyantai."
"Rokok?" Bibir Lian menyunggingkan senyum, mengetuk batang rokok pada asbak.
"Satu doang Sa, habis makan."
"Oh iya, nanti kamu jemput aku habis Sekala tidur siang aja. Sebenernya nggak dijemput juga nggakpapa, kan aku udah hafal juga arahnya ke mana." Sambung Lian.
"Aku nggak boleh jemput kamu?"
"Boleh sayang, itu cuma opsi aja biar kamu nggak capek."
"Aku sama Sekala mau jemput kamu."
"Yaudah oke, aku tutup dulu ya cantik. Mau siap-siap habis itu langsung ke bandara."
"Oke, Papiyan, hati-hati."
"Papiyan sayang Mamica." Ucap Lian. Keduanya tertawa, geli, tapi terus menerus diulangi setiap kali berada diujung panggilan.
***
Terhitung sudah delapan kali Sekala menguap dan berusaha menahan kantuknya di depan layar tv. Setiap kali matanya hampir terpejam, Salsa segera menggoyangkan badan Sekala atau melakukan hal apapun yang membuat anaknya tidak jadi masuk dalam mimpinya. Jadwal keseharian Sekala memang sudah diatur oleh Lian dan Salsa. Mulai dari kapan anak kecil itu harus bangun, mandi, makan dan bermain. Sehingga jika terjadi perubahan jadwal seperti sekarang rasanya cukup berat bagi Sekala. Seharusnya sekarang waktunya Sekala untuk tidur, tetapi Salsa paksa agar tidak terlambat menjemput Lian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sedekat Detak dan Detik
Fiksi RemajaPengkhianatan itu nyata, di depan mata. {Alma Salsabila Svarga} Manusia itu tempatnya salah. {Lian Anggasta Palupi} Cerita SDD yang di tiktok sedotan jasjus aku pindah ke sini yaa!!