GUE NIKAH?

833 225 140
                                    

Menjadi seorang istri di usia yang muda sama sekali tidak terpikirkan olehku. Apalagi istri dari orang yang tak pernah ku temui.

Pernikahan adalah list terakhir dalam hidupku. Namun nyatanya list itu salah. Tiba-tiba saja Papaku menjodohkan aku dengan anak temannya.

"Aurel, cium tangan suaminya, nak." Aku menatap penghulu lamat sebelum aku mencium tangan cowok itu.

Wajahnya ganteng sih, harum pula. Umurnya juga masih muda. Aku 21 dan dia 23.  Aku mahasiswa semester 5 sedangkan dia sudah lulus satu tahun lalu dan sekarang memimpin perusahaan papa mertuaku.

Aku mencium tangan itu pelan. Tanpa ku sangka tangan kanannya menahan kepalaku. Sedetik kemudian terdengar beberapa kata yang bisa kupastikan itu adalah doa.

Bara Arga Al-Kahfi, itu namanya. Katanya dia lulusan terbaik di jurusan arsitektur. Berbeda denganku yang memilih jurusan seribu umat. Yaitu Kedokteran.

Andai saja aku dan dia saling mencintai. Kami pasti akan menjadi pasangan yang cocok karena jurusan yang berbeda. Cinta antara anak kedokteran dan si tampan dari teknik.

Hei, apa-apaan ini? Apakah aku baru saja mengharapkan dia cinta padaku?

"Bara, Aurel, sekarang ikut mama." ucap Mama tercintaku sambil menggandengku dan Bara.

"Mau kemana sih, Ma?" tanyaku ketika Mama membawaku ke ruang keluarga yang sudah terdapat orangtua Bara dan ayahku.

"Pengantin kita sudah kemari." gurau ayahku membuatku sebal. Pasti ada apa-apa.

"Bara, Aurel, kami sudah sepakat dan kami sudah membicarakan ini matang-matang kalau kalian pindah ke rumah kalian hari ini sepulang acara selesai." ucap Papa Bara membuatku kaget. Secepat itu?

"Pa, gak kecepetan?" protes Bara yang sudah ku tunggu dari tadi.

Aku mengangguk mencoba membantu Bara. Cukup nikah aja yang satset, pindah rumah jangan. "Iya Pa, acara sampe sore kan? Capek banget kalau harus pindahan malem."

Namun bukan ekspresi tawa renyah seperti itu yang aku harapkan.

"Kamu tenang aja, Rel. Kita semuanya udah siapin perlengkapan kamu. Semua barang udah disana. Ya paling bahan masak kita belum beli. Kalo gak salah cuman ada ayam sama beras."

"Gampang itu mah tinggal kalian belanja aja sesuai kesukaan kalian. Ya kan." ucap Mamaku menambahi.

"Kok cepet banget sih Ma, Pa?" ucapku melas. Membayangkan satu atap dengan manusia kurang bicara itu membuatnya akward.

"Sayang, biar kalian saling kenal. Lagian gak baik kan serumah sama orangtua kalau sudah menikah." Yayayaya, alasan klasik. Aku terdiam. Rasanya menolak pun percuma. Aku menatap Bara yang juga terdiam tanpa mau membantah. Huh, semangat Aurel.

Mamaku mendekati aku dan Bara. "Mama kasih wejangan buat kalian. Pertama kalian gak boleh pisah kamar. Mama gak mau tuh liat kayak di film-film. Ngapain nikah kalau pisah kamar kan? Yang kedua mama gak mau denger kalau kalian ribut. Kalian itu udah pada dewasa. Kalau ada masalah tuh bicarain baik-baik. Okei?"

"Okei?" Aku tersenyum lalu mengangguk. Iyain aja biar cepet.

"Bara, kamu udah jadi suami sekarang. Dikurangin nongkrong sama mainnya. Kerja yang bener. Tapi jangan kerja terus. Harus bisa bagi waktu lah sekarang." ujar Mama Bara. Emang dia pekerja keras?

"Iya, Ma." Tuhkan. Irit banget sih bicara itu orang.

"Dan kamu Aurel. Jadi istri yang baik. Layanin suamimu dengan baik. Sekarang kamu udah jadi ibu rumah tangga. Jangan sering nongkrong juga. Kuliah yang bener. Mama percaya sama kamu." aku merasa sedih. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku sekarang bukan anak gadis mama lagi.

My Perfect HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang