Berkali-kali seorang remaja yang masih setengah sadar terlihat menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia masih mengantuk, saat sorot matahari sebenarnya sudah terlihat tajam berusaha menerobos gumpalan-gumpalan awan putih di langit biru.
Verro namanya, dia adalah seorang remaja delapan belas tahun yang tumbuh dengan ego tinggi dan emosi belum stabil. Saat-saat di mana Verro seharusnya tumbuh menjadi remaja pada umumnya, dia justru melangkah dengan hentakan kaki ke jalan yang berbeda. Keluarga sederhana Verro tinggal di desa, sedangkan dirinya memilih untuk bersekolah di kota.
Ya, Verro sudah mandiri sejak dini. Orang tuanya memberi kelonggaran pada Verro sebagai anak bungsu laki-laki satu-satunya dari kedua saudara perempuan yang lain.
Semula, Verro adalah remaja sekolah menengah atas kelas dua belas, tetapi dia sudah tidak berangkat ke sekolah hampir satu minggu lamanya. Hal ini Verro lakukan karena memang dia mendapatkan skorsing dari sekolahnya. Kesalahan fatal yang dilakukan Verro menjadikan remaja tersebut dilibur sekolahkan.
"Ver, bangun anjir! Lu puasa kagak hari ini? Tadi lu gak sahur juga." Gorden jendela apartemen yang semula melambai halus karena hembusan angin itu, kini dibuka lebar-lebar oleh satu remaja lelaki lainnya.
Seolah-olah tanpa beban dosa, remaja tersebut menyibukkan diri dengan membuka jendela juga agar udara pagi hari bisa bersirkulasi dengan semestinya. Namun, justru hal ini membuat Verro kesal.
Meski matanya masih terpejam, Verro membuka bibirnya untuk melakukan protes. "Wey, silau, lu kagak sopan banget, dah."
"Yang kagak sopan siapa? Ini apartemen gue, lu udah tinggal di sini berapa hari coba," timpal remaja yang kini berkacak pinggang seraya melihat ke arah Verro di bawah selimut.
"Oh, lu gak ikhlas nampung gue?" Verro mulai membuka mata dan menyingkapkan selimutnya setengah bagian.
"Ya, ikhlas, sih. Gue tetep gak rela sahabat gue jadi gelandangan di jalan lah." Remaja itu meraih remot AC dan segera menekan tombol power untuk mematikan benda penghasil udara dingin tersebut.
Tidak lama setelah mendengar hal tersebut, Verro benar-benar membuka selimut seluruhnya dan memposisikan dirinya duduk di kasur. "Suf, Yusuf. Lu tadi sahur makan apa?"
"Ada gue masak, kenapa emang?" Remaja yang diketahui namanya Yusuf tersebut berjalan menuju lemari pakaiannya di ujung ruangan.
"Masih ada gak? Gue pengen makan," ucap Verro sambil memasang ekspresi senyum kuda.
Sontak Yusuf menoleh ke arah sahabatnya setelah kalimat tersebut selesai. "Tolol, kan. Lu kagak puasa mulu!"
"Gue puasa gak puasa tetep gak ngaruh sama lu juga, kan? Mau gue goda lu sama makanan, iman lu setebel beton." Verro mengernyitkan dahinya. "Gak ada untungnya juga gue puasa, idup tetep kayak gini aja," lanjutnya dengan suara perlahan.
"Ver, gue gak tau apa masalah lu sekarang karena lu belum cerita juga ke gue, kan. Tapi, gue sebagai sahabat lu sejak awal masuk sekolah ngerasa lu beda banget belakangan ini. Ver, kalo ada masalah mending lu solat, lu puasa, minta tolong sama Allah." Setelah mengambil pakaian olahraga dari lemari, Yusuf menghampiri Verro yang masih terduduk di kasur.
Dia menambahkan, "Seberat apa pun masalah lu, Allah pasti bantu cari jalan keluarnya."
"Alah, Suf, Suf. Gue udah gak percaya sama yang begituan lagi." Verro menggeleng sambil memejamkan mata, suaranya terdengar sedikit parau.
"Astagfirullah, lu gak boleh nyebut gitu, Ver. Buruan istigfar, Allah gak suka digituin. Gue bukannya sok suci ngomong gini ke lu, tapi, liat? Gue gak mau sahabat gue kayak gini." Yusuf sedikit terperanjat saat mendengar perkataan Verro, dia tidak menyangka bahwa kalimat haram tersebut bisa keluar dari sahabatnya.
Verro dan Yusuf sudah berteman lebih dari dua tahun. Sejak pertama masuk sekolah, mereka duduk bersama di satu meja yang sama. Keduanya adalah siswa yang cukup teladan di sekolah. Memiliki banyak prestasi di bidang akademik dan non-akademik, mengikuti kompetisi provinsi dan nasional membuat nama mereka terpandang di sekolah.
Namun, kejadian Verro terkena skors, membuat Yusuf kaget. Tidak ada yang tahu terkait kasus Verro tersebut, bahkan sekolah berkomitmen untuk tidak memberi tahu pada siapa pun. Begitu juga Verro, dia tetap bungkam. Menyimpan rahasia yang dia miliki sendiri. Meski Yusuf sedikit kecewa karena Verro belum mau menceritakan padanya, tetapi dia berusaha memahami sahabatnya tersebut.
Selain Yusuf, sebenarnya Verro memiliki dua teman dekat lagi. Namun, karena Verro lebih dekat dengan Yusuf dan Yusuf adalah satu-satunya teman Verro yang memiliki apartemen, jadilah dia lebih memilih ikut tinggal dengan Yusuf. Kedua teman dekatnya yang lain pun tidak jarang berkunjung ke apartemen Yusuf untuk sekadar bermain atau bertegur sapa dengan Verro.
"Ya, gimana lagi, Suf? Gue udah hancur!"
Hening melanda antara bayang-bayang ketidakjelasan yang memenuhi setiap sudut ruangan. Yusuf tidak bisa berkata apa-apa setelah kalimat Verro membuat dirinya terbungkam seribu bahasa. Keduanya larut di dalam pikiran masing-masing.
Verro, remaja lelaki berambut hitam dengan gaya undercut tersebut menatap sahabatnya dengan pandangan kosong. Kantung matanya sedikit bergetar seolah-olah meminta pertolongan atas apa yang sedang menimpanya. Namun, dia masih belum siap mengungkapkan apa inti permasalahan sesungguhnya.
Waktu bergulir, sampai pada akhirnya Yusuf menyadari kalau dirinya sudah hampir terlambat pergi ke sekolah. "Ver, gue berangkat dulu, ya," ucapnya seraya bangkit dari duduknya.
Verro hanya membalas dengan satu anggukan lemah. Melihat seorang sahabat satu-satunya dan bahkan orang satu-satunya yang dianggap masih dia miliki berjalan meninggalkan ruangan kamar.
Yah, setidaknya gue masih punya Yusuf. Makasih banyak, bro, batin Verro mengutarakan rasa syukurnya.
"Oh, iya. Kalo lu mau makan, ada di meja. Kalo misalnya kurang, lu bisa masak sendiri, yah, biasalah, biasanya juga lu anggap ini udah kayak rumahlu sendiri." Saat kaki Yusuf sampai di ambang pintu, dia menghentikan langkahnya, kemudian kembali berucap, "dan, kalo mau, lu bisa baca-baca Al-Qur'an gue, Ver, ada di rak buku." Suaranya terdengar perlahan.
"Assalamu'alaikum," tambahnya.
Sedetik setelah mengatakan hal tersebut, tubuh Yusuf langsung menghilang terhalang pintu kamar yang turut ditutup. Mendengar perkataan itu, Verro hanya bisa menghela napas panjangnya. Dia kembali berbaring dan menarik selimutnya.
Pikirannya berkecamuk seperti benang-benang kusut yang tidak tahu di mana letak kesalahannya. Hati Verro sudah menjadi sekeras batu, berkat kekecewaan yang terus menggumpal di hatinya. Dia benar-benar mendalami peran sebagai orang yang buruk rupa dari segi keimanan, seolah-olah ini adalah rencananya untuk menjauh dari Tuhan. Namun, Verro sendiri sebenarnya tidak menginginkan ini.
"Gue malu, Suf, gue malu!" jeritnya dalam hati.
Air mata Verro mulai mengalir membentuk goresan abstrak di pipi sebelah kiri. Sedangkan, dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Momen tersebut membawa Verro ke bawah alam sadar. Dia terlelap kembali dalam tidurnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...