Erased 13

12 2 0
                                    

Terdengar gemuruh kekacauan di sekitar mobil saat Verro melompat keluar dengan panik, mengabaikan protokol keselamatan, dan membuka pintu dengan keras. Langkahnya terburu-buru, mengantarkannya melalui gerombolan warga yang berkumpul di luar rumahnya, hampir seperti gelombang yang memecahkan batu karang di tepi pantai.

Sesekali, Verro tidak sengaja menabrak warga yang berusaha menghalangi jalannya, namun dia tidak menghiraukannya. Satu-satunya fokusnya adalah mencapai rumahnya yang seolah-olah dikelilingi oleh aura kegelapan.

Sementara itu, Yusuf dan Reza, meski kewalahan mengejar Verro, tidak menyerah. Mereka terus berusaha menembus kerumunan orang dan mencapai Verro untuk menenangkannya. Di belakang mereka, Albert, yang mencoba menjaga ketenangan meski kacau di dalam hatinya, berusaha menemukan tempat yang aman untuk memarkir mobilnya.

Ketika Verro akhirnya mencapai halaman rumah, napasnya terengah-engah dan hatinya berdegup kencang. Dia segera melihat Kak Verra, yang berdiri di depan pintu rumah dengan wajah penuh kesedihan. Tanpa ragu, Verro berlari mendekat dan langsung memeluk kakaknya, menyemburkan air mata di bahu Kak Verra.

"Kak, apa yang terjadi di sini?" seru Verro dengan suara gemetar, mencoba menahan diri agar tidak histeris.

Kak Verra, yang juga penuh dengan emosi, memeluk Verro lebih erat. "Mama, Dek, mama ...." Suaranya terputus-putus oleh tangisannya.

Verro tersentak oleh berita itu. Hatinya berdegup semakin kencang, dan tiba-tiba, seisi dunia terasa runtuh. Dengan langkah yang berat, dia mengikuti Kak Verra masuk ke dalam rumah, di mana pemandangan yang menyeramkan menanti mereka.

Di dalam rumah, suasana sedih melanda. Banyak tetangga dan kerabat yang berkumpul di ruang tengah, menyaksikan kejadian tragis yang baru saja terjadi. Di tengah-tengah kerumunan itu, Verro melihat ibunya terbaring tak berdaya, dibalut kain kafan, tubuhnya seperti boneka yang kehilangan nyawanya.

Air mata Verro mengalir deras, dan dia merasa hancur. Dia ingin berlari mendekati ibunya, memangku tubuhnya, dan berteriak meminta agar ibunya bangun. Namun, tangannya segera dipegang oleh seorang pria yang tampak lemah karena kesedihan.

"Dek, kenapa kamu baru datang sekarang?" bisik pria itu dengan suara terputus-putus, matanya berkaca-kaca oleh air mata.

Verro memandang ayahnya dengan tatapan penuh penyesalan dan kesedihan. "Maafkan aku, Pa... Maafkan aku...," desahnya dengan suara yang penuh dengan penyesalan dan keputusasaan.

Tangisan Verro pun meledak saat dirinya kembali menatap sang ibu yang tidak berdaya. "MAMA!" Verro merangkak perlahan menuju tubuh ibunya yang terbujur kaku. "Maafin Verro, Ma! Maafin Verro!" sesalnya.

Sang ayah hanya bisa mengelus-elus punggung Verro, memberikan kalimat-kalimat penenang pada anaknya. Sedangkan, Yusuf, Albert, dan Reza yang kini sudah berada di dalam ruangan yang sama pun hanya bisa ikut menangis melihat adegan yang sedang mereka saksikan tersebut. Ketiganya tidak menyangka, perjalanan panjang mengantar Verro pulang ke kampung halaman bisa berujung dengan kesedihan yang mendalam.

Verro masih terus ditenangkan oleh keluarga kecilnya. Sampai akhirnya karena kelelahan dan emosinya yang meledak-ledak, Verro pun pingsan. Otomatis, suasana menjadi sangat ricuh. Semua orang panik ketika mendapati Verro pingsan di atas jasad sang ibu.

Dengan sigap, meski sama-sama terkejut, Yusuf langsung bangkit dari duduknya dan menawarkan diri pada Ayah Verro. "Biar saya yang bawa Verro ke kamar, Om."

"Eh, Nak ...?"

"Nama saya Yusuf, saya temannya Verro, Om." Secara singkat, Yusuf memperkenalkan diri. Dia langsung menggendong tubuh Verro dari depan, kemudian membawanya ke dalam kamar tidur sesuai dengan arahan Kak Verra.

Sesampainya di kamar, Kak Verra langsung berbincang banyak pada Yusuf. "Dek Yusuf, makasih banyak, ya, udah bawa Verro pulang. Kami dari keluarga bener-bener sedih waktu Verro hilang kabar." Air matanya masih mengalir di pipi.

"Gak masalah, Kak. Alhamdulillah Yusuf bisa ketemu sama Verro, jadi hari lebaran ini Verro bisa pulang ke rumah." Yusuf memposisikan Verro berbaring tanpa bantal di kepala.

"Mamanya Verro ... meninggal kemarin malam, di rumah sakit karena pembulu darah di otaknya pecah." Kak Verra pun menceritakan terkait penyebab kematian Ibu Verro, dia menjelaskan dari awal gejalanya sampai akhir hayat sang ibu di bawa pulang ke rumah dalam keadaan telah tiada.

Yusuf mendengarkan dengan saksama, mencoba memberikan empatinya yang benar-benar prihatin atas kondisi keluarga sahabatnya itu.

Tidak lama, Albert dan Reza pun menyusul ke kamar. "Kak Verra, kata om, tante mau dimakamin kapan?" tanya Reza ke Kak Verra.

Bahkan, di situasi yang tidak karuan seperti ini Ayah Verro tidak bisa mengambil keputusan yang terbaik. Sebelum sang ibu drop, sebenarnya yang sakit sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur adalah sang ayah. Hal itu bisa terlihat dari kondisi Ayah Verro yang masih tidak baik-baik saja.

Jasad sang ibu sudah berbaring cukup lama sebenarnya. Maka itu, Kak Verra bilang bahwa, sang ibu lebih baik dimakamkan secepat mungkin. Alasan sang ibu tidak segera di makamkan adalah karena Kak Verra sebelumnya sudah memberi tahu keluarga kalau Verro akan pulang, jadi dia ingin memberi mereka kesempatan untuk bertemu satu sama lain sebelum menghadapi prosesi pemakaman.

Dalam keadaan yang masih diliputi oleh kesedihan dan kebingungan, mereka mulai bersiap-siap untuk mengatur pemakaman. Albert dan Reza membantu menyiapkan semua perlengkapan yang diperlukan mulai dari pengaturan keranda, sampai membuat rangkaian bunga yang diikat menggunakan benang sebagai tradisi daerah tersebut. Sementara itu, Yusuf tetap bersama Verro di kamar, merawatnya dan memberikan dukungan.

Di luar rumah, suasana semakin hening ketika prosesi pemakaman mulai diselenggarakan. Warga sekitar mulai berkumpul di sekitar rumah Verro, menyampaikan ucapan belasungkawa dan memberikan dukungan kepada keluarga yang sedang berduka.

Yusuf tidak meninggalkan Verro sejenak pun. Dia duduk di samping tempat tidur, memegang tangan Verro dengan erat, mencoba menenangkan sahabatnya yang masih terlelap dalam tidurnya yang tidak tenang. Wajah Yusuf penuh dengan kepedihan, tetapi juga penuh dengan tekad untuk mendukung Verro melewati masa-masa sulit ini.

Ketika persiapan pemakaman selesai, mereka semua berkumpul di depan rumah, siap untuk mengiringi jenazah ibu Verro ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kak Verra, Ayah Verro, Verro yang masih lemas, Yusuf, Albert, dan Reza berdiri berdampingan, bersama-sama menghadapi ujian hidup yang begitu berat ini.

Langkah mereka berat ketika mereka mengantar jenazah ibu Verro ke pemakaman. Di dalam hati mereka, harapan-harapan yang belum terucapkan terbawa oleh angin, sementara tangisan dan doa-doa mengiringi mereka sepanjang perjalanan.

Dan ketika matahari terbenam, jenazah ibu Verro diletakkan dalam liang lahatnya, ditutupi oleh tanah yang merangkulnya, menyatukan dia kembali dengan bumi, sementara keluarga, sahabat-sahabat, dan warga sekitar berdoa untuk kedamaian jiwa yang telah pergi. kesempatan sang adik untuk melihat ibunya terlebih dahulu untuk yang terakhir kalinya.

Verro mengumandangkan adzan di hadapan makam sang ibu, dengan air mata yang terus deras membasahi pipinya, "Allaahu Akbar, Allaahu Akbar!"

[END] BOY ERASEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang