Di dalam lift, suasana hening terasa begitu tebal di antara Verro dan seorang ibu-ibu asing yang berdiri di seberang. Detak jantung Verro bergema di telinga, memenuhi ruang kekosongan yang mengitarinya. Dia merasa terombang-ambing dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.
Mengapa dia melakukannya? Mengapa dia harus bersembunyi? Pertanyaan-pertanyaan itu membingungkan, membuat kegelisahan dalam dirinya semakin terasa.
Wanita yang tadi dia lihat, terlihat lemah dan kelelahan berdiri di hadapan pintu unit Yusuf. Tatapan sendu di matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Meski jarak memisahkan mereka, Verro masih bisa merasakan getaran kecemasan yang menyelimuti wanita tersebut.
Ketika pintu lift akhirnya terbuka, Verro segera bergegas keluar, meninggalkan keheningan yang membeku di dalam lift. Langkahnya terburu-buru menuju kantin apartemen yang berada di dekat gym. Begitu dia memasuki kantin, suasana riuh rendah langsung menyambutnya. Ornamen ketupat yang menghiasi ruangan menandakan bahwa bulan Ramadhan telah berangsur lama, dan suasana lebaran pun semakin terasa.
Verro memandang sekeliling kantin, mencari tempat yang cocok untuk duduk. Di meja-meja sekelilingnya, orang-orang berkumpul dalam kegembiraan menunggu waktu berbuka puasa. Di salah satu sudut, Verro melihat sebuah keluarga kecil yang tampak begitu bahagia. Mereka berempat saling tertawa dan berbicara, menciptakan momen kebersamaan yang hangat.
Melihat pemandangan itu, Verro merasa seperti tertusuk oleh kenangan-kenangan yang lama terpendam. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa dia kendalikan, mengingatkannya akan kehangatan keluarga yang kini begitu jauh darinya. Ramadhan tahun ini, dia harus menghadapinya sendirian, tanpa kehadiran orang tua dan kakak-kakaknya. Kerinduan akan rumah dan suasana hangat pedesaan membuat hatinya terasa hampa.
Di tengah gejolak emosinya, Verro tiba-tiba tersadar bahwa ponselnya masih terhubung dengan panggilan Yusuf. Dengan perasaan campur aduk, dia duduk di kursi yang kosong setelah memesan satu air mineral. Tatapannya kosong, dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan yang melanda pikirannya.
Verro menekan tombol loudspeaker pada ponselnya, membiarkan suara Yusuf dan wanita yang dia kenal sebagai kakaknya masuk ke telinganya. Meski terlambat, Verro tetap mencoba memahami situasi yang sedang terjadi, meski itu membuat hatinya semakin remuk.
Suara mereka bergema di ruangan kantin yang ramai, tetapi bagi Verro, hanya suara mereka yang terdengar jelas. Dia menangkap setiap kata dengan teliti, mencoba memahami betapa khawatirnya keluarganya tentang keberadaannya.
"Sakit apa kalau boleh tau, Kak?" tanya Yusuf dengan nada hati-hati.
"Penyakit orang tua, Dek. Udah dua minggu si bapak gak bisa bangun, terus-terusan manggil nama Verro," ucap wanita yang menjadi lawan bicara Yusuf.
"Saya terakhir liat Verro sekitar sebulan yang lalu juga, Kak. Waktu itu di sekolah, sampe sekarang nomornya udah gak aktif lagi." Verro mendengar suara Yusuf sedikit bergetar, menandakan bahwa sahabatnya itu sedang sangat berhati-hati mengucapkan setiap detail percakapan.
"Iya, tadi siang kakak datang ke sekolah juga, tapi kayaknya sekolah udah libur, ya?"
"Iya, Kak. Sekolah udah libur sekarang."
"Apa saya lapor ke polisi aja, ya, Dek? Buat tau keberadaan adik saya."
Mendengar hal itu, mata Verro langsung terbelalak. Dia berharap Yusuf bisa meyakinkan kakaknya untuk tidak bertindak gegabah. Percakapan mereka menyentuh lapisan terdalam hati Verro.
"Eh, jangan, Kak. Biar saya yang bantu cari Verro aja. Nanti saya komunikasiin sama ayah saya. Gak perlu lewat polisi, soalnya regulasinya bakalan ribet juga, yang ada nanti polisi malah minta kompensasi. Mahal lagi, Kak. Sayang uangnya, biar saya aja yang urus soal Verro ini, ya."
"T-tapi, itu bakal ngerepotin keluarga kamu, Dek."
"Gak masalah, Kak. Saya sahabatnya Verro, udah seharusnya kita saling bantu. Nanti, kalau Verro udah ketemu, saya bakal langsung bawa dia pulang, Insha Allah Verro gak bakal kenapa-kenapa. Dia orangnya kuat, bisa jaga diri di luar sana. Malem ini saya mulai pencariannya, ya, Kak."
"Saya minta tolong yang sebesar-besarnya, ya, Dek Yusuf. Ayahnya udah nyebut-nyebut terus nama Verro, pengen ketemu Verro. Ibu juga di rumah nangis terus, saya gak tega liat mereka kayak gitu. Makanya saya nekat datang ke sini jauh-jauh."
Ketika kakaknya menyatakan kekhawatirannya yang mendalam, Verro tidak bisa menahan air mata yang membanjiri pipinya. Dia merasakan rasa bersalah yang begitu besar, karena telah membuat keluarganya begitu khawatir dan sedih. Verro segera mematikan panggilan Yusuf.
Air mata Verro mengalir deras tanpa henti, seakan menjadi cerminan dari rasa penyesalannya yang mendalam. Dia merasa terpuruk dalam keputusasaan dan kebingungannya sendiri. Mungkin, untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, Verro merasa betapa besar kerinduan dan kebutuhannya akan keluarga dan rumahnya yang sebenarnya.
Bahkan ketika adzan magrib berkumandang sejak tadi, Verro tidak menyadari keberadaannya. Fokusnya hanya tersita pada percakapan antara Yusuf dan kakaknya di dalam telepon. Dalam keheningan yang dipenuhi oleh suara-suara ribuan pikiran yang berkecamuk, Verro menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak emosinya yang begitu kuat.
Dengan gemetar, dia membuka botol air mineral, meneguknya dalam-dalam untuk meredakan dahaga yang telah dia tahan sejak pagi. Setetes demi setetes, air itu mengalir membasahi tenggorokannya, seakan menjadi pelipur lara atas kesedihannya.
Namun, meski sudah berusaha mengendalikan diri, Verro tetap merasa terombang-ambing dalam lautan emosi yang tak kunjung surut. Kendati telah mencoba menerima kenyataan, mendengarkan percakapan itu membuat luka-luka lama dalam dirinya terasa begitu nyata dan dalam.
Cukup lama berlalu, hingga suara adzan isya yang berkumandang menggema di udara. Baru saat itu, Verro menyadari kehadiran Yusuf yang berjalan santai mendekatinya. Wajahnya masih memancarkan semangat, meski terbersit kekhawatiran yang samar di matanya.
"Ver, lu udah minum?" tanya Yusuf, mencoba membuka percakapan dengan nada lembut.
"Lu gak liat ini botol udah kosong?" jawab Verro, mencoba menyembunyikan kesedihannya di balik celaan ringan.
Yusuf hanya tersenyum, lalu melanjutkan, "Kakak lu udah pulang, tadi." Dia mencoba menyampaikan kabar tersebut dengan lembut, memahami betapa rapuhnya hati Verro saat ini. "Lu denger percakapan gue sama kakak lu, gak?"
Verro menggeleng perlahan. "Gue gak kuat, Suf. Jadi gue matiin aja teleponnya."
Yusuf mengangguk paham, mencoba merasakan setitik dari beban yang dirasakan Verro. "Yaudah, ayo balik ke unit. Mandi dulu, abis itu kita tarawih," usulnya dengan nada lembut, sambil menyodorkan tangan untuk membantu Verro bangkit.
Verro menerima juluran tangan Yusuf dengan rasa terima kasih yang mendalam. Dia merasa begitu beruntung memiliki sahabat seperti Yusuf, yang selalu ada untuknya di setiap momen sulit. Dalam langkah yang mereka ambil menuju unit Yusuf di lantai tiga, Verro merenung sejenak tentang betapa berharganya pertemanan yang mereka miliki.
Saat mereka berjalan, Verro merasa seperti dia dan Yusuf telah menjadi satu. Mereka tidak hanya sekadar sahabat, tapi lebih dari itu, mereka seperti dua jiwa yang saling terkoneksi, seperti sepasang anak kembar yang terlahir dari dua keluarga yang berbeda. Meski memiliki latar belakang dan kehidupan yang berbeda, mereka saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
Dalam kebersamaan itu, Verro merasa hampa dan kesepian yang selama ini dia rasakan mulai sirna. Dia merasa punya tempat yang bisa dia panggil sebagai rumah, tempat di mana dia bisa merasa aman dan diterima apa adanya. Dan tempat itu adalah di samping sahabatnya, Yusuf.
"Makasih, ya, Suf."

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...