Beberapa kali panggilan Yusuf tidak kunjung dijawab. Verro memperhatikan sahabatnya itu tampak gelisah, wajahnya memperlihatkan gejolak yang nyata. Terlebih, ekspresi Yusuf terlihat lebih panik daripada dirinya sendiri.
Verro melangkah ke arah meja untuk meletakkan sajadah yang masih dipegangnya. Matanya terus memantau setiap gerakan Yusuf, hingga akhirnya panggilan telepon Yusuf diangkat oleh Kak Verra.
"Halo, Kak Verra," kata Yusuf dengan nada cemas segera setelah panggilan terhubung.
Namun, tidak ada jawaban untuk beberapa detik. Terdengar hening dari sisi telepon, seolah-olah Kak Verra tidak bisa atau tidak mau menjawab. Yusuf kemudian mengaktifkan mode loudspeaker, memperhatikan reaksi Verro yang duduk di sampingnya.
"Gak ada suaranya?" bisik Verro dengan khawatir.
Yusuf menggelengkan kepala dengan ketidakpastian, sebelum akhirnya suara Kak Verra mulai terdengar, terbata-bata seolah menahan tangis. "Halo, Dek Yusuf."
"Iya, iya, Kak? Ada apa?" tanya Yusuf, mencoba menangkap situasi.
"Dek, Mamanya Verro, Dek," kata Kak Verra, suaranya pecah seperti gelombang emosi. Terdengar latar belakang kereta yang menambah kacau suasana. "Mamanya Verro koma, Dek, di rumah sakit. Kemarin tiba-tiba ngedrop abis denger kabar kalo Verro gak ada di apartemen kamu juga."
Verro terpaku, matanya terbelalak. Hatinya terasa sakit, seolah teriris oleh pisau tajam. Dia memusatkan perhatiannya pada penjelasan Kak Verra di sisi telepon, tidak percaya pada apa yang dia dengar.
"Kamu gimana, Dek? Udah dapet kabar soal Verro?" Suara Kak Verra sedikit tercekat karena tangis yang dia tahan. "Kakak tadi ke apartemen kamu, tapi gak ada orang. Sekarang Kakak ada di kereta perjalanan pulang."
Tiba-tiba, Verro meraih ponsel dari tangan Yusuf. "Kak, Kak Verra, ini Verro!" Air mata mulai mengalir deras, suaranya gemetar. "Maafin Verro, Kak. Verro ga ada kabar ke keluarga sana jadi bikin khawatir. Maafin Verro, Kak. Verro takut."
Yusuf mendekap Verro yang bergetar hebat, merasakan denyutan jantung yang berdebar-debar. Dia juga ikut meneteskan air mata, merasakan kepedihan dan kecemasan Verro.
"Ya Allah, Verro! Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu ke mana aja? Ayo, pulang, Sayang. Mama sama papa udah nunggu kamu, nyari-nyari kamu, nanyain kamu terus. Papa sakit karena kepikiran kamu, sekarang mama juga ngedrop. Ayo pulang, Dek, Verro. Pulang, Sayang. Kakak mohon, kamu pulang, ya."
"Iya, Kak. Verro pulang. Sore ini Verro pulang, Kak." Tangisan Verro tidak terbendung, sementara Yusuf masih mencoba menenangkan dengan pelukan hangatnya.
Momen dramatis itu berlangsung, mengguncang hati dan pikiran keduanya. Setelah Verro tidak sanggup lagi menahan tangisnya, ponsel kembali diserahkan pada Yusuf.
"Halo, Kak Verra? Yusuf akan antar Verro sore ini, Kak. Hati-hati di perjalanan, ya." Setelah pesan itu disampaikan, panggilan segera dimatikan.
Verro dan Yusuf saling berpandangan, terhanyut dalam gelombang emosi yang masih menghantui mereka. Tanpa sepatah kata pun, mereka berdua memeluk erat, saling memberikan dukungan satu sama lain di saat yang paling membutuhkan.
Sesekali, isakan tangis mereka terdengar, mencerminkan ketidakberdayaan dan kepedihan yang mereka rasakan. Namun, di balik kepiluan, mereka juga merasakan semangat dan tekad yang tumbuh, menguatkan tekad mereka untuk menghadapi tantangan yang belum selesai.
Verro terombang-ambing dalam gelombang emosinya sendiri. Teriakan kerasnya memenuhi ruangan, menciptakan kekacauan di antara dia dan sahabat yang berusaha menenangkan dirinya.
"Suf, gue harus gimana, Suf?" Verro meronta-ronta, mencoba menangkis beban pikiran yang terus menghantamnya. Tangan-tangannya tanpa henti memukul kepalanya sendiri, sedangkan air matanya mengalir deras seperti hujan badai.
Yusuf, dengan mata penuh keprihatinan, meraih tubuh Verro yang gelisah. Kekuatannya digunakan untuk menahan sahabatnya yang terus meronta seperti gelombang liar. "Tenang, Ver. Tenang!" desis Yusuf dengan suara lembut, sambil mencoba menenangkan Verro yang semakin terjerumus dalam hiruk-pikuk pikiran gelap.
Namun, Verro terus menyerang dirinya sendiri dengan kata-kata negatif dan pesimistis. Suara kerasnya terus memenuhi ruangan, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. "Apa gunanya, Suf? Apa gunanya hidup gue, kalo gue cuma jadi beban bagi keluarga gue?" serunya, suaranya penuh dengan keputusasaan dan penderitaan.
Yusuf, yang mulai merasa putus asa, akhirnya mengambil tindakan tegas. "UDAH, VER, UDAH!" bentaknya dengan suara lantang, mencoba membuyarkan kekacauan yang melanda. Dengan cepat, dia menggapai wajah Verro dan menamparinya dengan keras dan tegas.
Tamparan itu memadamkan kekacauan dalam pikiran Verro. Dia terdiam, matanya memandang Yusuf dengan penuh kebingungan dan kelelahan. Yusuf, yang masih menahan emosinya, memeluk Verro erat-erat, mencoba memberinya rasa nyaman di tengah kekacauan yang melanda.
"Udah?" tanya Yusuf dengan suara yang lebih lembut, mencoba mencari titik temu di antara kegelisahan yang melanda keduanya.
Verro hanya mengangguk lemah, tangisnya mereda perlahan seiring dengan rasa nyaman yang diberikan oleh pelukan sahabatnya. Keduanya saling memandang, saling menguatkan satu sama lain di tengah badai yang melanda.
"Tolong, gue, Suf," bisik Verro dengan suara yang rapuh, matanya penuh dengan permohonan akan bantuan dari sahabatnya.
Yusuf tersenyum lembut, mencoba memberikan dukungan sebanyak yang dia bisa. "Gue bakal selalu ada di sisi lu, Ver. Kita bakal lewati ini bareng-bareng," ujarnya dengan penuh keyakinan, mencoba memberikan harapan baru bagi Verro yang sedang terpuruk dalam kegelapan.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...