Erased 11

10 2 0
                                    

Persiapan mereka berlangsung dengan cepat dan efisien. Verro, dengan tatapan tegar meski hatinya berkecamuk, dia memasukkan pakaian-pakaian dan barang-barang ke dalam koper dengan cermat. Setiap lipatan kain, setiap penyusunan barang, menjadi gerakan yang terperinci. Sedangkan Yusuf, dengan perangkat teleponnya di tangan, berkomunikasi dengan Albert.

Tetapi di balik kesibukan mereka, ketegangan terasa menggelayuti ruangan. Verro, meski terus bergerak, terlihat tegang. Setiap kali dia melipat baju atau menyusun barang, dia terlihat berpikir jauh. Sedangkan Yusuf, wajahnya serius saat berbicara dengan Albert, tetapi mata matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam.

"Halo, Bet," sapa Yusuf dengan suara yang terdengar getir. Setelah beberapa saat menunggu, panggilannya akhirnya dijawab. "Bet, lu sibuk nggak hari ini?"

Sementara itu, di sisi lain ruangan, Verro terus bergerak dengan cepat. Dia mencoba mengabaikan kecemasannya, tetapi desakan pikiran yang menghantui tidak bisa dia hindari. Setiap kali dia melihat ke koper, bayangan tentang kondisi keluarganya di kampung halaman merayap di pikirannya.

"Ya, lu bisa ikut gue nganter Verro balik kampung, gak?" tanya Yusuf dengan serius. "Kita butuh orang yang punya izin mengemudi, dan gue gak mau ambil risiko."

Verro, yang sebelumnya tampak sibuk dengan persiapannya, tiba-tiba terdiam. Dia menatap ke arah koper dengan tatapan kosong, seperti sedang berperang melawan pikiran-pikiran gelap yang muncul. Suara pertengkaran di benaknya, wajah-wajah cemas keluarganya, semuanya terpampang jelas di pikirannya.

"Ngomong-ngomong, kita bawa Reza atau nggak?" tanya Yusuf, mengalihkan perhatiannya dari telepon pada Verro.

Verro menelan ludah. Pertanyaan itu mengingatkannya pada dilema yang semakin membingungkannya. Dia tidak bisa berpikir untuk saat ini, Reza adalah sahabat Verro juga, dan apakah dengan membawa banyak orang pulang ke rumah akan menjadi keputusan yang tepat? Tapi, di sisi lain, dia merasa bahwa kehadiran Reza bisa memberinya dukungan tambahan yang sangat dibutuhkannya saat ini.

"Gue gak bisa mutusin," kata Verro dengan jujur. "Apa pun yang lu pikirin, Suf, itu akan baik untuk gue."

Yusuf mengangguk, menghargai kepercayaan Verro padanya. Dia menutup teleponnya dengan mantap. "Kita ajak Reza. Dia udah jadi bagian dari hiduplu juga, dia sahabat kita, dan kalo dia gak diajak dia bakal ngambek. Setidaknya gue tawarin dulu ja, deh."

Yusuf pun menelpon Reza dan menanyakan jika lebaran tahun ini dia apakah ada acara yang signifikan atau tidak. Namun, saat Reza mengetahui ketiga sahabatnya hendak pergi ke kampung halaman Verro, Reza langsung menyetujuinya. Reza bilang, lagi pula dia adalah anak yatim piatu, jadi tidak ada alasan untuk melakukan lebaran sendirian di rumah.

Setelah semua keputusan diambil, persiapan terakhir pun dilakukan. Koper-koper ditutup rapat, barang-barang terakhir dimasukkan ke dalam tas, dan mereka siap untuk berangkat. Meskipun hati Verro masih berat, dia merasa lega karena memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada untuknya di saat-saat sulit seperti ini.

"Barang-barang udah aman semua?" tanya Yusuf, langkahnya terdengar berat saat dia keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, sementara rambutnya masih basah.

Verro mengangguk, "Aman, gue tinggal mandi doang."

Yusuf mengangguk singkat. "Yaudah, buruan mandi, abis ini bentar lagi buka puasa juga. Kita buka puasa di jalan aja, biar bareng sama anak-anak," ujarnya seraya bergerak menuju lemari pakaiannya.

Verro, kini terlihat seperti bayangan sendiri, mengikuti apa yang diperintahkan oleh Yusuf. Pikirannya berkutat dalam kekacauan, dan setiap gerakan dilakukannya tanpa kesadaran penuh. Wajahnya kosong, meski dia berusaha untuk tetap terlibat dalam obrolan.

Segera setelah Yusuf mengenakan pakaiannya dan memberikan handuk pada sahabatnya itu, Verro bergegas ke kamar mandi. Di dalam sana, di balik tirai air yang mengalir, dia mencari kesunyian untuk meratapi nasibnya. Air pancuran menyatu dengan suaranya yang sesak oleh tangisan, seolah-olah dunia luar tidak dapat menembus tirai air tersebut.

"Ya Allah, kenapa hidup gue harus berat banget?" gumam Verro di antara rintihan dan sela-sela doa yang terputus-putus. "Apa dosa gue udah banyak segunung? Apa dosa gue begitu besar sampe Allah nguji gue kayak ini?"

Tangisannya yang tulus dan deras memenuhi ruangan mandi, bersama dengan suara gemeretak air yang jatuh dari pancuran. Dinginnya air yang mengalir seolah-olah menenangkan sebentar kegelisahan dalam pikirannya, meski di dalam, gelombang keputusasaan masih bergelombang di dalam hatinya, menciptakan riak-riak kecil yang tidak kunjung reda.

Sampai akhirnya Verro menyelesaikan mandinya, menyeka setetes air mata yang masih tersisa di pipinya. Dia menemukan Yusuf yang telah menunggu dengan sabar di luar kamar. Di belakangnya, ransel besar tergantung di bahunya, tampak penuh dengan beban yang siap untuk diemban.

Yusuf, yang sudah siap dengan setelan pakaian yang rapi, mengalihkan pandangannya saat Verro keluar. "Buruan!" serunya, dengan sedikit nada tegang karena keinginan untuk segera berangkat.

Verro bergerak cepat, melemparkan pakaian kotornya ke keranjang cucian dan menuju lemari untuk mengganti pakaian. Dalam sekejap, dia telah berpakaian kembali, menyusul Yusuf yang sudah menunggu di pintu.

Setelah memastikan semuanya tertutup rapat, mereka turun ke lantai dasar menuju tempat parkir mobil. Namun, sebelum mereka sampai di sana, adzan magrib mulai berkumandang, mengingatkan mereka bahwa waktu berangkat telah tiba. Mereka berhenti sebentar di kantin apartemen, membeli air mineral besar untuk dibawa dalam perjalanan.

Antrian di kantin membuat mereka agak terlambat, tetapi begitu mendapatkan air, mereka segera melanjutkan langkah menuju parkiran. Yusuf, dengan hati-hati, membantu Verro membawa air sambil mengetuk pintu mobil dengan kunci. Mereka masuk, duduk di kursi depan, dan dengan mesin yang hidup, perjalanan panjang mereka dimulai. Tujuan pertama: rumah Albert. Yusuf yang menyetir untuk sementara.

Saat mobil melaju keluar dari kompleks apartemen, suasana kota berganti secara tiba-tiba. Cahaya gemerlap dan hiruk-pikuk kota mulai terasa. Tidak lama kemudian, melalui jendela mobil mereka, terdengar kumandang takbiran yang menggema di udara malam.

Suara meriah itu memberi tanda bahwa malam itu adalah malam takbiran, malam terakhir sebelum Hari Raya Idul Fitri. Lampu-lampu di sepanjang jalan menyala terang, dihiasi dengan lentera-lentera Idul Fitri yang khas di perkotaan modern.

"Gak kerasa, ya, besok udah Hari Raya lagi," ujar Yusuf sambil memandang ke arah jendela, menikmati pemandangan lentera-lentera yang bercahaya.

Dia kemudian menoleh ke arah Verro yang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan sahabatnya yang terlihat hampa. "Hoy, Ver, jangan terus-terusan sedih kayak gitu lah. Inget, 'La tahzan innallaha ma'ana,' Allah berfirman, janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita."

[END] BOY ERASEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang