Makin kompleks perkataan Verro, semakin dalam juga rasa kebingungan yang melanda ketiga sahabatnya, Yusuf, Reza, dan Albert. Mereka merasa seperti terjebak dalam labirin emosi Verro yang rumit.
Tidak ada yang mereka ketahui sebelumnya yang bisa mempersiapkan mereka untuk situasi seperti ini. Jika sudah begini, ketiganya hanya bisa terdiam, meratapi ketidakmampuan mereka untuk memberi dukungan yang lebih besar pada Verro.
Tidak terasa, air mata Yusuf, Reza, dan Albert pun ikut jatuh, menciptakan jejak air yang berkerumun di dekat kaki mereka. Ketiganya berpelukan erat dengan Verro, menyediakan tempat untuknya melepaskan semua beban yang dia pikul sendirian.
Pelukan mereka tidak hanya menunjukkan dukungan, tetapi juga menunjukkan solidaritas dan kebersamaan dalam menghadapi masalah. Meskipun Verro merasa terisolasi dalam kesedihannya, ketiga sahabatnya berusaha keras untuk memastikan bahwa dia tahu dia tidak sendirian.
Mereka tidak tahu persis apa yang harus dilakukan selanjutnya, tetapi mereka tahu bahwa mereka harus tetap bersama Verro dalam menghadapi segala rintangan. Mereka bersumpah untuk saling mendukung dan menjaga satu sama lain, tidak peduli seberapa rumit atau berat masalahnya.
Setelah beberapa saat, mereka menghentikan pelukan mereka, tetapi tetap berada dalam jarak yang dekat, saling memberikan keberanian dengan keberadaan mereka. Kini, semua kerangka berlubang mulai terisi dengan fakta-fakta baru seolah-olah teka-teki yang tadinya sangat rahasia, sekarang sudah mulai terungkap. Kuncinya memang ada di dalam diri Verro sendiri.
Dengan pengakuan dari Verro, mereka mulai memahami lebih dalam tentang situasi yang sedang dihadapi oleh teman mereka. Setiap kata yang diucapkan Verro membuka lembaran baru dari cerita yang rumit, memungkinkan mereka untuk melihat gambaran yang lebih lengkap dari keadaan yang dialaminya.
Yusuf, Reza, dan Albert mempercayai semua yang diungkapkan oleh Verro, karena ketiganya pun tidak bisa membuktikan kalau perkataan Verro itu salah. Verro melakukan pengakuannya pada mereka secara keseluruhan, tanpa menyembunyikan apa pun. Meski mereka tidak bisa langsung memberi solusi untuk masalah Verro, mereka berjanji untuk tetap bersamanya dan mencari jalan keluar bersama-sama.
"Sekarang mending kita tidur dulu, yu. Udah hampir tengah malem, Ver, lu juga istirahat, nanti kita sahur bareng," ujar Yusuf seraya menoleh ke arah jam di dinding, mencoba menenangkan suasana. "Kalian berdua juga tidur di sini aja."
Mereka berempat pun tertidur dengan perasaan yang campur aduk. Verro sedikit merasa lega setelah menceritakan semuanya. Ketakutan terbesarnya akan kehilangan ketiga sahabatnya itu seolah-olah sirna.
Yusuf, Reza, dan Albert ternyata benar-benar tulus menjadi sahabat Verro, dan mereka bersama-sama menghadapi tantangan yang ada. Meski masih ada banyak yang harus diatasi, Verro tahu bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanan ini.
-ooo-
Tepat seminggu sebelum lebaran, suasana di apartemen mulai terasa berbeda. Verro, yang sebelumnya terlihat tertutup dan murung, kini terlihat lebih bersemangat dan ceria. Hampir seperti sebuah keajaiban, perubahan drastis itu tidak luput dari peran besar ketiga sahabatnya yang setia menemani dan mendukungnya.
Puasa Verro telah berlangsung tanpa ada yang terlewatkan. Itu menjadi prestasi baginya, sebuah pencapaian yang membanggakan. Semua berkat tekadnya untuk berubah menjadi lebih baik, serta bantuan dan dukungan yang tak pernah lekang dari Yusuf, Reza, dan Albert.
Sore itu, Verro dan Yusuf memutuskan untuk berolahraga di gym apartemen sebelum berbuka puasa. Mereka memilih treadmill sebagai alat utama untuk membakar kalori sambil menunggu waktu berbuka. Saat Verro sedang berlari dengan kencang, Yusuf tiba-tiba menarik perhatiannya.
"Lihat, Ver, di sana! Gue rasa gue kenal orang itu," bisik Yusuf sambil menunjuk ke arah lift yang baru saja terbuka. Namun, sebelum Verro sempat melihat, orang yang dimaksud telah masuk ke dalam lift.
"Mana?!" Verro langsung mengurangi kecepatan treadmill-nya, mencoba melihat siapa yang dimaksud oleh Yusuf.
"Terlambat, culun. Dia udah keburu masuk," ujar Yusuf, sedikit menyesal.
"Jangan ledek dong, dari mana aja lu kenal dia?"
"Serius, Ver. Wajahnya familiar, kayak kakak lu," jawab Yusuf, masih berusaha mengingat-ingat.
"Ha?! Jangan bercanda anjir. Kakak gue? Gimana dia bisa tau kalo gue ada di sini?" Verro agak skeptis dengan pernyataan Yusuf.
Perbincangan mereka terhenti begitu saja saat keduanya kembali fokus pada olahraga mereka. Mereka saling berlomba untuk menghasilkan lebih banyak keringat sebelum akhirnya menghentikan aktivitas mereka ketika menyadari bahwa waktu berbuka puasa semakin dekat.
Mereka meninggalkan gym dengan langkah yang ringan, merasa segar dan siap menyambut waktu berbuka puasa. Tetapi, di balik rasa lapar yang mulai menggoda, misteri wanita yang dilihat oleh Yusuf masih menggantung di pikiran Verro.
Siapakah wanita itu, dan mengapa dia terasa begitu akrab? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya saat mereka menuju ke apartemen untuk bersiap-siap buka puasa.
Keluar dari lift, Verro dan Yusuf segera terlibat dalam perdebatan kecil tentang siapa yang harus mandi terlebih dahulu. Keduanya melangkah cepat, sibuk memperhitungkan waktu yang semakin menipis menjelang waktu berbuka. Namun, ketika Verro berbelok menuju lorong unit Yusuf, ekspresinya berubah drastis.
Tiba-tiba, wajah Verro terperangah, membuatnya hampir bertabrakan dengan Yusuf yang sedang berjalan di belakangnya.
"Eh, anjir, hati-hati, Ver. Kenapa puter balik gitu tiba-tiba?" tanya Yusuf dengan sedikit kebingungan.
"Kakak gue, Suf. Itu Kakak gue," bisik Verro dengan suara gemetar, matanya terpaku pada pintu di ujung lorong.
Yusuf mengikuti pandangannya, dan benar saja, dia melihat seorang wanita muda berdiri termenung di hadapan salah satu unit apartemen. Wanita tersebut berpakaian sederhana, dengan kerudung rapi berwarna krem, gamis sulur berwarna hitam, dan sendal. Dia membawa satu tas jinjing di tangan kanannya.
"Tapi, kenapa kakak lu ada di sini?" Yusuf bertanya, mencoba memahami situasi.
"Gatau, Suf. Gue gak siap ketemu mereka sekarang," ujar Verro, raut wajahnya mencerminkan kebingungan dan kecemasan.
Yusuf menghampiri Verro, mencoba menenangkan sahabatnya. "Tenang, Ver. Tenang. Gue punya ide."
Mereka berdua lalu bergerak menjauhi lorong menuju ke ruang tengah apartemen, tepatnya di satu ruangan cukup lebar tepat di hadapan lift. Di sana, Yusuf memberi tahu Verro tentang rencananya.
"Gini, Ver. Gimana kalo gue aja yang ngadep ke kakak lu. Gue bakalan bilang kalo gue gak tau lu di mana, gue gak denger kabar lu juga, dan lain-lain." usul Yusuf dengan nada penuh keyakinan.
"Anjir, lu ngebohong, dong?" tanya Verro.
"Gue usahain kata-kata gue gak bohong, tapi sebisa mungkin seolah-olah lu gak ada di apartemen gue." Yusuf merogoh tas kecil olahraganya. "Lu telpon gue aja, nanti supaya lu bisa denger percakapan gue sama kakak lu."
Verro memandang Yusuf dengan ekspresi campuran antara keraguan dan harapan. "Gue nggak tahu, Suf, biasanya mereka gak percaya gitu aja. Tapi, kayaknya itu satu-satunya ide, sih."
Yusuf hanya mengangguk pasti, "Lu tunggu di kantin apartemen aja, di bawah. Serahin urusan ini sama gue, Ucup ganteng."
"Najis." Verro berjalan menekan tombol di lift, "Pasti keburu buka, gue nanti minum duluan aja di sana, ya."
"Aman, sahabat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Fiksi RemajaKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...