Erased 8

9 2 0
                                    

Kedua sejoli ini pada akhirnya tidak sempat untuk mengikuti shalat tarawih bersama di masjid. Mereka terlalu lama mempersiapkan diri, mulai dari mandi, makan buka puasa, sampai melamun di atas permasalahan masing-masing.

Saat Verro dan Yusuf selesai shalat isya, keduanya berkumpul di ruang tengah. Televisi yang seolah-olah hanya dibeli untuk dijadikan pajangan itu pun seakan menyaksikan kedua sahabat tersebut berbicara serius.

"Ver, jadi tadi kakak lu ada ngobrol banyak hal sama gue," ujar Yusuf sambil merebahkan diri di sofa abu-abu empuknya.

Verro, yang masih terlihat sibuk melipat sajadah, menoleh. Matanya mencerminkan keraguan dan kecemasan yang dalam. "Apa katanya?"

"Gue langsung ke intinya aja dah, ya." Tangan Yusuf bergerak untuk membuka kopiahnya. "Lu disuruh pulang. Bapak lu sakit katanya, beliau udah manggil-manggil terus nama lu, Ver," jelas Yusuf.

Saat mendengar kabar itu, Verro merasa detak jantungnya berdegup lebih cepat. Tatapan matanya memancarkan rasa cemas yang mendalam. Wajahnya yang biasanya penuh keberanian dan kegagahan, kini terlihat rapuh dan penuh keraguan. "Tapi, Suf. Gue masih belum siap ketemu mereka," ucapnya dengan suara yang hampir tercekat.

"Iya, Ver, gue paham, kok. Tapi, menurut gue, lu jangan lama-lama buat mikir mau pulang atau engga. Tadi gue udah tukeran nomor sama Kak Verra, jadi otomatis dia bakalan sering ngehubungin gue buat nanya perkembangan pencarian lu."

Verro mengangguk pelan, tetapi pandangannya masih terlihat ragu. "Tapi, gue gak bakal dilaporin ke polisi jadi anak ilang, kan?" kata Verro dengan nada khawatir.

"Aman kalo itu. Tapi, tetep aja, lu harus pulang secepatnya. Nanti gue yang anter lu ke sana, lu sekarang pikirin dulu aja soal semuanya, ya. Mumpung lebaran masih beberapa hari lagi, Ver." Suara Yusuf mengalun lembut, mencoba menenangkan Verro yang tengah dilanda kebingungan dan kecemasan.

Verro mendengarkan perkataan Yusuf dengan hati yang berdebar-debar. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan, meskipun sulit. Tapi, pikirannya masih terombang-ambing di antara rasa takut dan kerinduan untuk kembali ke pelukan keluarganya.

Dengannya, Verro merasa seperti ada di tempat yang paling aman di dunia, di samping kedua orang tua dan kakaknya. Namun, keadaan yang tidak pasti membuat Verro merasa ragu. Apakah dia sudah siap untuk menghadapi konsekuensi dari keputusannya?

Lagi-lagi Verro tenggelam dalam pikirannya. Yusuf yang memahami hal itu pun beranjak dari duduknya dan hendak meninggalkan Verro sendirian di ruang tengah. Namun, sebelum Yusuf benar-benar masuk ke kamar, Verro terlebih dahulu sudah kembali memanggilnya.

"Suf, Kak Verra ada ngomongin bapak gue sakit apa, gak?" tanya Verro.

Yusuf menggeleng pasti, "Katanya penyakit orang tua, Ver. Tapi, pas gue tanya lagi, kakak lu akhirnya jujur kalo bapak lu kena kencing manis, terus udah gak bisa jalan, jadi cuma bisa baring doang di kasur."

"Gue harus ngomong gimana, ya, ke mereka soal nasib gue sekarang." Verro bergumam dengan suara perlahan.

"Ver, gue gak tau harus ngasih solusi kayak gimana. Tapi, gue saranin lu ngomong sejujurnya aja."

"Gila lu, bapak sama ibu gue bisa-bisa mati kalo gue ngomong sejujurnya." Verro langsung membantah perkataan Yusuf tersebut.

Verro terdiam sejenak, membiarkan kata-kata kusut tersebut meresap ke dalam pikirannya. Dia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang sulit, di mana setiap arah tampak penuh dengan tantangan dan ketidakpastian. Meski hatinya teriris oleh rasa bersalah dan kegelisahan, dia takut mengungkapkan kebenaran kepada orang tuanya.

Yusuf mengangguk mengerti, tetapi ekspresinya menunjukkan ketegasan. "Gue ngerti, Ver. Tapi, lu juga harus mikirin nasib mereka. Mereka pasti udah kangen sama lu, dan nggak tau apa-apa soal keadaan lu sekarang."

Perasaan Verro terasa semakin terjepit dalam kebingungan. Dia merasa tidak cukup kuat untuk menghadapi konsekuensi dari kejujurannya, terutama jika itu berarti menyakiti hati kedua orang tuanya.

"Suf, gue takut, tau gak? Gue takut buat pulang. Takut mereka nge-judge gue, takut mereka kecewa sama gue," akui Verro dengan suara gemetar.

Yusuf mendekati Verro dengan penuh empati, duduk di sampingnya, dan menyentuh bahunya dengan lembut. Dia tidak jadi meninggalkan sahabatnya itu sendirian.

"Ver, lu itu anak baik. Gue yakin mereka pasti bakal nerima lu apa adanya. Yang penting, lu harus berani ngomong jujur ke mereka. Mungkin awalnya bakal susah, tapi percayalah, kejujuran itu penting banget, apalagi buat keluarga."

Verro menatap Yusuf dengan mata yang penuh keraguan, tetapi juga sedikit lega mendapat dukungan dari sahabatnya. Dia tahu bahwa Yusuf benar, tapi menembus keberaniannya untuk menghadapi kebenaran yang memilukan terasa seperti sebuah tantangan yang tidak terlalu mudah.

Setelah beberapa saat berdiam diri, Verro akhirnya mengangguk pelan. "Gue bakal coba buat pikirin lagi, Suf. Makasih, udah ngingetin gue."

Yusuf tersenyum, mengangkat bahunya. "Sama-sama, Ver. Lu pasti bisa."

[END] BOY ERASEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang