Bunyi bel yang terus bergema di apartemen Yusuf membawa atmosfer yang tegang, membuat Verro semakin gelisah. Dengan hati yang berdebar, dia menghampiri pintu, tangan gemetar saat hendak membukanya. Namun, sebelum Verro berhasil membuka pintu, dia menoleh ke lubang intip dan disambut oleh wajah yang sangat dikenal. Itu adalah Kak Verra, kakaknya Verro, dan salah seseorang yang dihindarinya.
Saat Verro melihat wajah Kak Verra, seketika itu juga, semua pikiran buruk yang selama ini menghantuinya muncul ke permukaan. Verro merasa seperti seorang terdakwa yang bersiap untuk dihadapkan pada hukuman terberat. Dia terpaku, tidak bisa bergerak, bahkan bernapas pun rasanya berat.
Kak Verra tampak khawatir saat Verro enggan membuka pintu. Tatapannya yang penuh kekhawatiran seolah-olah menembus pintu dan menusuk hati Verro. Meskipun dia ingin sekali membukanya, tetapi ketakutan dan rasa malu membuatnya tetap terdiam di tempatnya.
Di tengah kebuntuan itu, bunyi bel masih terus bergema, mengingatkan Verro bahwa waktu terus berjalan. Setiap detik terasa seperti sebuah tortur yang tak tertahankan bagi Verro. Pikirannya terus menerus memutar kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi jika dia membuka pintu.
Ketika bunyi bel akhirnya reda, Verro merasa lega, tetapi juga merasa terkepung oleh rasa bersalah yang membebani dirinya. Dia tidak bisa menghindari pertanyaan dalam benaknya tentang mengapa dia tidak pernah ada kabar, dan mengapa ponselnya tidak bisa dihubungi.
Dengan langkah yang berat, Verro berbalik dan melangkah ke arah kamar. Dia merasa hancur, ditaklukkan oleh perasaan bersalah dan takut yang terus menghantui. Saat itu, dia hanya ingin menghilang dari dunia dan menyembunyikan diri di balik tirai selimut yang menawannya.
"Kenapa Kak Verra harus datang ke sini?" gumam Verro dalam hati, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan yang menyedihkan. Namun, di antara kekacauan pikirannya, Verro tahu bahwa dia harus menghadapi masalah ini, sebelum masalah itu menghadapinya.
Hening yang tercipta setelah bel apartemen berhenti berdering memenuhi ruangan, seakan memberi ruang bagi Verro untuk merenung. Verro menoleh ke arah kalender yang tergantung di dinding kamar. Dia melihat kalau ternyata hanya tinggal tersisa beberapa hari saja menuju lebaran. Menyadari hal itu, Verro pun merasa sangat bingung dan putus asa. Dia masih belum memutuskan keputusannya.
Dia berjalan mendekati pintu dengan langkah gontai, meraba-raba di antara kebingungan yang menggerogoti dirinya. Saat akhirnya dia memutuskan untuk mengungkapkan segala ketidakpastiannya pada Allah melalui shalat istikharah, Verro merasa seperti melepas beban yang begitu berat dari pundaknya.
Dengan langkah-langkah ringan, Verro menuju kamar mandi, di mana air mengalir dan menghasilkan suara gemericik yang menenangkan. Dia merendam dirinya dalam air dingin, membiarkan setiap tetes air membawa rasa kehangatan dan kedamaian yang dibutuhkannya. Setelah berwudhu, Verro mengenakan baju koko dan melangkah dengan mantap menuju sajadah.
Di tengah kamar yang redup, Verro memulai shalatnya dengan penuh khusyuk. Setiap gerakan, setiap sujud, dan setiap doa yang terucap membawa Verro lebih dekat pada Allah. Di saat sujud, tangannya menyentuh lantai dingin, sementara dahinya berdesakan erat di sajadah, menggambarkan kesungguhan hatinya.
Pikiran-pikiran yang tadinya kusut dan bergejolak sekarang mulai mereda, digantikan oleh rasa tenang yang dalam. Setetes air mata jatuh di sajadah saat Verro merasa sebuah rasa kelegaan yang luar biasa membanjiri hatinya. Dia merasakan kehadiran Allah begitu kuat dalam setiap detak jantungnya.
Saat Verro mengakhiri shalatnya, dia merasa seolah-olah telah meletakkan beban hidupnya di tangan Yang Maha Kuasa. Meski mungkin jalan yang akan dipilihnya masih berliku dan penuh tantangan, Verro merasa yakin bahwa dengan petunjuk dari Allah, dia akan mampu melewati segala rintangan.
Dengan hati yang penuh keyakinan, Verro bangkit dari sajadahnya. Dia merasa tegar dan mantap, siap menghadapi apa pun yang akan datang. Setetes air mata masih mengalir di pipinya, tetapi kali ini bukan lagi air mata keputusasaan, melainkan ungkapan dari kerendahan hati dan keikhlasan yang tercipta dalam shalatnya.
Verro dengan hati yang berdebar-debar melipat kembali sajadahnya, sambil duduk di ujung kasur dengan tatapan kosong yang melayang-layang ke luar jendela. Udara kamar terasa tegang, dipenuhi oleh keteguhan hati Verro yang terus mencari petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Di saat yang sama, pintu apartemen terbuka dengan gemerincing kunci. Yusuf melangkah masuk dengan senyuman lebar di wajahnya, memegang bingkisan di tangannya yang tertata rapi. Namun, senyumnya menghilang seketika saat dia melihat Verro, yang masih terbalut dalam pakaian shalatnya dengan kesedihan yang terpancar jelas di wajahnya.
"Ver, lu abis shalat?" tanya Yusuf sambil menaruh bingkisan di samping tempat tidurnya.
Verro mengangguk pelan, mata yang masih berkaca-kaca. "Suf, gue minta petunjuk sama Allah," ucapnya dengan suara yang hampir tercekik oleh tangisnya. "Ternyata gue gabisa kehilangan Allah, Suf."
Yusuf mengangguk penuh pengertian. "Gue paham, Ver. Alhamdulillah kalo lu masih inget lu punya Allah. Belakangan ini gue liat lu udah jauh lebih baik lagi dari pas awal-awal lu pindah ke sini. Gue bangga sama lu, Ver. Lu masih bisa sadar dan melek lu masih punya Allah."
"Kak Verra tadi ke sini," ujar Verro, mengganggu keheningan. Suaranya terdengar rapuh, terasa begitu rapuh seolah hanya menggantung di ujung bibirnya.
Yusuf membulatkan matanya, memperlihatkan kekagetan. "Lu ketemu dia?" tanyanya dengan cemas.
Verro menggeleng pelan. "Nggak, gue gak berani buat buka pintunya. Gue intip doang, terus gue tinggalin ke kamar. Gue takut, Suf," jelas Verro, rasa takutnya mengalir bersama setiap kata yang terucap.
"Hah? Iya? Gue gak cek hp sama sekali, Ver. Gue ikut rapat sama bapak gue tadi, bentar, deh. Abis ini gue telpon Kak Verra-nya, ya. Takut ada apa-apa." Mendengar penjelasan Verro, Yusuf langsung meraih telepon genggamnya, kembali menjadi pria yang penuh perhatian dan kekhawatiran bagi sahabatnya.
Yusuf segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kecil yang sedari tadi menyelempang di bahunya. Seketika mata Yusuf terbelalak, hampir seratus panggilan tidak terjawab tertampil di layar ponselnya. Semua panggilan itu dari Verra, kakaknya Verro.
"Astagfirullahaladzim!"

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...