Keheningan menyelimuti keempat remaja itu, menyatu dengan suasana restoran yang mulai terasa semakin ramai seiring dengan mendekatnya waktu berbuka. Cahaya lampu di langit-langit yang berkilauan menciptakan atmosfer yang kalem namun meriah, menambah keintiman di antara mereka. Adzan maghrib yang merdu berkumandang dari pengeras suara, menggema di ruangan dan menyadarkan mereka bahwa saatnya untuk bersantap.
Meskipun pesanan mereka belum datang, setiap meja sudah disediakan botol-botol air mineral. Verro, Yusuf, Reza, dan Albert memandang botol-botol itu, tetapi tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Mereka hanya mengambil botol masing-masing dan meneguk air dengan diam, membiarkan air segar itu mengalir melewati tenggorokan mereka dalam keheningan yang tegang.
Verro memandang sekeliling restoran dengan mata kosong, mencoba meredakan kegelisahan yang melanda dirinya. Dia merasa kehadirannya di sana hanyalah sebuah kebetulan, terjebak dalam keheningan yang menyakitkan. Perhatiannya teralihkan pada sesekali sentuhan lembut jari Yusuf yang sibuk dengan ponselnya, membuatnya merasa semakin terpinggirkan.
Sementara itu, Albert tampak gelisah di tempatnya, matanya terus menatap ponselnya dengan intensitas yang mencurigakan. Verro menyadari bahwa Albert sedang sibuk mengobrol dengan seseorang melalui pesan singkat. Meski hatinya terasa hampa, Verro memilih untuk tidak mengusiknya, membiarkan temannya itu mengalami momen pribadinya.
Tiba-tiba, suara Albert memecah keheningan yang terasa semakin menyiksa. "Udah buka, kan? Ini gue udah boleh cerita, gak?" ujarnya, dengan raut wajah yang penuh semangat.
Reza menoleh dengan rasa penasaran yang kentara. "Cerita apa?" tanyanya, suaranya terdengar lantang di antara kesunyian antara mereka berempat.
"Ini ada info yang gue dapetin," jawab Albert, duduk dengan lebih tegak. "Jadi, gini ...," tanpa menunggu jawaban, dia langsung memulai ceritanya, membuka topik yang sebelumnya hanya tersimpan dalam pikirannya. "Eh, Ver. Lu kalo gak dengerin cerita gue, gue siram lu pake air botol ini, ya."
Mendengar hal itu, Verro pun menoleh, "Iya, ini gue dengerin. Ada apa emang?" tanyanya.
"Tau si ... duh, masa gue nyebut merk, sih?" Belum saja memulai ceritanya, Albert langsung tertahan. "Si Mila," bisiknya.
"Tolol, kayak iya lu ngomong 'masa gue nyebut merk'." Reza menepuk kepala Albert secara perlahan.
"Ya pokoknya dia lah. Mantan lu juga, kan, Ver?" tanya Albert, sedangkan Verro hanya mengangkat kedua alisnya saja. "Gue kan sekelas sama dia, kalian engga. Nah, gue kan kepo, ya. Gue cari tau lah, tanya-tanya ke sirkelnya dia. Anjir banget pas gue tau rumornya, tapi ini sih masih simpang siur, soalnya belum ada kepastian juga bener atau engga. Masih dugaan anak-anak."
Verro menatap Albert dengan minat yang tulus, terpancing oleh aura misterius yang mengelilingi ceritanya. Namun, seiring dengan perkembangan cerita, wajah Verro mulai memucat, merasa tidak nyaman dengan isu yang sedang dibicarakan.
"Rumor apa emang?" tanya Yusuf, bergabung dalam percakapan. "Padahal dia anak kepsek sekolah kita, tapi ngapain pindah sekolah coba."
"Jelas dia pindah sekolah, bahkan kalo rumor itu bener kayaknya dia gak bakal sekolah lagi, deh," sahut Albert, suaranya terdengar ragu.
"Ya, terus rumor apa?" tanya Reza, semakin penasaran dengan setiap kata yang terucap.
Namun, belum selesai Albert ingin menjawab, pelayan tiba-tiba muncul dengan membawa hidangan mereka. Empat hidangan pilihan mereka telah tersaji di hadapan, memenuhi meja dengan aroma yang menggoda. Verro, Yusuf, Reza, dan Albert pun terdiam, terbuai oleh kelezatan makanan yang terhampar di depan mereka.
Dalam kesibukan menikmati hidangan, cerita Albert luput dari perhatian mereka. Mereka terlena oleh sensasi rasa yang menghantui lidah mereka, lupa sejenak akan kegelisahan yang sebelumnya menghampiri. Dalam keheningan makan malam, cerita pun terlupakan, digantikan oleh kenikmatan cita rasa yang memanjakan lidah mereka. Mereka tenggelam dalam kenikmatan bersama, menciptakan momen yang tak terlupakan di tengah hiruk-pikuk Ramadhan yang meriah.
Sampai akhirnya satu orang tersadar akan hal tersebut. "Lha, lu gak lanjut cerita?" tanya Reza.
Ketika Albert memutuskan untuk melanjutkan ceritanya, suasana di meja mereka semakin tegang. Reza mencoba untuk menanyakan kelanjutan cerita sambil mulutnya masih penuh dengan makanan yang sedang dikunyah. Albert memberikan isyarat bahwa dia perlu waktu untuk menelan makanannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya melanjutkan dengan suara yang pelan namun penuh ketegasan.
"Jadi, kenapa gue bisa bilang kayak gitu? Karena dari rumor yang gue denger, si Mila itu hamil," ucap Albert, meningkatkan kekaguman yang tidak dapat disembunyikan oleh tiga temannya.
Ketiga orang itu terperangah, menyebabkan Verro tercekik dan terbatuk-batuk. Yusuf, yang duduk di samping, segera merespons dengan menepuk-nepuk punggungnya untuk membantu.
"GILA! Kok bisa?" seru Reza hampir tanpa diduga, suaranya naik beberapa oktaf.
"Entah, gue juga kaget banget waktu tau infonya," jawab Albert, tampaknya tenang dalam menghadapi situasi yang berat. "Soalnya aneh, dia pamit mau pindah sekolah, tapi pas ditanya pindah ke sekolah mana dia malah nangis, akhirnya ga kejawab, tuh."
"Hmmm, si Mila emang cewek yang gimana, sih?" tanya Yusuf setelah meneguk es jeruknya dengan serius.
"Gak tau, tanya aja, noh, mantannya kan ada di sampinglu," kata Albert, menunjuk ke arah Verro yang masih tercengang.
"Ver?" panggil Yusuf dengan nada cemas.
Verro hanya menggeleng keras. "Gue ke toilet dulu, ya. Bentar." Tanpa menunggu jawaban, dia berjalan cepat menjauh dari meja mereka menuju ke arah toilet.
Tinggallah Yusuf, Reza, dan Albert yang saling memandang dengan ekspresi kebingungan dan kekhawatiran yang sama. Albert yang tadinya sibuk mengunyah daging merahnya pun perlahan-lahan menghentikan kegiatan itu. Mata mereka berdua tiba-tiba menatap tajam ke arah Yusuf, seolah-olah mencari jawaban atas apa yang baru saja terjadi.
Yusuf menggelengkan kepala dalam kebingungannya, tidak tahu apa yang terjadi pada Verro. "Gue susul dia dulu, ya. Kalian lanjut makan aja," ucapnya sambil berdiri dari kursinya dan menuju ke arah toilet dengan langkah yang cepat.
Saat Yusuf mencapai toilet, dia melihat Verro tengah duduk di salah satu sudut tempat tunggu toilet, kepala tertunduk dalam kesedihan yang mendalam. "Ver, lu kenapa? Baik-baik aja?" tanyanya dengan suara yang penuh perhatian.
Verro mengangkat kepala dengan tergesa-gesa, mencoba menutupi jejak air mata yang mengalir di pipinya. "Ya, gue baik-baik aja, Suf," jawabnya dengan suara yang gemetar.
Yusuf duduk di samping Verro, mendekatkan dirinya dengan penuh kepedulian. "Lu tahu? Lu bisa cerita ke gue kelo ada yang ganggu pikiranlu. Ver, gue sahabatlu, gue ada di sini buatlu," ujarnya dengan lembut, mencoba memberikan dukungan kepada temannya.
Verro menatap ke arah Yusuf dengan ekspresi campuran antara kesedihan dan rasa terima kasih. "Makasih banyak, Suf. Tapi gue cuma perlu waktu buat ngerenungin semuanya."
Yusuf mengangguk mengerti, membiarkan Verro dalam kesendiriannya sementara dia tetap berada di sampingnya sebagai bentuk dukungan. Di dalam toilet yang sunyi, dua teman itu berbagi beban dengan harapan bahwa semuanya akan menjadi lebih baik.
Namun, tiba-tiba tangisan Verro pecah.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...