Yusuf terkejut melihat Verro tiba-tiba hancur, tangisannya tidak terkendali. Orang-orang di sekitar mereka mulai memperhatikan, menciptakan tekanan tambahan bagi Yusuf yang merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Dalam keadaan panik, Yusuf berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan Verro, tetapi dia merasa tidak mampu melakukan apa pun selain memeluknya dengan erat.
Verro menangis tersedu-sedu, mencoba menutupi rasa malunya dengan kedua tangan. "Suf, gue salah, Suf. Gue malu!" ucapnya dengan suara yang terputus-putus, di antara isakan tangisnya.
Yusuf mengusap punggung Verro dengan lembut, mencoba memberikan sedikit kenyamanan dalam kekacauan emosional yang sedang dialami temannya. "Malu? Kenapa, Ver? Malu kenapa lu?" tanyanya dengan penuh perhatian, mencoba memahami perasaan Verro. "Mau cerita?"
Namun, Verro hanya menangis lebih keras, tidak mampu menemukan kata-kata untuk menjelaskan perasaannya. Yusuf merasa putus asa, tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu temannya yang sedang hancur.
Tetapi, Verro akhirnya mencoba mengungkapkan sesuatu di antara isakan tangisnya. "Suf, mungkin lu bakalan kecewa sama gue abis ini. Tapi, gue gak tau harus cerita ke siapa soal ini. Sedangkan, diri gue sendiri gak bisa nampung masalah ini sendirian."
Yusuf merasa sedih melihat Verro dalam keadaan seperti itu. "Ver, lu gak usah khawatir soal gue. Gue di sini tulus jadi sahabat lu, lu gak perlu takut gue ngejauh dari lu setelah tau cerita lu. Gue gak bakal ke mana-mana."
Verro menatap Yusuf dengan ekspresi campuran antara harapan dan ketakutan. "Suf, soal Mila ...." Dia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasinya. "Soal Mila, gue gak yang bikin dia hamil, Suf."
Yusuf terdiam, mencerna informasi tersebut dengan hati yang berdebar-debar. "Hah? Ya Allah, Ver, itu berarti lu gak bersalah, dong. Apa yang bikin lu khawatirin?"
"Gue, Suf. Lu tau? Gue gak diliburin dari sekolah, Suf. Gue dipaksa buat ngundurin diri," ungkap Verro dengan suara yang masih tersedu-sedu. "Bapaknya Mila, dia pikir gue yang bikin hamil anaknya. Dia sampe ngebesar-besarin masalah itu di kalangan guru sama staf, Suf. Kalo lu inget, bulan lalu gue dipanggil ke ruangan kepsek, itu gue disidang, Suf."
Yusuf menelan ludah, merasakan tekanan yang meningkat seiring dengan pemahaman atas situasi yang dihadapi Verro. "Astaghfirullah, Ver, itu serius banget," katanya dengan suara gemetar. "Lu gak boleh biarin dirilu terus menderita sendirian. Kita bakal hadapi ini bareng-bareng, gue janji."
Verro menatap mata Yusuf dengan ekspresi penuh keputusasaan, sepertinya telah kehilangan segala harapan. "Suf, gue gak punya kekuatan buat ngelawan mereka. gue cuma anak tukang ojek. Gue pasti kalah kalo harus berhadapan sama keluarga Mila."
Yusuf merasakan kebencian yang membara di dalam dirinya. "Tapi, Ver, itu fitnah! Fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan." Wajahnya memerah karena amarahnya terhadap kepala sekolah mereka. "Kita gak bisa biarin mereka ngehancurin lu gitu aja, Ver. Dia udah ngambil masa depanlu dengan seenaknya. Gue bakal laporin ini ke bapak gue, ya. Biar diurus bener-bener."
Namun, Verro dengan tegas menggelengkan kepala, "Gak, Suf! Gue udah terlanjur hancur." Dia menghentikan tangan Yusuf yang hendak mengambil ponsel dari saku celananya. "Masalahnya gak cuma berhenti di situ."
Yusuf terdiam, matanya menyiratkan kebingungan dan ketidakpercayaan. "Apa lagi?" desisnya, suaranya dipenuhi dengan frustrasi yang mendalam.
Verro masih terisak saat dia memandang wajah prihatin Yusuf. "Suf, gue bener-bener minta maaf," ujarnya dengan suara yang gemetar.
Yusuf menggeleng lembut. "Minta maaf kenapa, Ver? Lu gak ada salah." Dia merangkul bahu Verro dengan penuh kasih sayang. "Yaudah, Ver. Ayo balik. Kita ngobrol di rumah aja, biar enak gak banyak orang gini."
Dengan langkah gontai, mereka berdua hendak meninggalkan restoran. Yusuf segera menelpon Reza dan Albert untuk memberi tahu mereka tentang keberangkatan mereka, sementara Verro terus mencoba menahan tangisnya.
Tidak lama kemudian, Reza dan Albert menyusul mereka di tempat tunggu toilet. Wajah mereka penuh kekhawatiran melihat keadaan Verro yang masih terlihat terpukul.
"Kalian bertiga duluan aja, gue ngurus pembayarannya dulu, ya," ujar Yusuf seraya mengecek dompetnya.
Ketiganya berjalan beriringan menuju parkiran. Saat Yusuf berbelok ke arah kasir, Verro, Reza, dan Albert melanjutkan langkahnya menuju mobil. Barang-barang Verro dan Yusuf sudah dibawakan oleh Reza dan Albert, sehingga mereka tidak perlu repot kembali ke meja makan.
Saat tiba di parkiran, ketiganya langsung masuk ke mobil Yusuf. Namun, Verro masih terdiam dalam kesedihannya. Tidak lama, Yusuf datang menyusul.
"Eh, anjir, jangan si Verro yang nyetir lah. Lu aja yang nyetir, Bet," omel Yusuf begitu dia melihat Verro mengambil posisi di kursi pengemudi.
"Gapapa, Suf, gue bisa, kok." Verro mencoba meyakinkan mereka sambil menyeka air mata yang masih tersisa.
"Gak, anjir. Gue masih pengen idup. Udah gantian buruan," desak Yusuf dengan nada penekanan.
Setelah mendapat teguran dari Yusuf, Verro dan Albert bertukar posisi. Kini, Albert yang mengemudi. Di perjalanan pulang, suasana hening menyelimuti keempat sahabat ini. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri, memproses apa yang baru saja terjadi.
Sampai akhirnya mobil berhenti di depan gedung apartemen Yusuf. Mereka berempat turun dari mobil dengan perasaan yang tercampur antara kelelahan dan kekhawatiran. Keempatnya berjalan menuju unit apartemen milik Yusuf.
Saat pintu terbuka dan keempat sejoli itu masuk. Suasana berubah menjadi sendu dan membingungkan. Verro langsung terduduk di atas sofa, dengan Yusuf di samping kirinya dan Albert di samping kanannya. Sedangkan Reza, dia menggeret satu kursi empuk kecil dan duduk di hadapan Verro.
Suasana malam itu sangat tenang, suara imam di mesjid yang sedang melakukan shalat tarawih pun tidak bisa terdengar masuk ke apartemen Yusuf. Pertengahan bulan Ramadhan menjadi malam-malam yang biasanya istimewa bagi seluruh umat muslim.
"Sebelumnya gue mau minta maaf ke kalian semua." Suara Verro terdengar bergetar. "Mila, itu bukan cewek bener. Sejak gue pacaran sama dia dari kelas satu sampe beberapa bulan lalu putus, gue tau betul kelakuan cewek itu kayak gimana."
Semua mata masih tertuju fokus pada Verro, dia melanjutkan, "Gue kira, gue bisa bikin dia berubah dengan gue jadi pacar dia. Ternyata engga, dia sering banget 'main' sama cowok. Bahkan dia selalu videoin itu, gue liat sendiri karena dia suka ngasih liat ke gue. Dia ganti-ganti cowok sembarangan, om-om, sampe preman dia pernah lakuin." Cerita Verro tertahan di sini, seolah-olah dia sedang menceritakan hal pahit dari aib seseorang.
"Kenapa lu gak putusin dia sejak pertama lu tau, Ver?" tanya Reza.
"Anceman, Za. Gue diancem sama dia." Air mata Verro mulai mengalir kembali seolah-olah menggambarkan sungai kesedihan di pipinya.
"Anceman?" tanya Yusuf yang sudah merangkul Verro sejak tadi.
Verro mengangguk, "Ini murni ketololan gue, gue bener-bener tolol. Gue pernah ngelakuin itu sama dia, dan gue gak bangga sama itu." Verro menutup wajahnya, dia sangat malu.
"Terus? Di videoin?" tanya Yusuf kembali dengan nada khawatir.
Verro hanya mengangguk, dia tidak bisa berkata apa-apa.
"Astagfirullah, Verro. Kenapa lu mau ngelakuin hal yang begituan? Ver, gue gak hab—,"
Belum selesai Yusuf berbicara, Verro langsung memotongnya, "DUIT, SUF, DUIT! Gue butuh duit, lu lupa gue ke sini gak punya apa-apa? Gue tau, gue salah, Suf. Tapi, gimana? Gue udah terlanjur ngelakuinnya. Dia terus-terus maksa gue buat ngelakuin itu terus, gue bener-bener nyesel sampe sekarang gue tau faktanya. Gue berobat ke dokter, Suf!"
"Ke dokter?" tanya Yusuf dengan spontan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...