Erased 15

13 3 0
                                    

Malam melanjutkan langkahnya dengan langit yang masih diselimuti oleh kegelapan. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari ketika Verro akhirnya mengakhiri kisahnya. Detail demi detail dia ceritakan, seolah mengupas luka-luka yang terpendam dalam dirinya. Bahkan sahabat-sahabatnya, Yusuf, Albert, dan Reza, tidak mampu menahan keterkejutan mereka atas pengakuan yang begitu mengerikan dari Verro.

Verro menegaskan lagi dan lagi bahwa uanglah yang mendorongnya melakukan segala tindakan itu. Namun, tak ada kebanggaan dalam kata-katanya. Baginya, itu adalah belenggu yang mengikatnya, membuatnya menjadi 'budak' dari anak kepala sekolah tersebut. Verro berkali-kali meminta maaf, mengakui betapa dirinya merasa malu dan menyesal atas semua yang telah dilakukannya.

Kisah yang Verro ceritakan mungkin terdengar seperti fiksi yang tak masuk akal bagi kehidupan seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Namun, di dunia yang penuh dengan godaan dan tekanan seperti perkotaan, segalanya menjadi mungkin. Pengalaman mengerikan yang Verro alami adalah bukti nyata dari kompleksitas dan kegelapan yang ada di balik kehidupan di kota.

Verro merasa dirinya telah menjadi titik terendah, merasa kotor dengan satu penyakit yang merajalela dalam tubuhnya. Dia mencoreng nama baik keluarganya, membenamkan mereka dalam rasa malu dan penyesalan. Dengan kepalanya yang terus tertunduk, dia merasa hancur dan tak berdaya.

Namun, sang ayah, meski terlihat lelah, masih mampu memberikan kata-kata yang penuh dengan kebijaksanaan dan kehangatan. Dia mencoba menyampaikan bahwa setiap kesalahan adalah pelajaran untuk masa depan, meski terkadang harus dipelajari dengan cara yang pahit. Sang ayah pun meminta Verro untuk beristirahat, menawarkan bahunya yang hangat sebagai tempat bersandar.

Verro dan sahabat-sahabatnya mengikuti arahan sang ayah, masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Namun, meski tubuhnya berada di tempat tidur, pikirannya masih dipenuhi dengan beban yang berat, rasa malu, dan penyesalan yang tidak kunjung reda. Verro begitu yakin bahwa di dalam hati sang ayah, kekecewaan menyelimuti, meski itu tidak diungkapkan dengan kata-kata.

"Ver, bangun." Suara lembut itu memecah keheningan pagi yang hangat, menyapa telinga Verro dengan lembutnya.

Menggeliat perlahan, Verro merasa tubuhnya terasa berat, seperti sedang terjebak dalam mimpi buruk. Matanya merespons cahaya matahari yang menyinari kamar, dan di sebelah tempat tidurnya, dia melihat Yusuf yang sudah berdiri dengan pakaian rapi, menunggu dengan sabar.

Perlahan-lahan, Verro menarik diri dari belaian lelapnya. Setiap gerakan terasa lambat, seolah-olah waktu berputar lebih pelan di dalam kamarnya. Pusing yang membelenggu kepalanya dan gatal-gatal akibat sengatan nyamuk semalam menjadi pengingat bahwa hari ini adalah hari yang berbeda.

Dengan perasaan yang campur aduk, Verro mulai merapikan diri. Setiap langkahnya diiringi dengan getaran hati yang tak menentu. Hari itu, Verro dan ayahnya harus pergi ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan perdana setelah tes yang Verro jalani sebulan yang lalu di sekolah. Yusuf, setia sebagai sahabat, menawarkan diri untuk mengantar mereka.

Ketegangan mengerat di dada Verro saat dia bersiap-siap. Bayangan hasil pemeriksaan yang mungkin masih menunjukkan kondisi yang sama dengan sebelumnya, positif, menghantuinya. Namun, di balik ketakutannya, Verro terus berdoa dalam hati, mengharapkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Setelah Verro siap, mereka bertiga berangkat. Mobil meluncur tenang di jalanan yang masih sepi karena suasana lebaran masih menyelimuti, dengan Yusuf yang duduk di kursi pengemudi. Verro, duduk sendiri di kursi belakang, sementara sang ayah duduk di sebelah Yusuf di bagian depan.

Perjalanan menuju puskesmas tidak terlalu jauh, tetapi ketegangan terasa menggelayut di udara, menyatu dengan hiruk-pikuk lalu lintas pagi itu. Waktu berjalan dengan lambat, seperti menarik-narik kekhawatiran yang menggelayuti hati mereka.

"Pa, sekali lagi adek minta maaf, ya," ujar Verro dengan suara gemetar, mencoba menembus keheningan yang terbentang di dalam mobil.

Hening menyelimuti mereka, hanya terdengar suara mesin mobil dan suara deru angin yang menyelinap masuk melalui jendela. Meski suasana tegang, mereka berusaha untuk menjaga percakapan ringan agar tidak memperkeruh suasana. Namun, di balik keramaian keheningan, Verro memperhatikan ayahnya yang tampak tegang dan berkeringat sejak dari rumah.

Alasan mengapa sang ayah memutuskan untuk membawa Verro melakukan pemeriksaan ulang adalah karena keadaan saat pemeriksaan sebelumnya. Verro sedang dalam kondisi tertekan saat itu, dipojokkan dan disidang oleh kepala sekolah dengan keras. Sang ayah meragukan akurasi hasil pemeriksaan dalam kondisi tersebut. Bahkan, dia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kepala sekolah bisa saja memanipulasi hasil untuk menjaga nama baik anaknya dengan cara mengorbankan Verro.

Pemikiran tersebut menyuguhkan sebuah pandangan yang baru bagi Verro dan Yusuf. Mereka tidak pernah terpikirkan bahwa hal semacam itu bisa terjadi, bahwa kekuasaan bisa dimanfaatkan untuk menyembunyikan kesalahan. Sang ayah menjelaskan dengan rinci, membuka mata mereka akan realitas yang tidak selalu lurus seperti yang mereka kira.

Verro dan Yusuf hanya bisa mendengarkan, sesekali mengangguk paham akan apa yang dijelaskan oleh sang ayah.

Tiba akhirnya mereka di puskesmas. Meski lebaran, puskesmas daerah tetap beroperasi, terbuka bagi pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Saat mereka tiba, suasana masih sama ramainya seperti biasa, dengan pasien yang datang untuk berbagai macam pemeriksaan.

Verro, Yusuf, dan Ayah Verro berjalan beriringan menuju customer service, bergabung dalam kerumunan yang mengantri untuk mendapatkan pelayanan. Setelah beberapa menit menunggu, giliran Verro pun tiba. Dengan langkah gugup, Verro mendekati loket untuk mendaftar dan menjelaskan tujuan kunjungannya.

Setelah mendaftar, Verro diarahkan untuk menunggu di lantai dua puskesmas, di depan ruang tes VCT. Ditemani sang ayah dan Yusuf, Verro duduk menunggu dengan perasaan yang bercampur aduk. Namun, saat dipanggil untuk menjalani pemeriksaan dan tes darah, Verro hanya diizinkan masuk sendirian. Dengan hati yang berdegup kencang, Verro melangkah menuju ruang pemeriksaan.

Pemeriksaan berjalan dengan cepat, tak berlangsung lama. Tak berapa lama kemudian, Verro keluar dari ruang pemeriksaan. Dokter bertanya apakah Verro ingin menunggu hasil langsung atau mengambilnya besok, karena hasil akan keluar pada sore hari. Namun, Verro memutuskan untuk mengambilnya langsung sore itu.

Verro mendekati ayah dan Yusuf yang sedang berbincang dengan seorang pria berjenggot panjang, tampak seperti seorang ahli agama. Verro menyapa singkat pria tersebut.

"Oh, ini, Pa, anaknya?" tanya pria tersebut, dijawab dengan anggukan dari sang ayah. "Dek, sini duduk," ajaknya.

Verro pun duduk di samping pria tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, pria itu langsung berbicara, "HIV bukan penyakit yang bisa dianggap remeh. Ada sebab dan akibatnya, gejala-gejala yang mengiringinya, serta tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Saya penderita HIV bertahun-tahun, namun Alhamdulillah, saya masih bisa menjalani hidup dengan baik seperti ini. Saya tidak bangga dengan penyakit saya, tapi yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah berusaha, bertaubat kepada Allah, dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu."

Pembicaraan mendadak itu membuat Verro merasa lega. Dia akhirnya bisa melihat sosok yang bisa menerima kondisinya dengan lapang dada, memberikan harapan bahwa hidup masih bisa dijalani dengan tenang meski dengan penyakit tersebut. Pria itu menyebut Verro sebagai anak yang pemberani karena mau melakukan tes dengan cepat.

Percakapan antara Verro dan pria tersebut berlangsung begitu mendalam, membuat mereka lupa akan waktu. Ketika nama Verro dipanggil oleh sang dokter, "Atas nama Verro Alfito!", mereka baru sadar bahwa sudah pukul empat sore.

Waktu berlalu begitu cepat, terlebih karena keasyikan dalam bertukar pikiran. Sesuai janji sang dokter, hasil pemeriksaan Verro akan keluar tepat di sore hari.

Sang ayah, Yusuf, dan pria berjenggot panjang yang juga menunggu dengan harapan yang sama, memberikan semangat padanya. Pria tersebut tidak kunjung pulang karena dia juga melakukan pemeriksaan rutin di puskesmas.

Dengan langkah gugup, Verro beranjak dari tempat duduknya. Verro mengambil secarik surat dalam amplop yang diberikan oleh seorang perawat. Hatinya berdegup kencang, mencoba untuk menyiapkan diri dengan hasil yang akan diungkapkan dalam surat tersebut.

"Pa, adek gak sanggup buat buka hasilnya sendiri."

[END] BOY ERASEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang