Verro meminta maaf pada Yusuf setelah menyadari bahwa ucapan sebelumnya terlalu berlebihan. Namun sebenarnya, hal itu keluar spontan dari mulut Verro. Dia tidak tahu kalau perkataannya benar-benar membuat Yusuf tersinggung dan marah, sampai satu pukulan keras mendarat di pipi Verro.
Pertikaian semacam ini bukan hal yang tidak biasa di antara Verro dan Yusuf. Keduanya tidak jarang bertengkar, mulai dari perbedaan pendapat, sampai ke hal-hal acak yang spontan keluar dari mulut masing-masing.
Permintaan maaf Verro pun diterima, mereka berdua melanjutkan pencarian tempat untuk berbuka puasa bersama. Beberapa daftar tempat sudah Yusuf catat dan kirim ke dalam grup untuk dipilih oleh Verro, Reza, dan Albert. Sampai akhirnya pun mereka sepakat untuk memilih satu tempat yang dirasa nyaman.
Tidak banyak basa-basi, Yusuf langsung memesan reservasi tempatnya. "Ver, kita berangkat jam empat aja, ya."
"Jam empat? Cepet amat, bukanya aja jam enam sore, anjir." Verro mengernyitkan dahi seraya berjalan menuju kopernya di sudut kamar.
"Ada yang mau gue beli, sekalian jalan-jalan juga. Lagian tempatnya lumayan jauh, kan?" terang Yusuf.
"Lha, ini udah jam empat kurang, yaudah gue mandi duluan kalo gitu." Selesai memilih pakaian yang sekiranya hendak dipakai, Verro bergegas pergi ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Yusuf kembali mengomeli Verro yang dianggapnya terlalu lama di kamar mandi. Verro hanya tersenyum simpul, tidak ingin memperpanjang diskusi yang sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari. Mandi bukanlah sekadar membersihkan tubuh baginya, tapi juga tempat untuk melamun dan menyusun pikiran.
Saat mereka akhirnya siap berangkat, matahari hampir terbenam di ufuk barat. Verro mengemudikan mobil Yusuf, melewati hiruk pikuk jalan perkotaan yang ramai. Lampu-lampu neon menyala di sepanjang jalan, menciptakan atmosfer Ramadhan yang khas dengan pedagang takjil berjejer di pinggir jalan.
Ternyata, perjalanan ini adalah perjalanan pertama Verro keluar sejak beberapa minggu yang lalu. Sejak pindah ke apartemen Yusuf, Verro lebih memilih untuk tinggal di dalam apartemen daripada keluar. Namun, melihat keramaian dan getaran Ramadhan di jalanan membuatnya merasa sedikit menyesal atas keputusannya.
Verro mengamati orang-orang yang berkerumun di kedai-kedai takjil dengan rasa iri. Dia menyadari bahwa bulan Ramadhan adalah waktu yang istimewa yang seharusnya dinikmati bersama orang-orang terkasih. Sambil berkendara, Verro sesekali melontarkan komentar dalam hatinya tentang keramaian tersebut, sementara Yusuf sibuk dengan ponselnya mengabari teman-teman mereka yang lain.
Setelah perjalanan yang cukup lama, mereka tiba di sebuah restoran lokal yang ramai. Antrian panjang sudah membentuk jalur di luar restoran. Verro sedikit terkejut melihat antusiasme orang-orang untuk makan di restoran ini, terutama karena mereka tidak pernah makan di sini sebelumnya, meskipun sering diajak oleh Yusuf.
"Liat? Kalo gue gak reservasi duluan, kita balakan kesulitan buat masuk ke restoran ini," ujar Yusuf sambil berjalan beriringan dengan Verro menuju salah satu petugas restoran yang sudah sibuk menyambut orang-orang dengan tiket reservasi. Terlihat lampu-lampu gemerlap dari jajaran kendaraan yang terparkir di sekitar restoran, mencerminkan animo yang tinggi di malam Ramadhan.
"Iya anjir, bener juga. Ini, sih, gila. Gue jadi penasaran, seberapa enak, sih, makanannya?" tanya Verro sambil mengedarkan padangannya.
Dia melihat sekeliling dengan penuh kekaguman, mencatat setiap detail yang menarik perhatiannya, mulai dari dekorasi restoran hingga keramaian yang menciptakan atmosfer yang istimewa.
Tidak ada jawaban dari Yusuf saat ini. Dia sedang sibuk berbicara dengan petugas reservasi yang tampaknya sedikit kelelahan menghadapi lonjakan pengunjung. Verro menatapnya dengan tatapan penuh rasa penasaran, terbayang dalam pikirannya apakah makanan di restoran ini sesedap yang dibayangkan oleh banyak orang.
Setelah menunggu beberapa menit yang mungkin terasa seperti berjam-jam bagi mereka yang tidak sabar, akhirnya mereka diantar ke dalam restoran. Suasana benar-benar hidup, setiap sudut ruangan dipenuhi oleh tawa dan cerita yang saling bersahutan dari para pengunjung yang menunggu waktu buka puasa mereka. Verro dan Yusuf melangkah masuk, disambut oleh aroma rempah yang menggoda dari dapur terbuka yang terletak di ujung ruangan.
Restoran ini memiliki nuansa unik, dengan sentuhan modern dan tradisional yang harmonis. Dinding-dindingnya dihiasi dengan karya seni lokal yang menawan, sementara lampu gantung kristal yang megah memberikan kilauan anggun di sekitar ruangan. Yang paling mencolok adalah hiasan-hiasan Ramadhan yang menghiasi ruangan, memberikan sentuhan khas tahunan yang membuat suasana semakin meriah dan penuh kehangatan.
Verro dan Yusuf duduk di lantai tiga, di sebuah sudut ruangan yang memungkinkan mereka untuk menikmati pemandangan kota yang terang benderang dari jendela besar. Meskipun ramai, ruangan tersebut tetap terasa lapang dan nyaman karena luasnya ruangan. Keduanya merasa nyaman duduk di kursi empuk restoran tersebut, sementara mereka menantikan hidangan lezat yang akan segera disajikan.
"Suf, ini restoran bintang lima?" tanya Verro tiba-tiba, setelah melihat sebuah sertifikat dan ornamen bintang lima terpajang di dinding. Dia memandang Yusuf dengan ekspresi kagum dan takjub.
Yusuf hanya tersenyum sambil mengangguk, seolah-olah dia sudah tahu bahwa Verro akan terkesan dengan tempat ini.
"Wow, untung gue pake baju yang lumayan bagus," ucap Verro sambil memandang baju yang dikenakannya. Dia merasa sedikit canggung dengan gaya sederhananya di tengah kemewahan restoran ini.
Meski tidak mewah, gamis hitam panjang yang dikenakan Verro terlihat sangat pas. Dengan gaya ala Timur Tengah, gamis itu melengkapi penampilannya dengan sempurna. Meskipun ayah Verro adalah seorang tukang ojek, darah Timur Tengah yang mengalir di dalam dirinya begitu kental, memberikan pesona dan keanggunan yang memikat.
Tidak lama kemudian, Reza dan Albert tiba. Mereka seolah-olah telah merencanakan untuk menggunakan pakaian yang sama. Keempat remaja itu mengenakan gamis panjang, dengan Verro berwarna hitam, Yusuf berwarna putih, Reza berwarna cokelat, dan Albert dengan kalung salib di lehernya mengenakan gamis panjang berwarna abu-abu. Mereka terlihat lengkap.
Sambil menunggu waktu berbuka, yang masih tersisa sekitar setengah jam, keempatnya berbincang ringan.
"Ver, bagaimana kabar lu? Udah lama kita ga ketemu, ya. Dua hari, haha," seru Reza yang duduk di hadapan Verro.
"Ya, gini-gini aja, Za," jawab Verro sambil mengangkat kedua bahunya.
"Eh, iya. Kenapa lu di skors dari sekolah, Ver?" tanya Reza dengan rasa ingin tahu. Namun, pandangan tajam dari Yusuf membuatnya menyadari bahwa pertanyaannya mungkin tidak pantas.
Verro tidak menjawab. Wajahnya berubah murung sejenak. Reza menyadari kesalahannya dan langsung meminta maaf. Namun, Verro yang awalnya mulai membaik dari kekesalannya, kini terlihat semakin tertekan.
"Lu bener-bener ga punya otak, ye," bisik Albert pada Reza dengan nada kesal.
"Maaf, gue gak tau kalau pertanyaan itu sensitif," kata Reza. "Ver, lu marah?"
Dengan demikian, suasana menjadi tegang di antara mereka, dengan Verro yang terlihat semakin tertutup dan Reza yang merasa menyesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] BOY ERASED
Teen FictionKecewa, menjadi sebuah kata yang benar-benar bermakna pada setiap orang. Kekecewaan seseorang bisa tumbuh seiring dengan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Lalu, apa artinya takdir? Verro Alfito, mengasingkan diri dari lingkungan keluarganya kar...