Erased 2

27 4 7
                                    

Tidak terasa waktu sudah lewat tengah hari. Verro baru saja kembali terbangun dengan matanya yang sembab. Tidak ada lagi adegan menarik selimut. Remaja berbaju tanpa lengan warna hitam tersebut mulai bangkit dari tidurnya, tentu setelah mengumpulkan nyawa selama beberapa menit.

Verro berjalan dengan langkah gontai menuju kamar mandi di dalam kamar tidur. Melakukan rutinitas yang biasanya dilakukan di pagi hari. Tidak penting sebenarnya, tetapi ini menjadi kesempatan emas bagi Verro untuk merenung. Sambil terduduk dia melamun. Memikirkan apakah tindakan yang dia lakukan sudah benar? Apakah jalan yang dia ambil tidak salah?

Gue harus gimana? Buat balik ke kampung aja gue malu, gue gak berani.

Di kampung, seluruh keluarganya berkumpul. Kedua kakak perempuan Verro yang sudah menikah pun tinggal di lingkungan yang sama dengan orang tuanya. Verro terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Dia bukan dari kalangan orang-orang yang tumbuh bersama privilage sejak lahir.

Ayah Verro hanya seorang tukang ojek pangkalan di pasar, sedangkan sang ibu tidak bekerja karena beliau tidak bisa terlalu kelelahan. Pernikahan kedua kakaknya tidak berjalan dengan baik juga, kekerasan dalam rumah tangga mereka menjadi keseharian yang tidak dapat dihindari. Hal itulah yang membuat Verro sangat berat untuk pulang dengan kondisinya saat ini.

Verro yang memiliki beban berat dipundaknya, harapan terakhir keluarganya, dan bisa masuk ke sekolah favorit dengan beasiswanya merasa sangat putus asa saat mendapati keterangan bahwa beasiswanya dicabut sepenuhnya oleh pihak sekolah. Ini salah satu cerita yang belum Verro ceritakan pada siapa pun.

Ponsel Verro sudah lama dia non-aktifkan. Remaja itu benar-benar menarik diri dari seluruh kehidupan nyata. Verro bahkan tidak berpikir kalau dengan tindakan dia mematikan ponselnya tersebut, justru orang tua akan semakin khawatir. Dia melakukan hal tersebut semata-mata ingin memberi makan egonya sendiri.

Setelah sekiranya cukup atas renungan selama kurang lebih setengah jam, Verro pun memutuskan untuk mandi. Selesai dengan serba-serbi urusan pribadinya di kamar mandi, Verro yang sudah kembali berpakaian lengkap pun berjalan ke ruang tengah.

Apartemen milik Yusuf terbilang sangat luas dengan ruangan-ruangan yang tersedia. Terdapat satu kamar tidur dengan kamar mandi dalam, ruang tengah sekaligus ruang tamu dilengkapi televisi dan sofa, dapur dengan peralatan masak yang lengkap, ruang kerja dengan ukuran minimalis, dan balkon mengarah ke pemandangan perkotaan yang sibuk. Jika menoleh ke arah bawah, maka akan terlihat kolam renang pribadi gedung tersebut. Apartemen Yusuf terletak di lantai dua puluh.

Yusuf adalah anak seorang pemilik perusahaan listrik swasta. Dia menjadi contoh dari satu orang yang tumbuh dengan privilage sejak lahir. Namun, hal itu tidak membuat Yusuf congkak dengan dagu mengarah ke atas. Justru, dia adalah pribadi yang sangat patut diteladani. Kognitifnya hampir sempurna, agamanya kuat, dan fisiknya terlatih.

Yusuf bisa berteman dengan Verro karena keduanya memiliki kesamaan diantara tiga faktor tersebut. Persaingan yang sehat di sekolah membuat keduanya dekat.

Tidak lama, Verro sampai di hadapan sofa empuk berwarna abu-abu. Dia bergegas merebahkan diri dan terdiam untuk beberapa saat. Matanya mengedar seakan-akan mencari sesuatu. Saat sorot matanya duduk tepat di sebuah rak penuh buku, dia membatin.

Ngaji gak bakal bikin gue tenang juga, gue udah hilang rasa sama Allah. Semua kata-katanya fiktif, gue gak percaya.

Kegiatan yang dilakukan oleh Verro selalu monoton, sejak dirinya dilibur sekolahkan. Tidak ada ruang yang lebih luas untuk dirinya bepergian. Sampai akhirnya Yusuf pulang dari sekolah sekitar pukul dua belas siang.

Saat sampai di apartemen, Yusuf melihat Verro terbaring di sofa dengan mulut menganga. Dia melihat di atas meja kopi depan televisi terdapat Al-Qur'an miliknya yang diletakkan secara sengaja. Yusuf tersenyum akan hal itu, dia mengira kalau Verro sebelumnya sedang membaca kitab suci tersebut.

"Ver, bangun, Ver. Lu hobi banget tidur, dah. Perasaan yang puasa gue." Setelah meletakkan tas, Yusuf duduk di ujung sofa tepat di samping kaki Verro berasa.

"Berisik, gue ngantuk anjir." Alih-alih bangun, Verro malah menggeser tubuhnya untuk mendapatkan posisi yang lebih nyaman.

"Lu tau? Si Mila, anak kepsek itu, dia pindah sekolah katanya. Tadi pamitan gitu di kelas." Yusuf menceritakan kondisi di sekolahan pada Verro yang matanya masih terpejam. "Pas gue tanya dia pindah ke mana, dia malah nangis. Cewek gitu, ya. Dulu lu pas pacaran sama dia gimana, sih? Apa yang lu suka dari dia?"

Mendengar pertanyaan itu Verro langsung membuka matanya tanpa basa-basi. Dia menggulirkan bola matanya seolah-olah memikirkan sesuatu. "Hmmm, gak tau, tuh."

Verro mulai bangkit dari tidurnya. Dia duduk di sofa seraya menggosok-gosok matanya, menguap sekali, dua kali seolah tidak terelakan. Remaja itu kemudian menoleh ke arah Yusuf. Ujung bibirnya terlihat bergetar, seakan-akan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Melihat itu, Yusuf hanya memperhatikan dengan saksama.

"Mau ngomong apa lu?" tanyanya kemudian.

"Eh, engga." Verro mengangkan kedua pundaknya secara singkat, kemudian memalingkan muka. "Suf, gue jadinya puasa hari ini," lanjutnya.

"Serius? Alhamdulillah." Yusuf tampak senang saat mendengar perkataan tersebut dari Verro. "Kebetulan gue juga mau bilang ini. Tadi si Reza sama Albert ngajakin bukber, gas ga, sih?"

"Albert? Lah, dia bukanya nonis?"

"Iya, nonis tapi Juz Ama' dia hapal bener." Yusuf terkekeh saat mengungkapkan fakta tersebut. "Tapi dia juga puasa kok. Katanya puasa paskah."

"Yaudah kalo gitu, gas aja." Verro menyetujui ajakan Yusuf diiringi acungan jempol dan senyuman datarnya.

"Nah, siplah. Gue kan jadi gak usah nyetir, soalnya ada sopir pribadi." Yusuf kemudian bangun dan berjalan menjinjing tas miliknya ke arah kamar.

"Sialan." Verro melemparkan satu bantal sofa ke arah Yusuf, tetapi remaja tersebut berhasil menghindar.

Rasa-rasanya hati Verro sudah agak membaik setelah dirinya akhirnya memutuskan untuk mengaji sebelum ketiduran tadi. Namun, meski Verro awalnya melakukan hal tersebut hanya untuk mengisi kekosongannya, itu ternyata berpengaruh signifikan terhadap perubahan suasana hati remaja tersebut.

Verro, masih masuk ke kategori remaja labil. Masa-masa seusia Verro adalah saat di mana para remaja mencari jati diri, mengembara mencari patokan atau pedoman hidup untuk dijadikan sebagai landasan kehidupan sesungguhnya di depan. Pengendalian emosi yang tidak stabil menjadi salah satu masalah besar di kalangan remaja juga. Namun, hal itu terbilang wajar atas segala alasan yang mendasarinya.

Berjam-jam berikutnya, Verro dan Yusuf justru sibuk memilih tempat mana yang akan mereka putuskan untuk buka puasa bersama kedua teman lainnya. Dalam kasus ini, Yusuf selalu berperan sebagai ATM berjalan, dia yang akan melakukan pemilihan tempat, reservasi tempat, dan bahkan tidak jarang Yusuf mentraktir makan teman-temannya.

"Suf, enak ya jadi lu. Semuanya bisa lu lakuin asal gak mager doang," ujar Verro tiba-tiba. Matanya masih terfokus ke laptop milik sahabatnya itu.

"Siapa yang bilang enak?" Yusuf yang semula asik menggulirkan layar ponselnya mendadak diam karena tersinggung.

"Ya lu, semua punya. Duit lu gak bakal pernah abis, mobil punya, apartemen elit punya, villa punya, banyaklah. Gak enak gimana lagi coba?" Seolah-olah apa yang diucapkan oleh Verro itu tidak menyakiti hati Yusuf, dia masih sibuk dengan kegiatannya.

Namun, tidak lama setelah itu satu pukulan telak mendarat di wajah Verro. Yusuf merasa geram atas perkataan yang dilontarkan oleh sahabatnya itu. Dia tidak pernah menyukai kalimat-kalimat menyinggung kehidupannya. Dengan apa yang sudah dikatakan oleh Verro, Yusuf merasa direndahkan.

"Agh, anjir. Lu kenapa mukul gue?" Verro yang tampak kesakitan pun langsung mengusap-usap pipinya.

"Pikirpake otak kecil lu, orang bego!"

[END] BOY ERASEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang