sembilan belas;

5.9K 492 63
                                    

Amanda memangku wajahnya dengan kedua telapak tangannya, membiarkan air matanya mengering dipipinya. Gadis itu masih saja terdiam tanpa mau berbicara. Ia duduk di meja belajarnya yang mengarah ke halaman belakang.

Dannis memperhatikan sahabatnya yang tampak lesu. Pikiran Amanda melayang ketika ia menelpon Sean. Tadinya, ia ingin mengajak Sean untuk menemaninya tapi, kerena Sean ada urusan dengan ayahnya, Amanda mengajak Dannis untuk menemaninya.

Sejak kapan ayah Sean memakai rok seperti itu?

Ah, mengingatnya membuat Amanda kesal sendiri.

"Gue jadi lupa ngambil minuman gue 'kan. Padahal udah bayar," ujar Dannis.

Amanda membalikkan tubuhnya menatap Dannis dengan bibir manyun "Minuman lo lebih penting dari gue ya?"

Amanda terkekeh geli mendengar candaan Dannis. Ia cukup terhibur dengan gombalannya. Sebut Amanda punya selerah humor receh, tapi, menurutnya itu lucu.

Suasana kembali hening. Dannis tahu, kalau sahabatnya itu butuh tempat curhat, jadi ia berjalan mendekati Amanda dan menunggu reaksinya.

"Gue bego ya? Langsung lari gitu aja tanpa mau denger penjelasan Sean?" ucap Amanda, ia melihat kebawah.

Dannis mendesah, padahal ia mengharapkan kalau Amanda mencaci maki Sean atau apalah karena kejadian tadi.

"Mungkin karena lo shock. Jadi, lo langsung lari gitu aja, gue ngerti kok." Dannis mengelus lembut rambut Amanda.

"Apa Sean udah bosen sama gue?"

Dannis duduk berhadapan dengan Amanda menatap sahabatnya penuh arti. "Nggak kok," padahal Dannis marah setengah mati ketika mengetahui Sean alasan dibalik mengapa Amanda menangis "Mungkin ... dia lelah."

Tapi, dalam urusan perasaan harus ada yang berkorban 'kan?

Suara gelak tawa Amanda memenuhi ruangan, matanya menyipit ketika tertawa bebas. Dannis ikut tertawa melihatnya, menikmati momen ini, yang ia tahu, tidak akan bertahan lama.

Suara pintu diketuk terdengar, membuat mereka berdua memberhentikan aktivitasnya. Amanda memberi kode kepada Dannis untuk menunggunya sebentar.

"Gue mau balik ke rumah,"

"Oh ya udah."

Setelah berpamitan, Dannis keluar dari rumah Amanda lewat pintu belakang. Dengan cepat, Amanda membuka pintu depannya.

"Amanda."

Bak disambar petir, Amanda terpaku melihat siapa yang berada di depannya. Sungguh, ia belum siap untuk bertemu dengan Sean sekarang.

Karena tak kuasa menahan air matanya yang keluar tiba-tiba, Amanda menunduk. Namun, sebuah tangan memegang dagunya, mengangkatnya supaya melihat matanya.

Sean tersenyum getir, Amanda juga melihat luka membiru diujung bibir cowok itu. "Ma--maaf."

Sean menatapnya teduh, membuat Amanda kembali terjatuh dalam pesonanya. Ia benar-benar menyayangi laki-laki dihadapannya ini.

"Shilla, dia punya masalah dan minta ketemu sama aku. Aku terpaksa bohong sama kamu dan nolak ajakan kamu, walaupun aku tau, aku pengen banget nemenin kamu."

Air mata lagi-lagi meluncur dipipi Amanda. Sean tulus, ia tau itu. Ia sendiri tidak bisa membohongi persaannya. Amanda menyukai Sean. Caranya tersenyum, caranya ketika ia menatapnya, cara Sean ketika menggenggam tangannya.

"Maaf."

Dengan pelan, Amanda mengangguk, hal itu membuat Sean tersenyum lega dan menghapus jarak diantara mereka berdua lalu mencium puncak kepala Amanda lama.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang