duapuluh delapan; bertemu masa lalu.

7.4K 487 8
                                    

Dannis berjalan ditengah teriknya matahari. Kota Jakarta seperti biasa; macet. Semua pekerjaannya di Indonesia sudah selesai. Jadi, besok ia kembali ke New York. Sebelum kembali ke New York, laki-laki itu memilih untuk berkeliling kota kelahirannya ini.

Dengan menggunakan kemeja yang digulung sampai lengannya dipadukan dengan celana jeans. Akhirnya, ia bisa memakai pakaian lain selain jas dan celanan berbahan dasar kain.

Dannis merasakan getaran di kantung celananya, menandakan ada yang menelponnya. Ketika melihat caller ID nya, ia mendesah. Atasannya. Pasti masalah pekerjaan. "Halo, selamat siang, Pak. Ya? ... meeting? Oh bisa, Pak. Nanti malam pukul tujuh. Siap, Pak."

Sambungan diputus. Dannis berdecak. Ah, kerjaan lagi, kerjaan lagi. Seharusnya ia bisa free malam ini.

Ia masih berjalan. Matanya mencari-cari kafe di kanan jalan. Sekarang, Dannis akan menemui gadis itu. Gadis yang sudah lama tak Dannis temui.

Apa ia sudah siap?

Ketika melihat nama kafe yang benar. Ia segera memasuki kafe itu. Pendingin ruangan langsung menyambutnya. Matanya mencari-cari sosok gadis itu.

Lalu, ia terdiam. Melihat seorang gadis duduk di dekat jendela sambil membaca novel yang berada ditangannya. Rasanya, nyali yang sedari tadi ia bangun, hancur juga.

Apa Dannis yakin?

Ririn.

Ririn masih menunduk membaca novelnya tanpa mengetahui kalau seseorang memperhatikannya. Wajahnya tidak jauh beda dari SMA dulu. Tetap manis.

Sesekali Ririn melirik jendela yang terletak tepat di sebelahnya lalu kembali mencoba fokus ke novelnya. Ia terlihat sama gugupnya dengan Dannis.

"Rin?"

Ririn tampak terkejut karena kedatangan Dannis yang tiba-tiba. Ririn tersenyum kecil dan mempersilahkan Dannis untuk duduk. Lalu pelayan datang mengantarkan satu cangkir kopi dan satu cangkir teh.

"Gue pesenin lo kopi. Gak apa-apa, 'kan?" tanya Ririn.

Dannis mengangguk kecil "Ya, kebetulan gue juga pengen kopi."

Terjadi keheningan diantara mereka. Dannis memainkan sendok kecil dijari-jarinya. "Gimana kabar lo dan keluarga?"

"Semuanya baik. Semenjak Ayah siuman, beliau jadi lebih sehat." Ririn memangku novelnya dengan canggung.  "Lo sendiri? Gimana New York?"

"Not that bad. Syukur, gue bisa beradaptasi dengan cepat."

Ririn mengangguk-angguk mengerti. Lalu kembali terdiam memikirkan hal apa yang harus ia bahas untuk dijadikan topik pembicaraan. Pikirannya melayang jauh ketika ia masih menjadi murid SMA. Semua kenangan pahit dan manis masih terekam jelas dibenaknya.

Begitu juga dengan Dannis.

"Amanda bener-bener kacau ketika lo pergi gitu aja ke New York, Dan." ujar Ririn tiba-tiba.

Dannis terkejut mendengarnya "Apa Sean bener--"

"Ya. Sean mutusin Amanda secara gak langsung di depan seluruh angkatan terus pergi gitu aja." perkataan Ririn membuat Dannis terdiam "Gue tau, alasan kenapa lo minta gue ke kafe ini. Lo mau memperbaiki semuanya yang telah lo rusak ... termasuk hubungan kita."

Dannis menatap Ririn "Terus, apa jawaban lo?"

"Gue gak bisa. Dengan kedatangan lo disini dan niat lo untuk memperbaiki semuanya, itu udah lebih cukup." ucap Ririn "Bibir lo mungkin bilang kalau lo minta gue untuk jadi pasangan lo lagi. Tapi, hati lo berkata yang lain, Dan."

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang