duapuluh tiga; Sean's plan.

5.5K 455 14
                                    

Ujian Nasional sudah selesai. Bunyi bel pulang berdering nyaring membuat semua siswa SMA kelas 12 bernapas lega. Mereka berhasil melewati semua dan hanya tinggal menunggu hasilnya saja. Dannis menghela napas lega karena ia selesai mengoreksi jawabannya di LJK tepat saat bel selesai.

Ia meregangkan badannya yang kaku karena sedari tadi ia diam saja sama seperti yang lainnya. Pengawas memperbolehkan murid-murid keluar kelas.

Dannis berjalan santai, ketika ia keluar kelas, suasana ramai terlihat, ada yang bahagia karena UN telah selesai, ada juga yang terlihat cemas sambil menanyakan apa jawaban temannya. Bagi Dannis, ia percaya apa yang ia kerjakan. Jadi, ia hanya tinggal menunggu hasilnya dan berdo'a.

Akhir-akhir ini pacarnya--Ririn terlihat menghidarinya hampir dua minggu ini. Apa ia segitu sibuknya dengan UN ini? Dannis mengedarkan pandangannya mencari sosok Ririn.

Agak susah karena banyak sekali murid-murid yang berlalu-lalang dan ada para gadis yang membuat suatu kelompok membicarakan tentang prom besok lusa malam ditengah koridor sehinga memblok jalan. Dannis memutuskan untuk menghampiri ruangan Ririn dan betul saja, ia menemukan perempuan itu sedang membaca buku pelajaran yang baru saja tadi diujikan.

Senyum Dannis mengembang karena menemukan Ririn. Tapi, sampai sekarang ia masih bingung kenapa Ririn menghindarinya? Apa cuma perasaan Dannis saja? Ah, tidak mungkin.

Pasti ada sesuatu yang Dannis tidak ketahui. Sesuatu yang Ririn sembunyikan.

"Rin?" sapa Dannis, ia duduk bersebelahan dengan Ririn. Ririn tampak terkejut melihat kedatangan Dannis, ia langsung menutup bukunya "Ngapain belajar lagi?"

Ririn tersenyum kecil--senyum dipaksakan "Ah, enggak kok. Cuma mastiin aja, tadi aku jawabnya salah gak."

Dannis mengangguk-angguk mengerti. Kenapa suasananya menjadi canggung? Kenapa tiba-tiba lidahnya kelu hanya untuk berbasa-basi atau melontarkan lelucon yang biasa ia lakukan?

"Gimana ... ujiannya?" akhirnya Ririn membuka suaranya memecah keheningan.

"Yah, lumayan,"

Terjadi kecanggungan lagi diantara mereka. Pasangan yang canggung. Keduanya sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. Memang benar, Ririn menghindari Dannis hampir dua minggu ini. Ririn hanya belum siap menemuinya setelah apa yang semuanya terjadi.

Ada perasaan tak enak didalam hatinya.

"Kenapa kamu menghindar dari aku?" ada perasaan lega didiri Dannis begitu pertanyaannya keluar.

Ririn menunduk "A-aku cuma bingung sama perasaan aku."

Dannis bergeming, kembali terhanyut kedalam pikirannya sendiri. Ia mengingat-ingat kesalahan apa yang telah ia perbuat kepada Ririn. Lalu ia menghela napas menatap Ririn yang masih menunduk.

"Aku minta maaf kalau aku--"

"Aku yang harusnya minta maaf, karena menghindar dari kamu tanpa ada alasan yang jelas--alasan yang kamu gak mengerti." potong Ririn.

Dannis mengusap kepala Ririn pelan lalu mengacak rambut gadis itu, membuatnya mendongak jengkel. Dannis memamerkan cengiran usilnya. Ini baru suasana yang mereka sukai--tidak canggung.

Jujur, mereka bedua sama-sama merindukan momen seperti ini.

"Ya udah, kalau gitu kita pulang yuk?" ajak Dannis seraya mengulurkan tangannya menunggu untuk digenggam Ririn.

Ririn tersenyum kecil, menerima uluran tangan Dannis dan menggenggamnya erat "Yuk."

*

Dannis menguap entah keberapa kalinya. Ia kesal, kenapa angkatannya yang jelas-jelas baru saja menyelesaikan ujian nasional kemarin harus wajib masuk sekarang? Walaupun itu untuk mengurus kepentingannya sendiri, tapi, kenapa tidak kapan-kapan saja?

Kayak nggak ada waktu aja.

Tidak seperti teman-temannya yang lain yang sepertinya menikmati masa-masa berakhirnya SMA. Dannis bosan. Sedari tadi ia hanya berdiam diri dikelasnya sambil sesekali memainkan ponselnya. Ia mengantuk, apa ke UKS saja untuk menumpang tidur? Lumayan.

Lagi-lagi Dannis mengurungkan niatnya untuk keluar dari kelas. Pendingin ruangan dan kursi yang ia duduki ini membuat ia menjadi malas gerak alias mager. Tapi ada satu hal yang tidak bisa Dannis tolak dari kemagerannya; panggilan alam.

Pipis.

Yah.

Mungkin pendingin ruangan dan minum kebanyakan membuat ia menjadi kebelet pipis. Yah, kenapa kita bahas?

Dengan malas, Dannis beranjak dari duduknya menuju toilet laki-laki yang sepi. Dengan segera ia melakukan kegiatannya, setelahnya ia menuju wastafel mencuci tangan dan wajahnya supaya ia tidak mengantuk lagi.

Suara derap langkah dan tawa keras tertedengar familiar ditelinga Dannis, membuat cowok itu masih terus menunduk berpura-pura sibuk dengan wajah dan tangannya diwastfel. Itu suara Sean dan Dion memasuki toilet laki-laki.

Mereka mengobrol sesuatu yang menurut Dannis tidak penting dan sesekali tertawa.

"Jadi, besok prom. Rencana lo udah bener belom?" tanya Dion kepada Sean

'Rencana? Rencana apa?' Dannis bertanya-tanya dalam hatinya. Sebenarnya apa yang Sean rencanakan?

Terdengar suara tawa Sean meremehkan, Dannis yakin, ada senyum miring menyebalkan dibibir Sean kali ini "Gue udah ajak Amanda. Tinggal mainnya aja, bro. Lo bakal kalah telak."

Dannis menegang begitu mendengar nama Amanda disebut. Sebenarnya ada apa ini?
Rencana-Amanda-main-kalah. Apa ini?

Dannis mengepalkan tangannya menahan amarahnya. Mereka merencanakan sesuatu kepada Amanda--suatu yang buruk pastinya dan Dannis tidak akan membiarkan itu terjadi, tidak akan pernah.

Dannis berbalik menatap tajam Sean yang kaget melihatnya dan langsung melayangkan tinjuannya kepada rahang Sean, kali ini tidak hanya satu kali tapi berkali-kali diwajah Sean. Dion sama terkejutnya melihat Dannis yang tiba-tiba menonjok Sean dengan keras.

Dannis mencengkram kerah seragam Sean. Ia betul-betul emosi sekarang dan berusaha mengontrolnya supaya ia tidak keterusan "Apa yang lo rencanain ke Amanda?! Hah?!"

Senyum miring tersungging dibibir Sean walaupun ujung bibirnya robek, dan bagian wajah lainnya memar akibat pukulan Dannis. Ia hanya terlalu kaget melihat Dannis yang tiba-tiba muncul jadi ia tidak sempat mengambil ancang-ancang.

Sean mendengus masih dengan senyum miringnya yang membuat Dannis mencengkram kerah seragam Sean lebih kuat lagi "Gak penting."

Dengan kasar, Dannis mendorong kuat Sean sehingga cowok itu membentur dinding toilet. Dannis mengacak rambutnya frustasi "Kalau sampai ada sesuatu yang buruk terjadi dengan Amanda, gue nggak bakal maafin lo, Yan! Gak bakal! Gue bakal bilang ini ke Amanda."

Sean terkekeh bergantian menatap Dannis remeh, ingin sekali Dannis menghabisi nyawa cowok itu "Coba sekarang lo pikir, dia bakal lebih percaya gue atau lo? Since, dia udah jadi pacar gue dan dia masuk keperangkap gue,"

Dannis hampir saja melayangkan tinjuannya kembali ke rahang Sean kalau saja Dion tidak menahannya "BRENGSEK!"

A/N: Halo

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang