duapuluh dua;

5K 448 18
                                    

Amanda meringis melihat tatapan tajam Dannis, belum lagi kakinya yang rasanya seperti patah. Salahnya memang karena tak berhati-hati menuruni tangga tadi. Sean yang melihat keadaan awkward diantara dua orang itu hanya tersenyum kaku--tidak mengerti.

Ibu Dannis sedang berbicara pada dokter yang menangani Amanda tadi. Tangan Ibu Dannis sudah terpenuhi oleh bekas cakaran dan genggaman yang Dannis tau pasti sangat kencang karena sampai membekas seperti itu.

Tadi, Amanda dipijat kakinya. Itu yang mambuat ia daritadi menjerit kencang dan Ibu Dannis menjadi korban nya. Untung Dannis dan Sean berada diluar.

"Lo ngeliatin gue udah kayak macan ngeliatin daging. Gue juga gak mau jatuh dari rumah pohon kali, Dan." ujar Amanda ketika melihat tatapan tajam Dannis kepadanya.

"Tapi ini udah kedua kalinya lo jatuh kayak gini. Demen banget jatuh," jawab Dannis "Nanggung rumah pohon doang. Sekali-sekali lo ke Monas sana, mantep tuh kalau jatuh, biar lo puas." lanjutnya dengan sarkastik

Amanda melotot "DANNIS!"

"Gue beli popcorn aja kali ya? Seru." ucap Sean.

Dannis memutar kedua bola matanya "Lucu lo, haha."

Sean menggidikkan bahunya sedangkan Amanda menatap nanar kakinya. Bagaimana ia bisa berjalan kalau disentuh saja sakit? Masa ia harus izin sekolah karena ini, ia bakal ketinggalan banyak materi, mengingat sebentar lagu ujian nasional diadakan.

Ibu Dannis memasuki ruangan "Amanda, Mama kamu lagi on the way. Amanda nggak boleh bolos sekolah ya, harus tetap masuk. 'Kan sebentar lagi mau UN. Biar Dannis yang jagain sama bantuin kamu di sekolah." ujar Ibu Dannis, lalu ia teringat sesuatu "Eh, salah. Sean deng." lanjut Ibu Dannis sambil tertawa kecil menatap Dannis.

Dannis mendengus, Ibunya ini pasti mengejeknya. Ibunya--Anna menatap Dannis menggoda. Sedangkan Sean menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal dengan canggung.

Singkatnya, Sean salah tingkah. Oh, betapa menggemaskannya Sean dimata Amanda kali ini.

"Oh iya, Amanda, besok pulang sekolah, kamu masih harus diurut." ucap Ibu Dannis.

Amanda menghela napas, besok mungkin bisa menjadi hari terburuknya.

Dannis memperhatikan Amanda dan Sean yang sedang mengobrol sambil sesekali tertawa di dalam ruangan Amanda. Betapa inginnya Dannis berada diposisi Sean sekarang.

Menjaga dan memastikan kalau Amanda baik-baik saja.

Sementara itu, Ririn bangun dari pingsannya. Rasa lapar menyerangnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ini bukan di depan kafe coffee corner atau pun rumah sakit.

Ini kamarnya.

Yang ia tahu adalah ada seseorang yang menahannya ketika ia pingsan. Ririn menatap pakaiannya yang sudah diganti. Lalu matanya terpaku kepada selembar kertas diatas nakas.

Maag, banyak pikiran, laper, flu, dan kedinginan sehingga lo mimisan.

Lain kali, jaga diri baik-baik ya, jangan bikin orang khawatir.

-D

Tiba-tiba perasaan hangat menjalar didadanya. D? Dannis? Apa ia yang membawanya kesini? Rasanya, Ririn senang sekali mengetahui ini. Jadi, ia mengambil kertas itu dan menyimpannya di laci.

Karena perasaan lapar ia turun ke bawah dan bertemu dengan ibunya. Hari ini, ia tidak sekolah. Yah, alasannya kalian sudah tahu.

"Udah bangun ternyata. Makan dulu, Bunda udah bikin soup jagung, kamu suka, 'kan?" ucap Ibunya dengan ramah.

Ririn mengangguk kecil, ia masih lemas "Ya," tangannya bergerak mengambil mug bergambar panda favoritenya dan mengisinya dengan air minum.

"Nih." dengan satu mangkok soup jagung, ibunya memberikan kepada anaknya dengan tulus. Membiarkan Ririn mulai melahap masakannya. "Kan kemarin udah Bunda suruh kamu untuk makan."

"Maaf, Bun. Aku gak sempet,"

"Jangan bikin orang khawatir, Ririn."

Ririn mengangguk patuh "Bun, siapa yang nganter Ririn kemarin?"

Ibunya tampak mengingat sesuatu "Aduh, lupa lagi namanya. Bunda terlalu panik pas liat dia masuk sambil bawa kamu yang pingsan. Hmm, bentar."

Senyum Ririn mengembang penasaran "Siapa?"

"Devan! Iya, Devan."

Senyum Ririn luntur. Bukan Dannis. Lagi pula bagaimana ia bisa begitu bodoh, berpikir kalau Dannis yang menolongnya. Ia 'kan tahu sendiri, kalau Dannis sedang berada di rumah sakit mengurus Amanda.

"Oh."

Bahkan, sekarang Dannis tidak menanyakan kenapa ia tidak masuk hari ini.

*

Dannis berjalan santai di koridor yang menuju perpustakaan. Cukup sepi di sini. Hanya ada beberapa anak yang berlalu lalang. Ia ingin ke perpustakaan. Walaupun sekarang jam istirahat sudah habis, ia berniat untuk membolos satu jam pelajaran.

Udara dingin langsung menyambut Dannis begitu memasuki perpustakaan. Ia langsung mencari tempat duduk kosong di dekat rak buku paling belakang.

bayuadityaa@yahoo.com:

Gimana lo udah siap untuk ke New York? Pokoknya lo harus belajar, jangan bolos terus. Kalau nem lo bagus gue bakal traktir lo di restoran enak di New York. Seperti yang gue bilang dan gue lakukan dulu, selesai UN dan segala macem tetek bengek nya lo harus langsung ke New York karena gue ogah ngurusin lo.

Salam Abang lo yang lebih ganteng,
Bayu.

Dannis menyenderkan badannya di kursi. Menatap langit-langit perpustakaan. Apa ia yakin dengan keputusannya? Melanjutkan sekolahnya di New York? Apa itu berarti ia harus meninggalkan semuanya disini?

Meninggalkan Ririn dan Amanda?

A/N: Mungkin sebentar lagi mulai konflik besar dan ending.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang