Bab 16

1.9K 212 1
                                    

Mature Scene 21+

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca duluan dan lebih lengkap bisa di Karyakarsa ya, sudah tamat dan update sampai extraparts ya. Epilog dan EP sudah diupdate. Mengandung adegan 21+

 Mengandung adegan 21+

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Luv,

Carmen

_______________________________________________________________________

"Bangun."

Aku mendengar suara yang seksi dan serak itu yang tengah berbisik di telingaku. Lalu aku merasakan dagu kasarnya menggesek kulitku saat pria itu menciumiku dari telinga, turun ke pelipis lalu leherku. Aku berpura-pura tidur tapi saat merasakan mulut pria itu melekat di puncak dadaku, aku mendesah. Bibir panas pria itu kemudian berpindah, terus turun menciumi tubuhku hingga mencapai kewanitaanku. Aku melenguh nikmat lalu mulai membuka mata. 

"Oh Dale..."

"Ohh!"

"Mmm... Kau sudah bangun?" tanyanya padaku.

"Ya."

Aku terkikik kecil saat dia tiba-tiba memanjat naik dan dengan cepat menciumi bibirku. Dale langsung menempatkan dirinya di tengah tubuhku, seolah bersiap untuk bercinta lagi.

"Dale!" erangku memprotes. "Tubuhku sakit dan tegang."

"Well, Little Dale juga tegang," ujarnya dan mataku langsung turun untuk melihat kejantanannya yang keras itu.

"Little Dale... nickname for your.... thing Dale?" godaku.

"Jangan memanggilnya begitu. He is not a thing. Dia juga punya perasaan."

Aku tertawa sementara pria itu menyengir lebar.

Setelahnya dia kembali menciumi rahangku dan turun ke leher dan tak lama, tangannya sudah mengusap dan membelai bagian di antara kedua kakiku.

"Tunggu... tunggu sebentar, Casanova," ujarku sambil menahan tangannya yang berada di tubuh bawahku. "Otot-ototku masih tegang."

"Kau tidak perlu melakukan apapun, Sweetheart. Kau berbaring saja, biar aku yang melakukan sisanya," godanya.

Aku senang mendengar sebutan manis yang ditujukannya padaku. Aku tak mampu menolaknya dan menyerah pada gairahku untuk bersama dengannya. Pria itu melakukan hal tak terduga, dia mencengkeram lembut kakiku lalu mulai memijat keduanya. Saat tubuhku mulai terasa santai dan nyaman, dia membawa kakiku ke bahu-bahunya. Otot-otot kakiku terasa diregangkan dengan cara yang tidak biasa sementara pria itu kembali menempatkan dirinya di antara kedua pahaku.

"Kau merasa tegang?" tanyanya kemudian.

"Tidak, anehnya tidak," jawabku sambil tersenyum.

Ketegangan dan rasa sakit yang tadi kurasakan kini menghilang dan tubuhku benar-benar terasa santai. Tangan pria itu lalu mulai mengusap pinggul lalu pahaku. Dan setelah memijatku beberapa lama, Dale kemudia dengan pelan kembali memasukiku.

"Apa yang kau rasakan, Lana?" tanya pria itu sementara dia bergerak dengan ahli di dalam diriku.

"Oh... rasanya... menyenangkan," erangku.

"You feel damn good too, Lana!" gerung pria itu lalu mulai bergerak.

"Dale, please!" Aku menjerit, memohon padanya. Aku begitu dekat... rasanya begitu dekat, aku hampir meraihnya. "Please!"

Pria itu menghunjam sekali lagi ke dalam diriku dan kami berdua mencapai klimaks.

"Dale!" erangku lagi sambil menikmati sisa-sisa kejut gairah yang masih menyebar di tubuhku. Lalu dengan pelan pria itu menurunkan kakiku dan berguling turun ke samping ranjang. Dia lalu meraihku dalam pelukannya dan menciumku kuat.

Aku nyaris tidak punya waktu untuk beristirahat setelah kegiatan yang menguras tenaga itu karena saat aku melirik jam, ternyata sudah hampir pukul delapan. Dan aku ada jadwal kelas jam sepuluh pagi ini. Aku harus segera mandi dan bersiap lalu pria itu harus mengantarku pulang agar aku bisa mengambil mobilku. Aku tahu Dale pasti menginginkan ronde kedua tapi aku tidak bisa, jadi aku bergegas menjauh darinya dan buru-buru bangkit.

"Kembali ke tempat tidur, Miss Hope," tuntutnya. Pria itu dengan cepat mencengkeram lenganku dan mencoba menarikku kembali ke ranjang.

"Maaf, Profesor Eckert, aku punya jadwal kelas jam sepuluh nanti. Tapi kau boleh bergabung denganku di kamar mandi," ucapku sambil mengedip pelan padanya.

Pria itu dengan cepat menerima tawaranku. Tanpa basa-basi dia membopong dan membawaku ke kamar mandi. Tentu saja kami menghabiskan beberapa menit lagi untuk saling memuaskan dengan tangan kami sebelum memulai kegiatan mandi bersama.

Pria itu selesai mandi terlebih dulu dan bertanya apakah aku menginginkan sesuatu untuk sarapan. Setelah pria itu keluar, aku meneruskan kegiatan mandi hingga selesai. Sebenarnya di dalam pikiranku, aku masih tidak percaya bahwa Dale Eckert, profesorku, kini adalah kekasihku. Kekasih, benar bukan? Maksudku, hanya itu istilah yang bisa terpikirkan olehku untuk menggambarkannya. Tapi aku tidak tahu apakah dia memiliki pikiran yang sama. Bolehkah aku meminta kesetiaan darinya? Akankah dia meminta hal itu dariku? Apakah kami boleh pergi berkencan di luar kamar dan juga ranjang? Aku tidak tahu...

Aku keluar dari ruang shower lalu dengan cepat mengeringkan diriku. Saat aku berdiri di depan wastafel, aku melihat pria itu sudah menyusun alat perlengkapan mandi yang kubawa ke rak. Aku meraih sisir dan mulai menyisir rambutku dan mengikatnya menjadi ponytail sebelum menggosok gigiku.

Saat kembali ke kamar tidur, aku dengan cepat mengambil pakaian kami yang berserakan di lantai lalu melihatnya dan meletakkannya di atas kursi. Setelahnya aku mencari pakaian yang kubawa dan menemukannya telah tergantung di dalam lemari. Aku dengan cepat mengenakan gaun sweater biru navy yang kubawa lalu sepatu bertumit datar yang senada. Begitu selesai, aku menuju ranjang untuk merapikan seprai dan bantal.

Saat membersihkan tempat tidur, aku tak sengaja menemukan secarik kertas di lantai. Aku memungut dan membacanya. Rupanya sederet nomor ponsel dari seorang wanita bernama Jenny Owen. Aku ingat wanita itu, jika ini adalah Jenny Owen yang sama, mahasiswi satu tingkat di bawahku yang terkenal sebagai jalang kampus, sinisku dalam hati. Kertas itu pasti jatuh dari saku celana Dale saat aku membereskan pakaiannya. Aku dengan cepat berjalan mendekat dan memasukkan lagi kertas itu ke dalam saku celananya walaupun sebenarnya, yang kuinginkan adalah merobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Saat aku hampir berbalik menjauh, mataku tak sengaja jatuh pada sebuah pigura foto di sudut mejanya. Foto keluarga, yang menampilkan ibunya, ayahnya, Dale, kakak lelaki dan perempuannya beserta mungkin ipar-iparnya.

"Itu adalah foto keluargaku."

Suara pria itu di belakangmu membuatku sedikit terkejut dan aku berbalik menatapnya.

"Kalian semua tampak bahagia," komentarku kemudian.

"Ya, saat mengambil foto itu, kami memang bahagia," ucapnya.

Ucapannya membuatku bertanya-tanya, apakah kini mereka tidak bahagia? Tapi pria itu sepertinya tidak ingin lanjut menjelaskan jadi aku juga tidak bertanya. Jika dia memang ingin bercerita lebih banyak, dia pasti akan melakukannya tanpa perlu ditanya.

"Apa itu Afrika?" tebakku saat melihat latar belakang foto tersebut.

"Ya, benar," jawab pria itu sambil tersenyum.

"Wow, cool."

"Kulihat kau membersihkan kamar, kau tak perlu melakukannya, nanti akan ada yang datang membersihkan tempatku," ujarnya sambil tersenyum.

"Aku tidak tahan melihat kamar yang berantakan," akuku.

Dia terkekeh sambil meraih tanganku dan membawaku ke dapur. Pria itu rupanya sudah menyiapkan roti panggang, beserta buah-buahan dan juga kopi panas beserta jus orange. Dia menarik kursi untukku. Begitu duduk, aku mulai mengambil roti panggang dan mencomot potongan buah kiwi segar.

Scandalous Love with Professor - Skandal Cinta dengan Sang ProfesorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang