Bab 4

3.4K 235 3
                                    

Happy reading, semoga suka.

Yang mau baca duluan, bisa ke Karyakarsa ya. Bab 19-21 sudah update, mengandung adegan 21+ ya.

 Bab 19-21 sudah update, mengandung adegan 21+ ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Luv,

Carmen

_______________________________________________________________________

Saat aku bangun keesokan harinya, kepalaku sakit dan badanku lelah karena kurang tidur. Aku memimpikan Profesor Eckert sepanjang malam tapi aku kemudian sampai pada satu kesimpulan – pria itu tidak tertarik padaku dan aku juga tidak benar-benar ingin dia tertarik padaku. Puas dengan kesimpulan tersebut, aku kemudian bangkit dari ranjang dan masuk ke kamar mandi.

Tapi tetap saja, aku banyak melamun ketika menyelesaikan ritual pagiku. Saat sedang mandi, aku memikirkan pria itu. Aku membayangkan kulit kecokelatannya yang kencang di bawah pancuran ini bersamaku. Lalu imajinasiku menjadi semakin liar sehingga aku memarahi diriku sendiri. Yang benar saja, buat apa aku membuang-buang waktuku di sini dengan memikirkan seseorang yang tidak seharusnya aku inginkan?! Bukan hanya waktu, aku juga membuang-buang bergalon-galon air. Sial! Aku dengan cepat mematikan keran pancuran dan keluar dari ruang pancuran. Meraih handuk, aku melilitkannya ke tubuhku lalu melanjutkan rutinitas pagiku – menggosok gigi, menyisir rambutku dan mengenakan sedikit riasan wajah ke wajahku.

Aku keluar dari kamar mandi dan mulai mencari pakaian yang cocok untuk kukenakan. Aku menjatuhkan pilhan pada gaun sweater abu-abu karena udara masih dingin, dipadu dengan sepasang bot hitam. Selesai berpakaian, aku pergi ke dapur dan memeriksa kulkasku untuk membuat daftar barang-barang belanjaan yang harus direstok. Jika selesai sarapan masih ada waktu, aku mungkin bisa singgah untuk berbelanja sebelum kelas jam 10 pagiku dimulai.

Setelah semuanya selesai, aku keluar dari unit kondoku dan mengunci pintu di belakangku. Aku nyaris melangkah ke elevator sebelum menghentikan langkahku. Aku teringat pada Caleb, pria yang selama ini selalu menguntitku. Pria itu tinggal dua lantai di atasku, berusia sekitar 4o tahun, paling tidak, dan tidak pernah berhenti mengajakku untuk minum kopi bersama setiap paginya. Terkadang, dia bahkan mengajakku untuk makan malam bersama atau sekadar minum-minum di tempatnya. Hanya karena aku pernah membantunya mengangkat beberapa kotak pindahan ketika dia baru pindah ke sini, pria itu berasumsi bahwa aku tertarik padanya.

Aku lalu memutuskan untuk menggunakan tangga darurat yang akan membawaku langsung ke parkiran daripada mengambil resiko harus bertemu dengan pria itu. Aku akhirnya mencapai lantai dasar dan kemudian mendorong pintu yang mengarah ke parkiran bawah. Dan detik ketika aku membukanya, pintu membuatku terkejut setengah mati.

"Oh, Ya Tuhan! Kau membuatku terkejut!" seruku keras.

Dia memberiku senyum yang menaikkan bulu romaku dan aku ingin sekali melangkah mundur menjauhi pria itu.

"Maaf," ucapnya sambil terkekeh.

"Ya, tidak apa-apa," balasku.

"Aku pikir kau mengubah jadwalmu atau mungkin kau sakit karena aku tidak pernah lagi bertemu denganmu di elevator."

"Ya, aku... kuliahku sudah kembali mulai jadi aku... uh... sedikit sibuk," jelasku.

Mengapa aku tidak bisa berkata tegas saja dan memberitahu pria itu bahwa semua ini bukan urusannya, omelku pada diriku sendiri. Tapi aku tahu bahwa aku terlalu baik untuk mengatakan hal-hal sekasar itu.

"Aku kemudian melihat kau menggunakan tangga, jadi akhir-akhir ini aku juga melakukan hal yang sama."

Sial! Pria ini benar-benar menjijikkan!

"Oh... um... ya, bagus untuk kardio," jawabku kemudian.

Pria benar-benar penguntit. Atau karena dia berpikir aku tidak pernah membawa seorang pria pulang, jadi dia menyimpulkan bahwa aku kesepian? Oke, bisa jadi aku kesepian, tapi tetap saja aku belum seputus asa itu sehingga berpikir untuk menerimanya.

"Well, if you like some real cardio... I can recommend some... like my local gym..."

Aku menahan diri agar tidak muntah begitu aku mengerti apa yang sedang dikatakannya. Apa pria itu benar-benar waras? Berusaha mengontrol diriku sendiri, aku kemudian mengeluarkan tawa pelan seakan-akan aku tidak mengerti maksud tersirat.

"Oh... kampusku juga memiliki gym," ujarku cepat. "Omong-omong, aku harus segera pergi, kelasku akan segera dimulai, sampai jumpa, Caleb."

Aku bergerak melewatinya tapi pria itu kemudian menahan lenganku. Telapaknya yang basah membuatku berjengit.

"A... apa?"

"Oh... aku... ada yang ingin kutanyakan... aku punya dua tiket opera untuk besok malam dan... siapa tahu kau ingin pergi denganku?"

No way!

"Maaf, Caleb, aku juga punya jadwal kelas di malam hari. Belum lagi tugas-tugas yang harus kukerjakan," tolakku halus.

Aku baru berusia 22 dan pria itu 40an, apa yang dia pikirkan? Bagaimana mungkin dia berpikir bahwa aku akan tertarik padanya? Pria itu mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari ayahku. Ew... gross! Aku bahkan tidak ingin membayangkan kemungkinannya!

"Oh, tidak apa-apa, Alanis," ujarnya lalu melepaskan lenganku. Aku diam-diam menghela napas lega. "Mungkin... mungkin kita bisa melakukan kegiatan lain saat kau senggang nanti. Mungkin minggu depan?"

"Ya, I'll see," ujarku. "Aku benar-benar harus pergi sekarang."

Aku lalu berjalan cepat melewatinya dan menuju ke mobilku. Saat aku menekan pedal gas dan melaju pergi, kulihat pria itu masih berdiri di sana menatap mobilku. Apa pria itu tidak juga mengerti semua penolakan halusku selama ini?

Aku tiba di tempat Claire tepat jam 8 dan kali ini, sahabatku itu tidak terlambat. Dia langsung duduk di sebelahku dan mengernyit saat mendengarkan musik klasik yang mengalun di dalam mobil.

"Excuse me?" Alis sempurnanya langsung naik.

"Apa?" Walaupun sebenarnya aku tahu apa yang maksudnya.

"Bukankah aku sudah bilang kalau musik jenis ini sangat membosankan?" protesnya.

"Tidak membosankan sama sekali," tepisku.

"Ini jenis musik yang bisa membuatmu tidur dalam sekejap. Membosankan. Mainkan sesuatu yang cepat dan seksi."

Aku memutar bola mataku dan mulai mencari stasiun radio populer yang memainkan lagu yang cocok dengan selera sahabatku yang satu ini.

Saat musik cepat berdentum, Claire langsung menyeringai senang.

"Nah, begitu dong," ucapnya puas. "Aku sedang mencoba membuatmu menikmati hidup. Inilah saatnya... tahun terakhir kita di kampus, saatnya kau bersenang-senang. Kau tidak bisa terus begini, Alanis. Saatnya kau melihat dan menikmati dunia luar, berpesta, have a little wild adventure... seperti misalnya, tidur dengan pria paling tampan dan panas yang pernah kau temui."

"Oh come on, Claire!"

Dan kalimat kesalku hanya disambut dengan tawa Claire.

Scandalous Love with Professor - Skandal Cinta dengan Sang ProfesorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang