08 ;

30 6 1
                                    






"Kemana sih, cepet banget ilang"

Rin terhenti tepat di ujung koridor di lantai dua yang sepi, di depannya terpampang jalan raya dan sebuah pohon mangga yang menjulang tinggi sampai daunnya menyentuh palang besi penghalangnya. Lantai yang Rin pijaki sekarang terasa sangat lembab karena cahaya masuk kurang terekspos akibat daunnya yang sangat lebat. Putung rokok bertebaran di pojokan dinding.

Gedung ini lumayan jauh dari gedung utama, dan gedung kelas, tentu saja tidak ada aktivitas siswa dekat sini. Lantai lorongnya sedikit berdebu karena jarang disapu. Sementara sisi, Kanan, kirinya gudang dan arsip sekolah yang pintunya di gembok mati, lampunya juga kelap-kelip sesekali karena usang.

Sesuatu sangat mengganjal di pikiran Rin, satu pertanyaan, kenapa Bu Rianti tidak memberikan dia hukuman yang sama dengan Ken. Dia dilepaskan begitu saja meski wajahnya sudah bonyok dan tentu saja menolak mentah-mentah untuk di obati. Rin sampai berpikir kalau Bas sepertinya anak sultan yang entah berasal dari mana, kalau dilihat dari tindakannya berhasil mengalahkan Ken si anak tunggal donatur sekolah.

Rin mengedarkan pandang berusaha mencari, tapi tempat ini terlalu sunyi untuk sekedar orang lewat. Rin menengok ke kiri dan kanan sebelum Rin tersentak bukan kepalang saat menoleh ke arah belakang. Seorang laki-laki tengah menatapnya datar.

"Ngapain lo disini?"

Laki-laki itu menatapnya seolah mempertanyakan sesuatu.

Rin gelagapan bukan main.

"Gu—gue mau ke kelas"

Laki-laki itu terlihat tidak percaya. "Lewat sini? nggak salah?"

"Y-ya kenapa, bisa kan?"

Laki-laki itu adalah Bas.

Dia mengangkat sebelah alisnya heran. "Kenapa lo milih ngabisin waktu sepuluh menit muterin gedung ini buat sampai ke kelas lo?"

"Ya gapapa gue pengin aja"

Bas tampak malas. "Lo pikir gue bakal langsung percaya?"

Rin menghembuskan napasnya kasar.

"Gue nggak butuh lo percaya atau enggak"

"Sebenarnya lo orang pertama yang bilang mau ke kelas tapi malah lewat sini" Laki-laki itu meloloskan tawa kecil dari kerongkongannya "dan menurut gue itu aneh"

Dan Rin merasa tidak terima dengan pernyataan itu. Padahal kata itu mungkin tidak di lafalkan untuk menyingggungnya.

"Gue juga siswa disini, dan ini masih wilayah sekolah, jadi mau mau gue dong mau lewat mana"

"Lo ngikutin gue!" Tebaknya seketika.

"Enggak"

"Di depan lo sekarang jalan buntu" Katanya menekan. "kalau alasan lo mau lompat ke bawah gue bakal percaya, tapi gue yakin lo nggak akan ngelakuin itu, sekarang apa alibi lo?"

Rin membuka mulut, sebelum menutupnya kembali. Skak mat!

"Apa yang sebegitu menariknya, sampai lo ngikutin gue?"

Rin menghembuskan napasnya kesal. "Gue udah bilang gue mau ke kelas"

"Dan gue udah bilang gue nggak percaya"

Sumpah rasanya Rin ingin menghilang saja dari sini. Dia tetap ngotot dan tidak menerima alasan apapun kecuali mengakui kalau Rin benar mengikutinya. Ya meskipun itu adalah fakta. Tapi gengsi dong mau ngaku.

Laki-laki itu melangkah mendekat. "Pertanyaan gue dari awal cuma nanya kenapa lo disini, dan lo masih berusaha ngelak walau udah ketahuan?"

Rin refleks mundur selangkah. Pasrah, dia sudah tersudut sejak awal. "Iya iyaa... gue penasaran dan ngikutin lo!"

Zero Attention Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang