00 ; Pemanasan

47 12 0
                                    



Kamar no. 223

Rianti baru saja membuka pintu sebelum ia melihat seseorang tengah duduk di samping ranjang putrinya. Balutan seragam sekolah dan almamater marun masih membungkus rapi tubuhnya, namun kerutan di bawah matanya menunjukan kalau ia belum tidur dari semalam.

Kedua tangannya menangkup tangan kanan milik gadis yang sedang lelap di atas ranjang.

  "Ken?" Panggil Rianti. Dia Kenzo Wijaya, bahkan tubuhnya tidak bergeming sedikitpun saat suara Rianti memanggilnya.

Kalau boleh jujur Rianti sudah sangat muak. Namun koneksinya yang menjulang tinggi menjadikannya harus bisa sedikit lebih bersabar lagi, lima puluh persen dana Guna Bangsa. Jadi tidak ada salahnya untuk bersikap sedikit lunak kepada putranya.

Gunawan Wijaya salah satu donatur terbesar di SMA Guna Bangsa tempat Ken bersekolah, koneksinya yang cukup berpengaruh menjadikan Ken bebas meminta apa saja yang berhubungan dengan sekolah. Tapi itu tidak cukup untuk menentang Bu Rianti. Cukup jelas alasan wanita itu bisa terus aman sampai saat ini adalah keberadaan direktur yang sangat melindunginya. Yang gosipnya menjadi selingkuhan kepala sekolah itu, tidak ada yang tahu kebenarannya. Allahua'lam.

"Ken?" Panggil Rianti sekali lagi. "Sebaiknya kamu pulang dan istirahat dulu biar saya yang menjaga Rin" Tangannya mengambil satu jarum suntik di dalam tas jinjing coklatnya.

"Ibu kamana kemarin?" Rianti memejamkan matanya sebentar sebelum tatapannya teralih pada Ken.  Berdebat dengan putra donatur ini harus membutuhkan banyak tenaga.

"Saya sibuk Ken, banyak urusan" Ucapnya terjeda. "Lebih baik kamu pulang dulu papa kamu sudah menelepon saya sejak subuh tadi" Fokusnya tidak teralihkan, tangannya telaten menusukan jarum suntik ke dalam botol bening berukuran 50ml.

"Keputusan direktur jadiin bu Rianti kepala sekolah itu memang salah"

"Itu bukan urusan kamu Ken" Sahut Rianti santai. "Saya akui kamu memiliki koneksi di sekolah, dijadikannya saya kepala sekolah atau tidak, itu bukan kamu yang menentukan"

"Bukan urusan ibu juga kalo murid ibu di culik waktu jam sekolah berlangsung?" Harlik Ken.

Nyatanya seketat apapun penjagaan di SMA Guna Bangsa itu tidak melepas kemungkinan untuk terjadinya tindak kejahatan seperti ini terjadi. Seharusnya Ken memberi tau Papanya untuk memberikan double perlindungan di sekolahnya terutama kepadanya dan Rin agar tidak terjadi hal seperti ini. Atau melaporkan wanita itu kepada direktur jika kerjanya tidak becus.

"Kejadiannya di luar sekolah Ken, lagi pula saya tidak mengizinkan murid saya untuk keluar lingkungan saat jam sekolah berlangsung bukan?" Sahut Rianti mengedikan bahu. "Jadi siapa yang salah disini?"

Sial. Wanita yang masih menggunakan Rok span selutut itu berjalan lima langkah sebelum akhirnya tubuhnya berhenti sekitar jarak satu meter dari Ken. "Saya sudah membuat aturan tapi anak-anak itu melanggarnya jadi itu di luar kendali saya" Ucapnya mengelus rambut ken lembut.

"Rin anak kandung ibu"

"Saya tau" Jawabnya cepat. "Kamu tidak perlu mengingatkan saya soal itu"

Wanita itu mendekat ke arah infus yang terhubung ke tangan kanan Rin, tangannya dengan lembut menusukan jarum yang berusi cairan bening ke dalam selang infusnya.

Wajah Ken memerah, kali ini ia sudah benar-benar marah, seakan Rin itu adalah benalu di dalam hidup Rianti bahkan di sekolah sangat jarang Rin berinteraksi dengan kepala sekolah itu, entah hubungannya baik baik saja atau memang sengaja di sembunyikan agar terlihat professional dalam bekerja.

"Jadi, kenapa? kenapa kasus seperti ini bisa terjadi lagi?" Jeda Ken sebentar. "Kenapa nama Rin ada lagi disana sebagai korban selanjutnya?"

"Dari mana kamu tau nama Rin ada di daftar selanjutnya?"

"Saya tau semuanya, ibu tidak usah berlagak tidak tahu saya!"

Rianti nampak acuh mengedarkannya. "Dua bulan yang lalu bukankah kamu beserta orang suruhan kamu sudah membereskannya Ken? Jadi kenapa kamu menanyakan itu ke saya?"

Tersenyum sekilas laki-laki itu menjawab santai. "Tapi saya curiga kalau kalau ibu ada hubungannya dengan masalah ini"

"Maksud kamu?" Rianti memiringkan kepalanya hingga rambutnya sedikit menyamping. "saya yang menculik putri saya sendiri? begitu?"

Tolol.

"Kenapa nggak lapor polisi aja sih biar kasus ini cepat selesai?"

"Kamu pikir polisi itu akan cepat membantu?"

"Kalau soal uang ibu tidak berani panggil polisi, saya yang akan membayarnya, berapa saja"

"Kalau polisi kesini, wartawan juga ikut, saya tidak mau reputasi Guna Bangsa menjadi hancur hanya karena berita-berita hoax yang mereka sebarkan" Wanita itu menghardik. "Kamu tau negara kita krisis kejujuran kalau menyangkut uang"

Ken menggeleng. "Saya semakin curiga dengan ibu!"

Hening.

"Kenapa kamu tidak curiga kepada papa kamu? atau kamu sendiri, bukankah kamu ada di tempat kejadian semalam?" Tanya Rianti gelitik.

"Kata siapa?"

"Perlu saya perjelas itu kata siapa?"

"Kenapa ibu jadi menuduh saya balik?"

"Dia anak saya satu-satunya Ken, bagaimana kamu bisa berpikiran seperti itu ?" Sangkah Rianti menaikan sebelah alisnya. "sedangkan yang membereskan semua masalah teror  itu kamu serta suruhan papa kamu, jadi tidak menutup kemungkinan bukan kalau papa kamu terlibat, atau kamu sendiri mungkin yang sengaja menculik anak saya?"

Ada jeda yang cukup lama di ruangan ini,
Entah bagaimanapun caranya, lagi dan lagi masalah terror misterius ini tetap menjadi sebuah ancaman di Guna Bangsa.

"Enggak mungkin!, papa saya sudah membayar mahal untuk menyelesaikan kasus ini"

"Itu kamu tau, dan sekarang kamu ingin memanggil polisi? Memangnya apa yang bisa di lakukan polisi?" Sangkal Rianti. "Suruhan papa kamu saja lebih dari itu,tapi tidak merubah keadaan"

Kenzo refleks merenggut kepala, sementara jarinya mengepal kuat. berantakan.

"Selesaikan sendiri jika kamu merasa tidak yakin dengan suruhan papa kamu. Tapi jangan pernah memanggil polisi untuk ikut campur lagi" Jeda. "Dan berhenti mengganggu saya" Tekannya.

-"Ken janji yaa, kita harus tetap sama-sama sampai besar, tetap jagain aku jangan lupa"-

"Oke"

Kalau bukan karena Rin mana mungkin Ken mau melakukan hal yang membuatnya susah, jujur Ken sangat malas kalau berurusan dengan sekolah ataupun Bu Rianti. Hidupnya sudah banyak tekanan  untuk diusik hal-hal yang tidak penting.

Tapi ini berbeda, Rin jauh lebih penting, tetangga masa kecilnya itu orang yang paling berusaha ia lindungi sejak dulu, meskipun dengan cara yang salah Ken tau benar ia tidak mungkin mengabaikan gadis itu, meski sikapnya menolak kehadiran Ken karena sesuatu yang belum pasti tapi Ken berusaha agar tetap melindunginya.

"Kalau begitu silahkan kamu pulang, saya tidak ingin Papa kamu terus mengganggu saya" Ucap Rianti melenggang.

"Tante Rianti" Panggil Ken serius. "Saya nggak mau terjadi apa-apa lagi pada Rin"

Tak perlu banyak kata-kata, Rianti paham maksud itu. "Begitupun dengan saya" Ucapnya lantang.

Zero Attention Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang