"Juan!! Ayo makan!"
Hening, tak ada yang menyahut. Hana kembali memanggil nama pangeran kecilnya, namun sama, tak ada jawaban dari si empunya nama. Ia kemudian mematikan kompor di hadapan dan berjalan menuju kamar si kecil, sekali lagi memanggil nama Juan sembari mengetuk pintu sebelum membukanya.
Begitu pintu terbuka tubuh wanita cantik itu mendadak kaku kala maniknya mandapati sosok yang ada di sana. Tak bisa ia bicara, tak bisa ia menggerakkan tubuh barang seujung jari. Ia hanya diam, menatap pada sosok yang tengah duduk di ranjang sembari mengusap surai putranya dengan begitu lembut.
"Stt, jagoan aku lagi tidur."
Haruto menempelkan jari telunjuknya di bibir guna memberi isyarat agar sang istri tak berisik takut akan mengganggu tidur putra kecilnya.
"Nanti aja maemnya, biarin Juan tidur bentar lagi."
Air mata kini seolah membutakan, tak sanggup ia menjawab, bahkan berdiri pun rasanya tak bisa. Hatinya kembali terasa diremas terlebih kala melihat senyum manis itu kembali menyapanya.
Hana menggeleng kuat, berusaha mengusir ilusi yang tak henti mengganggunya, sungguh ia ingin kembali ke dunia nyata. Sungguh ia ingin hidup tanpa harus melihat wajah yang amat ia rindukan itu, wajah yang tak henti membuatnya menggila.
"Diperkirakan hujan lebat akan mengguyur Kota Surabaya malam ini. Ini merupakan hujan pertama yang turun setelah kemarau panjang yang terasa seperti membakar jalanan. Kami menghimbau jika sebaiknya para pemirsa tidak keluar rumah atau bersedia dengan payung lantaran hujan—"
"Aku sudah bilang, kan, jangan tonton berita terus, bosen tau isinya itu-itu tok. Tatanan ya, coba kamu ganti ke saluran lain, pasti isinnya sama. Kalau tidak berita soal cuaca, ya beritanya Rafathar."
"Hahaha, iri, yo, kamu sama Rafathar?"
"Iya, lah. Siapa yang gak iri. Dia sudah tajir melintir sejak lahir."
Hana hanya terkekeh sembari terus melipat baju di hadapan tak peduli akan gerutuhan sang suami yang seperti anak kecil.
"Mbesok aku beli TV yang gak ada beritanya aja."
Kini tawa renyah Hana pecah. Membuat sang suami yang tengah mengamati parasnya sendiri di depan cermin itu turut menarik sebuah senyum tipis.
"Kamu makin kesini makin medok, ya."
"Ya, gimana, tiap hari sama mertua diajak Jowoan terus kok."
Haruto mendekat, mendudukkan diri tepat di samping Hana yang tak hentinya sibuk dengan pakaian yang menggunung, membuat sang istri bahkan tak menengok ke arahnya barang sedetik pun. Oh astaga, ingin rasanya ia membuang tumpukan baju itu.
"Suaminya dianggurin terus."
Haruto merengkuh pinggang Hana dengan satu tangan, sementara tangan yang lain kini telah sibuk menjelajahi wajah manis sang istri. Berawal dari menyentuh dagu, lalu naik ke pipi dan berakhir dengan tarikan pelan di hidung.
"Aku mau berangkat kerja tapi nggak tega buat ninggalin istriku yang cantik ini di rumah sendirian."
Hana menengadah untuk beradu pandang dengan manik sang suami, melayangkan satu pukulan ringan di dada bidang Haruto yang kembali terkekeh.
"Udah sana cepet, cari uang yang banyak buat aku."
Gelengan pelan Haruto berikan dengan bibir yang mengerucut, kian mengeratkan pelukan dengan wajah yang mendekati wajah sang istri. Kian dekat dan berakhir dengan satu kecupan ringan berdurasi lama di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...