Hana kembali disibukkan dengan pekerjaan rumah yang seperti tak ada habisnya bahkan kala jam telah menunjukkan pukul dini hari. Masih saja jemari lentik itu menggenggam berbagai macam perabot. Sungguh tak pernah ia menyangka jika menjadi seorang ibu tunggal akan terasa semelelahkan ini.
Memang tak tiap hari ia bekerja sekeras ini, ia hanya akan bekerja seperti orang gila hingga pagi jika akan kedatangan tamu penting atau akan menyambut hari spesial. Dan kebetulan kedatangan mertuanya ke rumah hanya tinggal menghitung hari, membuatnya harus bekerja super keras dan memastikan tiap sudut ruangan tampak berkilau untuk menyambut keluarga dari suaminya itu.
Hana gugup, sangat. Telah satu tahun lamanya ia tak bertemu dengan mertuanya. Hubungannya dan keluarga Haruto memanglah baik, tak pernah ada sedikit pun pertengkaran pun perselisihan antara dirinya dan keluarga keturunan asli Jepang itu. Namun tetap saja, bertemu dengan orang tua Haruto setelah sekian lama terasa begitu mendebarkan untuknya.
"Kamu gugup, ya?"
Pergerakan wanita itu terhenti, tubuhnya membeku dan napasnya tercekat. Tak bisa ia bergerak pun bicara. Suara yang menerobos masuk ke telinganya di tengah malam itu membuat jantungnya seolah akan meledak.
"Kamu selalu seperti ini kalau mau bertemu orang tuaku, Na."
Bisa dipastikan jika itu adalah Haruto, suaminya. Suara berat itu jelaslah milik Haruto.
"Santai saja, Na. Kamu juga kenal orang tuaku, kan, mereka baik, gimanapun kesalahan yang mungkin akan kamu buat nanti, mereka pasti dengan senang hati mau kasih maaf untuk kamu. Jadi kamu jangan gugup, ya?"
Benar, sama seperti Haruto yang kepribadian baiknya seolah tanpa celah, keluarga Haruto pun begitu baik pada tiap orang yang mereka temui. Pernah kala itu, Hana berkunjung ke rumah orang tua Haruto di Jepang untuk meminta restu. Hana yang gugup bukan main tak sadar melangkahkan kakinya terlalu mundur hingga menabrak sebuah guci yang merupakan warisan keluarga Haruto hingga pecah.
Hana menangis tersedu-sedu kala itu, memohon maaf lantaran kecerobohannya membuat guci yang teramat berharga itu hancur dan tak lagi berbentuk. Hana bahkan mengatakan jika ia pasti akan mengganti berapapun biayanya dan tak henti memohon maaf atas kesalahannya.
Namun di luar dugaannya, tak satu pun dari keluarga Haruto yang tampak marah pun sekadar merasa kesal. Entah ayah, ibu, hingga kakak Haruto mereka semua mengulas senyum dan mengatakan jika tak perlu ambil pusing atas apa yang terjadi.
Siapa pun di keluarga Haruto tak ada yang memiliki darah keturunan Indonesia barang seorang pun, mereka semua benar-benar orang asing yang menjejakkan kaki di Indonesia pun tak pernah.
Kala Haruto memutuskan untuk belajar dan mendalami lebih jauh tentang Indonesia pun orang tua Haruto ragu dalam memberikan persetujuan. Karena dibanding Indonesia orang tua Haruto lebih suka jika Haruto belajar di China atau Amerika yang negaranya jauh lebih maju dan berkembang.
Namun kala Haruto mengatakan ingin menikahi Hana yang merupakan warga asli Indonesia, tanpa pikir panjang orang tua Haruto memberikan restunya. Seluruh keluarga Haruto pun dengan suka rela belajar bahasa Indonesia agar memudahkan kala berkomunikasi dengan Hana.
Sungguh tak pernah Hana bertemu dengan orang yang sebaik dan seperhatian keluarga Haruto. Orang yang dengan senang hati menerima perbedaan dari negeri yang jauh dari rumah mereka. Yang kulitnya berbeda, yang rasnya berbeda, yang budayanya berbeda. Namun tak sekalipun mereka memandang asing pada Hana. Pun tak pernah mereka tak menyukai Hana.
Bahkan kala Hana bersujud sembari memohon ampun mengatakan jika kematian putra mereka adalah kesalahannya, orang tua Haruto lagi-lagi tak melimpahkan amarah padanya. Ayah Haruto tampak paling tegar kala itu, menepuk pundak Hana yang bergetar dan membawa tubuh kurus itu dalam dekapan hangat penuh kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
أدب الهواةHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...