Jam menunjukkan pukul tiga sore. Hana telah menuntaskan segala pekerjaan yang diperlukan sebelum meninggalkan rumah, ia pun telah bersiap diri sebelum menjemput Juan sesuai janjinya.
Setelah memastikan kompor mati Hana beranjak menuju pintu, ia ambil sepatu di rak dan memakainya. Sekali lagi ia pastikan jika tak ada yang tertinggal sebelum akhirnya membuka pintu dan berlalu keluar. Namun belum juga pintu tertutup dengan sempurna pergerakannya harus terhenti kala mendapati Jihoon tengah berdiri di sana. Senyum pria itu tampak mengembang sempurna dan pakaiannya begitu rapi.
"Udah siap? Ayo, Juan udah nunggu."
Jihoon meraih satu kantong penuh buah yang berada di genggaman Hana dan berbalik untuk pergi meninggalkan Hana yang mematung di sana.
Hana tak paham, akan raut wajah Jihoon yang tampak baik-baik saja dan seolah tak ada yang terjadi di antara keduanya. Semalam penuh Hana habiskan dengan rasa tak enak terhadap Jihoon, namun pria itu justru malah bersikap santai seperti biasanya.
Melihat Jihoon yang seperti ini justru membuat amarah Hana naik memenuhi kepala, seharusnya Jihoon tak mau menemuinya untuk sementara waktu, jika pun Jihoon ingin menemui atau bicaranya dengannya harusnya pria itu membentak dirinya, mengatakan jika Hana sangatlah keterlaluan semalam dan menuntut penjelasan pun sekadar permohonan maaf. Bukannya malah tersenyum seolah tak ada yang terjadi dan membuat Hana kian merasa bersalah.
Buru-buru Hana mengunci pintunya dan berjalan menyusul pada Jihoon yang telah berada di depan gerbang. Hana rampas kantong yang Jihoon tenteng membuat pria itu menghentikan langkah dan berbalik menatapnya dengan raut wajah bingung.
"Kenapa, Na?"
"Kamu yang kenapa, Ji?"
Kening pria itu kian mengkerut dan alis tampak hampir menyatu. "Maksudnya?"
Satu helaan napas lolos dari bibir Hana yang tampak dipoles warna merah. Ia merunduk sejenak merasa pening lantaran ribuan kata secara tiba-tiba datang menyerbu.
"Kenapa kamu harus pura-pura kayak gini? Pura-pura seolah gak ada yang terjadi?"
"Maksudnya apa, to? Apa yang terjadi? Ini soal yang semalem?"
"Ya. Harusnya kamu marah dan minta penjelasan kenapa aku harus lari semalem."
"Gakpapa, Na."
"Bohong. Sama kayak tujuh tahun lalu. Kamu juga bohong."
Kini Jihoon diam, berusaha mengingat apa yang terjadi tujuh tahun silam, mengingat kejadian mana yang coba Hana ungkit saat ini, kejadian yang membuat wajah cantik itu tampak begitu merah menahan amarah.
"Waktu kamu bilang kamu cinta sama aku semalem sebelum pernikahanku sama Haruto."
Napas Jihoon kini tercekat, kerongkongannya serasa dicekik dan hatinya seolah diremas. Lidah Jihoon kelu dan raut wajah yang biasanya selalu lembut itu kini tampak begitu tegang. Jihoon tak ingin membahasnya, sebenarnya. Ia tak ingin mengungkit kejadian yang telah berlalu, yang hanya akan membuat luka lama itu kian menganganga mengucurkan darah.
"Harusnya besoknya kamu gak dateng ke pernikahanku, Ji. Harusnya kamu pergi dan gak pernah temuin aku lagi, bukanya dateng dan senyum selebar itu seolah gak ada yang terjadi."
"Dan putusin pertemanan kita?"
"Ya. Kalau perlu, iya."
"Kamu inget, Na. Dulu waktu SMA kita pernah janji gak bakal ninggalin satu sama lain atau putusin pertemanan kita kalau sampai salah satu diantara kita punya rasa cinta selain pertemanan?"
Hana tak menjawab. Namun ia ingat dengan jelas janji itu. Janji jika siapa pun yang jatuh cinta pada satu sama lain terlebih dahulu, dan apa pun jawaban yang diberikan tak boleh ada kata putus dalam pertemanan mereka. Bahkan jika ada masalah yang jauh lebih serius dari ini, tak boleh ada yang memutus ikatakan pertemanan yang mereka miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...