"Juan wis turu, Ji?"
"Iyo, capet arek'e seharian iki."
Jihoon menghampiri Hana yang tampak sibuk berkutat dengan masakan di dapur. Ia amati tiap bahan makanan yang ada di meja, tak ada satu pun yang ia tahu namanya, hanya satu yang ia tahu jelas, jika rasa dari masakan dengan aroma menggiurkan itu pastilah akan sangat nikmat.
Hana sangat pandai memasak, sejak masih sekolah Hana selalu gemar berada di dapur. Tak ada yang tak bisa dibuatnya walau harus mengintip resep di internet, mulai dari kue yang manis hingga makanan asin pun pedas yang membakar lidah. Hana selalu bisa memasaknya. Dan jika berhasil memasak menu baru, Hana akan selalu memberikan satu kotak penuh untuk Jihoon.
Dulu Hana akan berlari menuju kelas Jihoon dengan menenteng kotak makannya, hanya demi Jihoon mencicipi apa yang ia buat dalam kondisi masih hangat. Sekarang pun sama, tiap berhasil dengan menu baru ia akan datang ke rumah Jihoon, memberikan beberapa kotak makanan dan meminta pujian yang tak bosan ia dengar.
"Kamu kemaren ketemu sama Mas Hyunsuk, yo?"
"Iya, kok tahu? Masih kontakan sama Mas Hyunsuk?"
"Iyolah, sing mutus kontak kan cuma kamu tok."
Hana yang dikatai seperti itu hanya tersenyum. Tak ia alihkan fokus dari panci di hadapan, tak pula ia melirik pada Jihoon yang duduk di belakangnya barang sedikit pun.
"Ditawarin balik?"
"Iyo."
"Kamu beneran wis gak mau nulis lagi?"
"He'em."
"Kenapa?"
Kini ia berbalik, menyunggingkan senyum yang entah apa artinya.
"Aku wis gak bisa nulis lagi, Ji. Aku wis gak kayak dulu lagi."
Jihoon tak lagi ingin menjawab pun bertanya. Melihat Hana yang seperti ini sungguh meremas hatinya. Hana adalah orang yang ia cintai selama dua puluh tahun terakhir. Ia telah menyukai Hana sejak pertemuan pertama mereka di bangku SMP. Melihat orang yang ia cintai kehilangan mimpinya turut memberikan luka pada hatinya.
Ia adalah orang yang paling tahu bagaimana Hana menggilai menulis, ia adalah orang yang paling mengerti bagaimana Hana begitu mencintai rentetan tulisan dalam buku. Ia pula orang yang paling tahu bagaimana hidupnya kedua manik itu kala membicarakan tentang mimpinya.
Jihoon adalah orang yang memperkenalkan buku pada Hana. Kala itu Hana berulang tahun yang ke tujuh belas. Jihoon membelikannya sebuah buku romansa yang paling laku terjual di toko. Kala itu Jihoon sebenarnya ingin menyatakan cinta, dengan menstabilo tiap kalimat yang hendak ia sampaikan pada Hana. Jihoon yang biasanya tak menyukai membaca harus menghabiskan waktu semalam penuh demi mencari kalimat yang sesuai untuk hatinya kala itu.
Namun entah karena tak peka atau hanya tak peduli, Hana sama sekali tak mengatakan apa-apa. Bahkan surat yang Jihoon tulis dengan sangat norak sepertinya tak dibaca. Hana lebih tertarik pada buku yang dihadiahkan padanya ketimbang pernyataan cinta ketinggalan zaman yang Jihoon ungkapkan.
Sejak saat itu Hana mulai menggilai buku. Ia tabung seluruh uang sakunya hanya untuk mendapatkan beberapa buah buku. Rak yang dulu dipenuhi dengan berbagai koleksi sepatu berganti dengan berbagai buku dengan berbagai genre berbeda.
Tak lagi Hana menghabiskan waktu berkutat dengan bumbu di dapur. Lebih ia pilih menyendiri di dalam kamar membaca tiap buku yang ada. Saat diajak pergi keluar oleh Jihoon dan teman-teman yang lain pun terus ia menolak. Tak ingin membuang waktu berada di luar dan memilih terus melanjutkan bacaannya hingga berganti buku baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...