Hana mengetuk pintu di hadapan sebelum membuka dan masuk ke dalamnya. Begitu ia telah berdiri di sisi lain pintu sosok yang ada di sana menyambutnya dengan senyuman hangat juga secangkir teh di genggaman. Pria itu mempersilahkan Hana duduk, ia taruh teh itu pada meja tepat di hadapan Hana dan mendudukkan diri pada kursi yang berseberangan dengan Hana.
Wanita itu mengulas senyumnya dan mengangguk sembari menjawab seadanya pertanyaan sosok pria di hadapan mengenai keadaannya sekarang. Tak begitu banyak yang berubah, semuanya masih berjalan dengan normal seperti biasa.
"Jadi ada apa gerangan Mbak Hana meminta janji temu hari ini?"
Hana kembali menaruh cangkir teh ke atas meja setelah sedikit menyesapnya. "Ada yang ingin saya tanyakan, Dok."
"Silahkan."
"Saya bertemu lagi dengan Haruto."
Sang dokter diam mendengarkan, dengan baik.
"Dia menangis, Dok. Wajahnya terlihat sangat sedih dan matanya begitu sayu."
"Apa yang Mas Haruto katakan pada Mbak Hana? Apa mungkin Mas Haruto mengatakan jika dia tidak ingin melepas Mbak Hana?"
Hana merunduk dengan kepala yang menggeleng perlahan, namun wajahnya tak lagi memancarkan kesedihan seperti sebelumnya, ia justru mengulas sebuah senyum lalu menengadah menatap pada yang jauh lebih tua. "Haruto ingin saya merelakan kepergiannya, Haruto bilang dia tidak ingin melihat saya terus menderita seperti ini."
Sang dokter turut mengulas senyum mendengar apa yang Hana ucapkan, ia tegapkan badan dengan jemari saling bertaut. "Kalau begitu Mbak Hana harus merelakan Mas Haruto. Karena alam bawah sadar Mbak Hana pun saat ini sedang berusaha untuk mengikhlaskannya, jadi Mbak Hana pun harus membantunya sekuat tenaga."
"Apa boleh saya seperti itu, Dok? Saya takut Haruto nanti akan marah jika dia tahu saya bahagia sementara ia sendirian di atas sana."
"Tidak ada orang yang akan merasa seperti itu saat melihat orang yang mereka cintai bahagia, Mbak. Walaupun tidak dengan mereka. Dan saya yakin, sangat yakin jika Mas Haruto akan lebih bahagia jika melihat Mbak Hana bahagia di sini, dibanding melihat Mbak Hana yang terus menangisi kepergiannya."
Sang dokter benar, Hana pun tahu jika itu benar. Haruto tentu tak akan merasa bahagia pun tenang di atas sana jika melihatnya yang tak henti menangis menahan derita atas kerinduan yang luar biasa ini. Jika Haruto ada di sini, ia pasti akan mengatakan hal yang sama, jangan menangis, Na, berbahagialah.
Hana-lah yang paling tahu bagaimana sifat suaminya itu, ia selalu tahu dengan jelas apa yang suaminya rasakan pun apa yang ingin suaminya sampaikan. Namun nestapa yang tak henti ia rasa membuatnya tak bisa berhenti merasa bersalah hingga tak pantas untuk berbahagia.
"Jika tak ingin melupakannya, tak apa. Tapi Mbak Hana harus mengikhlaskannya, hingga saat mengingat Mas Haruto, Mbak Hana tidak lagi menangis, namun akan tersenyum. Saat mengingatnya Mbak Hana tidak lagi akan merasakan sedih, namun akan merasa sangat bahagia. Hanya dengan itu cara Mbak Hana bisa melanjutkan hidup, dan Mas Haruto bisa tenang di atas sana."
Melupakan dan mengikhlaskan, adalah dua hal yang berbeda. Melupakan berarti kita tak ingin lagi mengingat tentangnya dan menghapusnya pun segala kenangan yang ada dalam diri kita. Namun jika mengikhlaskan, kita tak akan pernah lupa bahkan hanya dengan bayangannya. Hanya kita yang tak lagi berharap akan kembalinya, kita tak lagi menyiksa diri dengan harapan palsu akan kehadirannya.
Kalimat pasal yang mati biarlah mati dan yang hidup haruslah menjalani hidupnya tak akan pernah bisa lepas dari tiap langkah yang manusia ambil. Tak peduli berapa banyak musim pun tahun yang telah berlalu, dan tak peduli seberapa menyakitkannya, kita yang hidup akan terus dipaksa menjalani hidup. Memang kejam, namun begitulah takdir yang harus kita jalani sebagai sorang manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐦𝐞𝐫𝐭𝐚 [𝚆𝚊𝚝𝚊𝚗𝚊𝚋𝚎 𝙷𝚊𝚛𝚞𝚝𝚘] - DALAM PROSES PENERBITAN
FanfictionHana tahu suaminya telah tiada, telah pergi meninggalkan dirinya bersama sang buah hati dengan begitu dinginnya. Hana mulai gila, kepergian suaminya membuat dirinya terjebak dalam delusi tak berkesudahan yang terasa mencekik jiwanya. Hana tak bisa...